“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (UUD RI 1945, Pasal 33 ayat 2)
Oleh : Immanuel Satya – Ilmu Ekonomi 2015
Ide tentang monopoli negara ini, dikemukakan pertama kali oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, Muhammad Hatta. Gagasan ini menjamin bahwa nasib dan kelangsungan hidup orang banyak dilindungi oleh pemerintah dan dibebaskan dari ancaman kepentingan swasta yang berorientasi pada profit. Namun demikian, apakah kita sudah cukup yakin bahwa pemerintah mampu menjalankan perannya dengan baik?
Bila menengok masa beberapa tahun lalu, tidak salah bila kita mengasosiasikan usaha-usaha pemerintah, pusat maupun daerah, dengan citra sebagai usaha dengan biaya murah dan pelayanan yang tidak becus. Anda harusnya masih ingat bagaimana keadaan bus Trans Jogja beberapa waktu lalu. Lantai kabin penumpang dengan lapisan debu yang kasat mata, kaca luar yang berlumut, pintu yang seharusnya otomatis malah harus dibuka secara manual adalah beberapa cerminan performa perusahaan daerah di Indonesia. Contoh lain adalah kinerja PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dalam mengelola kereta rel listrik (KRL) yang melayani komutasi daerah Jabodetabek. Kotor, sesak, dan berbahaya rasanya cukup menggambarkan kualitas layanannya saat itu. Melihat hal tersebut, profesionalisme pemerintah merupakan kebutuhan mutlak untuk menjamin keberhasilan konsep tersebut.
Namun demikian, hari ini kita sudah melihat banyak perubahan. Profesionalisme yang mulai ditekankan pada pemerintahan kini mendorong meningkatnya kinerja pemerintah. Jika tidak percaya, Anda boleh bandingkan kinerja PT. KAI dulu dan sekarang. Kondisi stasiun dan rangkaian kereta yang lebih bersih, pelayanan penjualan tiket yang lebih mudah, serta ketepatan waktu yang lebih baik (setidaknya untuk keberangkatan) menjadi indikator perbaikan yang gamblang. Pertanyaan baru akan muncul kemudian, Bagaimana kita akan menjamin pemerintahan yang bersih dan profesional? Bagaimana kita tahu bagaimana memilih pemerintah yang bekerja efisien dan efektif? Jika kita akan memegang teguh prinsip yang dituangkan Hatta dalam UUD RI 1945 tersebut, menurut saya, penting untuk mempertimbangkan penerapan zaken kabinet. Kabinet yang tidak hanya diisi oleh para ahli di masing-masing bidangnya, tetapi juga orang-orang yang paham arti profesionalisme dan paham mengapa nilai-nilai profesionalisme dan etos kerja berkontribusi terhadap pencapaian cita-cita negara.
Profesionalisme pemerintah tidak hanya akan menjamin bahwa cita-cita tersebut akan terpenuhi, tetapi juga bagaimana cita-cita tersebut akan dipenuhi. Pelibatan para ahli untuk mengurus bidangnya masing-masing menjamin bahwa usaha-usaha negara akan mampu mengadakan kegiatan produksi yang efisien dan efektif, menjamin bahwa sebuah negara bisa bekerja dengan baik meskipun tanpa kompetisi dengan sektor swasta. Sulit pula membayangkan insentif apa yang diperoleh perusahaan pemerintah bila bukan kepuasan melayani rakyat. Sayangnya, kepuasan tersebut hanya bisa dimiliki oleh abdi rakyat sejati. Orang-orang yang jiwa dan raganya dikorbankan bagi kelangsungan rakyat dan negara.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor yang berkontribusi secara signifikan terhadap profesionalisme dan etos kerja adalah budaya kerja. Bagaimana dengan budaya kerja Indonesia? Apakah masyarakat Indonesia terbiasa dengan rasa malu dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya? Apakah budaya tersebut sudah ditanamkan sejak dini? Dari mana kita akan memulai untuk memperbaiki masa depan bangsa ini? Mengapa saya mengajukan serangkaian pertanyaan dan bukan serangkaian pendapat lain? Saya sendiri masih bingung dengan budaya masyarakat Indonesia. Janggal rasanya bila saya menuduh budaya masyarakat Indonesia bukanlah budaya pekerja keras. Saya juga merasa bahwa menggeneralisir jutaan rakyat Indonesia adalah rakyat pemalas merupakan tindakan yang salah. Namun, tidak sulit untuk melihat ke sekitar saya dan mendapati toleransi terhadap keterlambatan dan tindakan indisipliner dalam budaya kerja mahasiswa. Rangkaian pertanyaan tersebut akan selalu menghantui saya dan mengangkat sebuah pertanyaan baru: dari mana kita akan mulai mengubah budaya bangsa ini?
Hal lain yang penting bagi sebuah pemerintahan adalah keberpihakannya pada rakyat. Gagasan tersebut muncul karena pemerintah diasumsikan akan selalu membela kepentingan rakyat, terutama rakyat dari lapisan ekonomi terbawah. Gagasan tersebut utamanya diangkat untuk mencapai keadilan sosial dengan asumsi bahwa pemerintah Indonesia sudah seharusnya menjadi ikon kedaulatan rakyat, yang mendengar dan senantiasa berusaha memahami kebutuhan rakyatnya.
Tulisan ini bertujuan untuk sekedar ajakan untuk mengingat dan merefleksikan kembali amanat konstitusi tentang bagaimana seharusnya negara berperan dalam perekonomian negara dan menjamin perbaikan nasib rakyat kelas bawah. Usaha untuk membangun Indonesia selalu menjadi tantangan tersendiri. Namun, menyerah juga bukan sebuah pilihan. Indonesia terlalu besar untuk gagal. Nasib ratusan juta warga negara Indonesia bergantung pada setiap langkah yang diambil pemerintah. Untuk sekadar diingat, ratusan juta warga negara tersebut masih berharap untuk bisa hidup lebih baik.
Catatan penulis: Saya mengundang masyarakat akademik FEB UGM untuk menanggapi tulisan ini atau menulis dengan topik apapun untuk dimuat di WartaEQ.com. Naskah tulisan dapat dikirimkan ke redaksidigital.eq@gmail.com dan tidak lebih dari 6.000 karakter.