Sabtu malam lalu (11/3) menjadi sebuah malam riuh riang dan menciptakan warna tersendiri di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sebuah persembahan seni peran bertajuk “Lurah” telah berhasil disuguhkan oleh beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Yogyakarta yang tergabung dalam Teater Surjan (Suara Rakyat Jogja dan Abdi Negara). Perhelatan juga dimeriahkan dengan kolaborasi tari-tarian dan nyanyian anak-anak Balai Rehabilitasi Sosial dan Pengasuhan Anak (BRSPA) Dinas Sosial (Dinsos) D.I. Yogyakarta. Pementasan yang disutradarai oleh Broto Wijayanto, seorang yang ahli di bidang teater dan permainan anak, ini tidak memungut biaya dan terbuka bagi khalayak umum yang ingin menyaksikan.
“Yaa heya heyaa! Heya heyaa heya heyoo!” Sahut-sahutan beberapa bocah laki-laki di sudut-sudut ruangan membuka penampilan teater ini. Mereka selanjutnya naik ke panggung bersama dengan adik-adik BRSPA yang lain dan menari dengan diiringi lagu-lagu dolanan anak. Adegan demi adegan ditampilkan dengan apik dan sesekali mengundang gelak tawa penonton. Seluruh dialog yang menggunakan bahasa Jawa membuat nuansa pedesaan terasa kental dalam pertunjukan ini.
Pentas ini menghadirkan potret kehidupan manusia di zaman (penjajahan) Belanda. Zaman kolonial membagi masyarakat menjadi dua ambisi; bertahan dan membela negeri sendiri atau mengabdi pada sang kompeni demi menyejahterakan kehidupan pribadi. Para lurah bahkan diharuskan menjilat sang penjajah hanya untuk mendapatkan kuasa semu yang sebetulnya hanya sebuah kedok penjajah merampas kekayaan negeri.
Teater Surjan hadir dilatarbelakangi oleh rasa prihatin sekumpulan individu pegawai pemerintah melihat kondisi DIY saat ini. Pembangunan hotel dan segala bentuk modernisasi seakan menutup warisan leluhur tentang ‘rasa’ yang hakikatnya harus tertanam sebagai pedoman bertingkah laku. Seiring dengan hal ini, kaum marginal pada akhirnya menjadi korban akan permodelan modernisasi ini. Pegeseran pun datang dari sisi generasi muda yang terindikasi mengalami degradasi toleransi (individualis). “Modernisasi boleh saja dilakukan, pembangunan boleh saja dilakukan, tapi jangan sampai ‘rasa’nya hilang, tata kramanya hilang,” ujar Gerendra Nurwulan, salah satu aktor dalam pementasan ini.
Rasa prihatin akan hilangnya jiwa Yogyakarta itulah yang ingin disampaikan melalui pertunjukan malam itu. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah menjawab stigma buruk bahwa anak-anak di bawah naungan BRSPA DIY merupakan kaum terpinggir. Maka dari itu, melalui pentas ini diharapkan potensi yang mereka miliki dapat dimunculkan.
Membludaknya masyarakat sungguh di luar ekspektasi penyelenggara. Penonton bahkan rela untuk duduk lesehan dalam pagelaran ini. Acara malam itu ditutup dengan joget yang sangat meriah oleh adik-adik BRSPA dan seluruh pemain.
(Clara Anggit, Adrian Putera/EQ)
Discussion about this post