Tempora mutantur, nos et mutamur in illis.
Tersebutlah sebuah kutipan dari drama karya Edward Forsett, Pedantius, yang dapat diterjemahkan menjadi “waktu berubah, dan kita pun berubah seiring dengannya”. Manusia dalam manifestasi profesi, umur, dan latar belakang yang beragam tidak akan luput dari pengaruh waktu. Waktu yang selalu berdinamika menyebabkan manusia harus siap setiap saat untuk berubah. Entah perubahan itu membawa dampak baik maupun buruk, tidak ada ukuran pasti karena yang dikaji merupakan sebuah fenomena sosial. Layaknya mengadaptasi sifat ilmu sosiologi yakni sifat non etis, penilaian terhadap suatu fakta (dalam hal ini perubahan) bukanlah perkara benar atau salah melainkan untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Salah satu perubahan yang tampak dengan jelas dan dekat dengan lingkungan kampus saat ini adalah hubungan antara mahasiswa dengan dosen pembimbing akademik (DPA). Ketika masa penyusunan kartu rancangan studi (KRS) selesai, pihak akademik meminta mahasiswa untuk menemui DPA masing-masing. Akademik mensyaratkan hal ini agar mahasiswa mengkonsultasikan hasil belajar dan mendapatkan bimbingan dalam hal akademik. Akan tetapi, kerap kali “konsultasi” ini bersifat transaksional. Mahasiswa hanya meminta tanda tangan pada selembar transkip nilai, selanjutnya “transaksi” ini pun langsung deal tanpa ada tindak lanjut yang berarti.
Fenomena konsultasi bersifat transaksional ini sudah cukup lama terjadi, khususnya sejak beberapa tahun terakhir. Sejatinya fungsi DPA adalah sebagai penghubung antara fakultas dengan mahasiswa. DPA membantu fakultas untuk membentuk mahasiswa menjadi manusia yang sukses karena kesuksesan fakultas dalam menyelenggarakan pendidikan dapat diukur dari kesuksesan mahasiswanya sendiri. Mahasiswa dan DPA sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam menyelaraskan fungsi ini. Seorang mahasiswa memiliki hak untuk memanfaatkan saran-saran yang nantinya merupakan kewajiban bagi seorang DPA untuk menyampaikan nasihat berupa penjelasan mengenai cost and benefit dari pilihan-pilihan akademik yang terhampar luas di depan mahasiswa.
DPA juga dapat memberi alternatif lain yang pemahamannya oleh mahasiswa masih dirasa kurang dikarenakan keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki mahasiswa. Hal inilah yang menjadikan DPA memiliki peran yang sangat penting dalam mengomunikasikan langkah strategis yang harus diambil dalam mewujudkan kesuksesan mahasiswa. Namun, sepertinya tidak ada pihak-pihak yang merasa hak atau kewajiban akademiknya tidak terpenuhi secara utuh. Ini merupakan indikasi bahwa fungsi kehadiran DPA di tengah mahasiswa mulai memudar.
Menyelisik lebih lanjut mengenai fenomena ini, B.M. Purwanto, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), menuturkan bahwa pergeseran fungsi DPA ini adalah “efek samping” dari semakin berkembangnya sistem perkuliahan yang ada di FEB dan UGM secara umumnya. “Dahulu mahasiswa memerlukan DPA untuk mengetahui mata kuliah yang diperlukan atau bahan kuliah yang sulit dicari. Sekarang mahasiswa bisa mendapatkan informasi tersebut melalui sistem informasi (Sintesis dan Palawa), sistem perpustakaan yang ada, internet, maupun dari sesama mahasiswa,” terang wakil dekan yang akrab disapa ‘Pak B.M.’ ini.
Ia pun menambahkan, jika mahasiswa FEB ingin menemui DPA secara langsung, disarankan melakukan kesepakatan dengan DPA terlebih dahulu dalam menentukan jadwal temu. Terkait hal ini, Anisa Agra (Mahasiswi Akuntansi 2013) berpendapat bahwa bagi mahasiswa yang mendapatkan DPA yang sulit ditemui sebaiknya berpandai-pandai mengombinasikan pengetahuan yang didapat dari DPA maupun dari lingkungan sekitar. Mahasiswa dapat meminta nasihat dan pertimbangan terhadap jenjang karier dan cara meraihnya serta konsultasi skripsi kepada DPA ketika waktunya telah tiba. “DPA penting ya soalnya lebih tahu banyak ketimbang kating (kakak tingkat), tapi karena DPA-ku cukup sibuk, untuk saat ini cukup berhubungan setelah KRS tapi kalau mau skripsi nanti akan lebih ditingkatkan,” ucapnya sembari menjual bakso bakar untuk menambah dana kelompok kuliah kerja nyata (KKN) di selasar FEB UGM.
Selain perubahan sistem FEB UGM yang mendorong perubahan hubungan DPA dan mahasiswa ini, wakil dekan yang sudah menjabat sejak 2009 ini juga menjelaskan bahwa fakultas tidak akan menuntut mahasiswa untuk gencar memanfaatkan DPA. Penyediaan DPA adalah murni upaya fakultas untuk memfasilitasi kebutuhan akademik mahasiswa. “Mahasiswa adalah manusia merdeka dan tidak boleh dipaksa. Silahkan saja bagi setiap mahasiswa yang ingin maju dan berprestasi untuk dapat memanfaatkan saran DPA secara maksimal,” ujarnya.
“Ibaratkan uang, DPA dinilai sebagai modal strategis bagi mahasiswa untuk membangun usahanya menjadi lebih sukses,” tutupnya.
(Mersia Mursalina, Muhammad Anugrah/EQ)
Discussion about this post