Oleh: Naufal Mohamad Firdausyan/EQ
“Berbicara ketahanan pangan itu adalah tentang akses, Mas. Bisa tidak negara mengakses sumber-sumber pangan? Namun, ketika sudah berbicara kedaulatan, pertanyaannya akan berbeda. Bisakah negara menyediakan?”
__________
Pada awal Juni saat penulis sonjo (Jawa: silaturahmi) ke daerah lereng Menoreh, kutipan di atas muncul dari salah satu warga lokal dalam kehangatan diskusi malam—ditemani kopi hitam dan sebatang rokok linthingan. Keresahan ini tampaknya timbul di saat mereka banyak memproduksi sumber pangan lokal, seperti empon-empon, protein hewani, dan hasil kebun. Sayangnya, negara seakan enggan hadir mempertahankan eksistensi sumber pangan tersebut. Kenyataan ini sangat erat berkaitan dengan kemunculan berbagai produk-produk pangan impor di pasar yang seharusnya mampu kita produksi secara mandiri. Di tengah fenomena tersebut, warga masyarakat bertahan pada satu pegangan erat, yaitu paguyuban. Berbagai upaya mereka lakukan secara mandiri dalam menjawab ketahanan dan kedaulatan pangan. Seberapa jauh ketahanan pangan akan selalu berada di atas nalar kedaulatan pangan?
Konstruksi ketahanan pangan membawa kita pada satu pertanyaan: bagaimana sumber-sumber pangan dapat diakses oleh masyarakat? Secara sederhana, hal ini menggambarkan segala upaya yang dilakukan oleh negara dalam mengakses sumber pangan agar terjangkau oleh rakyat, entah dengan impor, penerimaan bantuan pangan, produksi sendiri, dan sebagainya. Nalar ini bias untuk dikatakan sebagai upaya menuju kemandirian akan pangan. Kata kuncinya satu, yaitu keberadaan (walaupun entah dari mana produksinya). Sejauh ini, ketahanan pangan sendiri masih dianggap sebagai tujuan akhir, yaitu keberadaan sumber pangan yang dapat diakses oleh masyarakat. Masalah pangan pun dianggap selesai. Persepsi demikian masih dipegang oleh banyak pemangku kebijakan di pusat maupun daerah dan melupakan aspek kedaulatan.
Lebih dari sekadar ketahanan, langkah selanjutnya yang perlu diambil adalah bagaimana negara mampu menyediakan pangan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan bahwa kedaulatan pangan merujuk pada pemanfaatan potensi sumber daya lokal dalam pemenuhan ketersediaan pangan. Pada regulasi ini, aspek kemandirian pangan sudah mulai dimunculkan dari sekadar ketahanan pangan. Konsekuensinya menyasar pada independensi negara dalam menentukan kebijakan pangan bagi rakyatnya dengan satu pegangan, yaitu pemanfaatan potensi lokal yang ada. Belajar dari banyak kebijakan yang pernah dimunculkan (seperti proyek lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan), upaya menuju kedaulatan pangan setidaknya pernah dilakukan—walaupun akhirnya gagal total karena tidak didasarkan pada kajian yang matang.
Nasib Pangan Lokal dari Desa
Tidak dapat ditepis bahwa desa di Indonesia memiliki keberagaman dari sisi produksi pangan yang dihasilkan. Kultivasi tanaman pangan yang beragam ini sebenarnya akan membawa pada ketahanan sistem pangan apabila telah diformalkan dalam aspek legalitas. Ini sangat berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah; apakah pemerintah mampu mengakomodasi keberagaman produksi pangan yang dihasilkan oleh desa? Di tengah ketidakpastian kebijakan yang muncul, masyarakat desa berinisiatif secara mandiri untuk tetap menghasilkan produk pangan tersebut dengan dua tujuan, yaitu sebagai bentuk pertanian subsisten (untuk diproduksi dan dikonsumsi sendiri) dan perniagaan pangan. Dalam memasarkan produk pangan lokal, tak sungkan masyarakat membungkusnya dalam bentuk wisata desa. Beberapa desa, seperti di Yogyakarta dan Jawa Tengah, memformalkannya dalam bentuk usaha dagang hingga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang khusus memasarkan produk pangan lokal. Usaha ini muncul sebagai upaya “perlawanan” keberadaan produk-produk pangan impor yang banjir di pasaran. Hasilnya memang tidak maksimal. Hanya beberapa produk saja yang tembus di pasar nasional. Sisanya, terlihat bertahan hanya di tingkat lokal saja.
Masyarakat desa secara tidak langsung sebenarnya telah mempromosikan kedaulatan pangan melalui usahanya tersebut. Inilah gambaran sederhana bagaimana potensi lokal dimanfaatkan untuk menyediakan pangan bagi masyarakat. Hanya saja, penetrasinya belum cukup kuat untuk muncul ke permukaan. Ini sangat bergantung pada aspek regulasi dan kebijaksanaan yang diberikan oleh pemerintah sekaligus apakah pemerintah mampu berinovasi dalam melihat potensi lokal yang tumbuh ini. Dengan demikian, usaha mempromosikan pangan lokal dari desa perlu menjadi perhatian kembali bagi pemerintah.
