“Pendidikan merupakan senjata paling dahsyat yang dapat digunakan untuk mengubah dunia”—Nelson Mandela. Ungkapan yang dikemukakan oleh Nelson Mandela tersebut tidaklah berlebihan, sebab pendidikan pada dasarnya dapat menjadi kunci keberhasilan sebuah bangsa. Hal itu dikarenakan pendidikan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu negara, termasuk di Indonesia. Indonesia sendiri harus mempersiapkan kualitas pendidikan yang mumpuni mengingat sebagian besar populasi Indonesia didominasi oleh generasi muda.
Insan muda Indonesia pada umumnya dapat dianalogikan sebagai kumpulan benih yang pada akhirnya akan pecah. Pertama, benih itu akan pecah karena memang hancur dan lapuk membusuk layaknya insan-insan muda yang bertindak sebagai pelaku-pelaku kriminal yang hilang arah. Atau, kedua, benih tersebut pecah karena tangkai dan akarnya tumbuh sebagai tanaman. Dengan kata lain, insan-insan muda tersebut berhasil menemukan cara dan pilihan yang tepat untuk mencari ilmu yang nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Maka demikian, analogi kedua itu lah yang menjadi cita-cita sebagian besar masyarakat. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua generasi muda tersebut dapat mengenyam pendidikan secara baik dan benar, sehingga mereka seolah menjadi benih yang hanya tumbuh setengah jadi—karena kurang mendapat perhatian—ada juga yang tumbuh subur tapi buahnya tidak sesedap buah yang lain. Itu pula lah yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Penggambaran kondisi di atas dapat dibuktikan melalui masih banyaknya insan-insan muda Indonesia yang belum terpelihara pendidikannya secara baik dan benar. Buktinya, data dari United Nations Development Programme (November 2013) menunjukkan bahwa peringkat indeks pendidikan Indonesia ada di posisi 108 dari ±187 negara. Peringkat ini tentunya masih sangat jauh dari beberapa negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand yang berturut-turut menduduki peringkat ke-9, 62, dan 89. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia ke arah yang lebih baik.
Sejarah Singkat Pendidikan di Negeri Jajahan
Permasalahan pendidikan di Indonesia memang bukan suatu hal yang baru, melainkan sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan sebab negeri kita masih menganut sistem pendidikan yang diajarkan sejak jaman kolonial. Pada masa pra-kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua sistem. Pertama, sistem pendidikan yang diprakarsai oleh para ulama, yaitu pendidikan santri serta yang kedua, sistem pendidikan formal dan non-formal yang ditanamkan oleh Belanda. Sampai saat ini, sistem pendidikan yang umum diberlakukan di Indonesia adalah yang kedua. Sistem ini merupakan adopsi dari sebuah negara Prusia—negara militan yang hari ini membentuk negara Jerman. Pada dasarnya, sistem pendidikan Prusia ini diberlakukan mengingat para insan mudanya kelak akan menjadi prajurit perang yang siap membela negaranya dengan sigap. Oleh sebab itu, pendidikannya disampaikan dengan tegas, straight, disiplin, dan keras.
Sistem pendidikan itulah yang umumnya diadopsi oleh Indonesia secara turun-temurun. Sistem tersebut yang kita kenal dengan metode pengajaran guru mendikte sedang murid mencatat dan mendengarkan. Metode pendidikan yang dikritisi oleh Soe Hoek Gie karena murid seakan mencerminkan ‘sapi yang dicocok hidungnya oleh guru’. Memang sudah ada beberapa perubahan dalam pendidikan Indonesia meliputi beberapa kali perubahan nama UMPTN menjadi UN menjadi SPMB akan tetapi perubahan tersebut hanyalah sebatas nama, tidak secara mendasar. Contoh lainnya, intensitas ketegasan guru yang mulai ‘melembek’—akibat takut dilaporkan orang tua murid—hingga modernisasi media belajar—meskipun masih banyak guru yang belum dapat mengoptimalkan media tersebut.