Di sisi lain, beberapa usaha yang dilakukan pemerintah belakangan ini tampaknya perlu diapresiasi dalam hal kebijakan pangan dan pertanian. Pemerintah berkeinginan membangun food estate atau lumbung pangan baru sebagai cadangan pangan nasional. Lokasinya berada di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Inisiasi ini dipicu oleh kondisi pasar pangan yang sempat mengalami guncangan akibat pandemi. Tak tanggung-tanggung, Food and Agriculture Organization (FAO) menyebut bahwa ada potensi krisis pangan di tahun 2020. Kebijakan ini membawa harapan bagi kedaulatan pangan negara ini. Presiden bahkan menyebut produksi pangan ini akan digunakan untuk kebutuhan pangan nasional dan surplusnya akan diekspor.
Di tengah harapan tersebut, ada perspektif lain yang luput dari perhatian. Sekali lagi, bagaimana nasib mereka yang memproduksi pangan lokal di desa-desa? Efek pengganda tidak akan merata dirasakan di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan food estate hadir membawa kepastian atas kedaulatan pangan, tetapi perlu diperhatikan juga eksistensi desa-desa yang selama ini telah berjuang mempertahankan produksi pangan lokalnya. Inisiatif yang muncul dari desa-desa perlu diangkat dan diakomodasi keberadaannya. Jangan sampai masalah kedaulatan pangan selesai, tetapi muncul lagi masalah ketimpangan pangan akibat produksi yang terlalu terpusat.
Diskursus Pangan di Ranah Pemerintahan
Pekerjaan pemerintah—dalam ini Kementerian Pertanian—menjadi besar, walaupun belakangan ini juga sempat tumpang tindih dengan mengeluarkan “antivirus” Corona berbasis kalung Eucalyptus. Masalah Kementerian Pertanian bukan sekadar mengambil tindakan represif melawan Covid-19, tetapi juga mengantisipasi dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh pandemi ini, khususnya di bidang pangan nasional. Desa sebagai kawasan produksi pangan perlu menjadi titik utama mengembalikan kedaulatan pangan saat ini, di samping membentuk lumbung pangan di Kalimantan. Ada beberapa alasan mendasari saat ini menjadi momen tepat mengembalikan kedaulatan pangan. Pertama, krisis pangan memaksa setiap negara untuk mampu menyediakan sumber-sumber pangannya secara mandiri kepada rakyat. Krisis pangan akan membawa negara-negara di dunia cenderung subsisten dan mengurangi kuota ekspornya di komoditas pangan. Dorongan ini memaksa setiap negara perlu menetapkan strategi-strategi yang komprehensif terhadap ketersediaan pangan di negaranya masing-masing.
Alasan kedua yang mendasari penyebab saat ini sebagai momen tepat mengembalikan kedaulatan pangan adalah keberadaan desa. Pandemi ini telah memicu potensi-potensi masyarakat (khususnya di desa) yang semula tidak tampak menjadi muncul ke permukaan. Inisiatif warga desa dalam memproduksi hingga memasarkan produk pangannya menjadi modal sosial yang cukup baik untuk mengembalikan kedaulatan pangan negara saat ini. Negara perlu mengakomodasi potensi yang muncul tersebut melalui beragam instrumen, seperti bantuan subsidi pada proses produksi, relaksasi perizinan lahan untuk pertanian oleh warga lokal, hingga implementasi model agropolitan di wilayah dengan produksi pertanian yang masif. Pengembalian martabat desa sebagai lumbung pangan ini dapat memicu penyerapan tenaga kerja di desa secara padat karya, reduksi angka urbanisasi, hingga kesejahteraan kolektif yang dirasakan oleh warga desa.
Belajar dari situasi saat ini, kesadaran akan kedaulatan pangan memang baru muncul belakangan. Tantangan berat masih dihadapi oleh pemerintah sebagai penguasa yang memiliki kewenangan atas pangan bagi rakyatnya. Kedaulatan pangan bukan saja kita mampu memproduksi, tetapi negara pun memiliki independensi dalam menentukan arah kebijakan pangannya bagi rakyat. Demikian pula negara telah mengamanatkannya dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Boleh saja kita berpikir mengenai ketahanan pangan. Namun ingat, bisakah selanjutnya mencapai kedaulatan pangan setelah ketahanan pangan sudah tercapai? Inilah sebuah alur yang harus diperhatikan oleh setiap periodisasi pemerintahan; rakyat bersama negara harusnya mampu merasakan kedaulatan setidaknya atas urusan perutnya masing-masing.
–
Referensi
Diversifood. 2017. Booklet #5: Diversified Food System: Policy to Embed Crop Genetic Diversity In Food Value Chains.
Food and Agricultural Organization. 2020. 2020 Global Report on Food Crises: Joint Analysis For Better Decisions
Gordillo, Gustavo dan Obed Mendes Jeronimo. 2013. Food Security and Sovereignty. Food and Agricultural Organization
Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Sholihah, Nur Fitriatus. 2020. “Mengenal Food Estate, Program Pemerintah yang Disebut Dapat Meningkatkan Ketahanan Pangan…” Kompas Online. Diakses pada 12 Juli 2020. https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/09/183800365/mengenal-food-estate-program-pemerintah-yang-disebut-dapat-meningkatkan?page=all
Discussion about this post