Sebagai perbandingan, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Finlandia, dan Korea Selatan sudah lebih dahulu menyadari bahwa generasi mudanya tidak cocok lagi menggunakan metode yang sama. Hal tersebut dikarenakan perbedaan generasi yang ditandai dengan perbedaan gaya hidup. Generasi saat ini (Generasi Y), pada umumnya sudah terlahir dengan mengenal gadget. Seiring dengan itu, jabatan-jabatan penting di sebuah korporasi sudah tidak lagi ditentukan oleh senioritas, melainkan profesionalitas yaitu lebih memperhitungkan kapabilitas dari masing-masing individu. Hal ini terbukti dari kasus temaramnya korporasi-korporasi elektronik Jepang. Korporasi mereka terlalu ‘berkarat’, terlalu banyak pertimbangan untuk menerbitkan sebuah inovasi. Etos seperti itu sangatlah bertolak belakang dengan Korea Selatan yang notabene senior managernya diduduki oleh pemuda-pemuda berusia 30-an. Implikasinya, perusahaan elektronik Korea Selatan dengan semangat pemudanya yang kreatif lebih fleksibel, intens, dan berani menerbitkan inovasi bersaing dengan cepat.
Revolusi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan tantangan paling menentukan saat ini. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, yang pertama pendidikan merupakan suatu media penciptaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang menurut Sollow Growth’s Model merupakan variabel pengganda penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kedua, pendidikan merupakan penyelesaian inti dari pelbagai permasalahan bangsa. Terakhir, yang paling penting, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2030, oleh sebab itu pendidikan yang layak penting untuk dipersiapkan sedari sekarang agar dapat bersaing aktif pada perekonomian dunia pada titik kulminasi itu.
Pertanyaannya, pendidikan seperti apa yang dibutuhkan oleh Indonesia? Pertama-tama, kita boleh berterima kasih pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) karena telah melakukan beberapa revolusi di bidang pendidikan. Seiring dengan hal itu, telah muncul pula beberapa pendobrakan program inovasi pendidikan yang bertujuan menyalurkan tenaga-tenaga pengajar ke pelosok negeri. Karena memang tenaga pengajar adalah kunci penting dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Tenaga pengajar adalah aktor yang berhubungan langsung dalam mentransfer ilmunya kepada insan-insan muda Indonesia. Tetapi, apakah itu cukup?
Sebuah ensiklopedia berjudul Ensiklopedi Islam untuk Pelajar (2001) menyatakan, bahwa pendidikan itu hakikinya tidak hanya proses transaksi ilmu, namun juga perlu adanya transfer nilai-nilai positif di dalamnya. Oleh sebab itu, pendidikan yang baik perlu dirajut melalui proses pendekatan yang intens antara pelajar dengan pahlawan tanpa tanda jasa . Seorang investor bernama Tai Lopez dalam sebuah pidatonya di TEDx—sebuah konferensi non-profit global, lebih spesifik menarik peranan guru/ pengajar menjadi seorang mentor. Hal tersebut dikarenakan seorang mentor memiliki ikatan yang lebih dekat dengan murid yang diajarnya sehingga nilai-nilai bisa ditularkan dengan lebih komprehensif dan bermakna. Argumen tersebut juga diamini oleh CEO General Electric Indonesia, Handry Satriago, dalam bukunya yang berjudul #Sharing . Dalam buku tersebut, Handry mengatakan bahwa melalui seorang mentor, mentee—pihak yang dimentor—bisa mendapatkan nilai dan ilmu yang tidak diajarkan pada pendidikan formal, yang disebut tacit knowledge.
Melalui metode mentorship, para pemuda nantinya dapat belajar langsung dari expert langsung. Mentorship sendiri dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan secara privat kepada salah seorang expert untuk membimbing ataupun melalui sebuah kelas mentorship yang intensif. Seiring dengan itu, mentorship juga dapat dilakukan dalam lingkup keluarga, artinya tiap anggota keluarga dapat menjadi mentor bagi anggota keluarga lainnya. Sisi penting dari konsep mentorship ialah menemukan dan mengenali potensi serta cita-cita. Tentu saja pihak keluarga berperan penting untuk mendukung dan mengenalkan anak-anaknya dalam menemukan potensi serta cita-citanya. Bahkan, Buya Hamka, dalam bukunya yang berjudul Falsafah Kehidupan, menegaskan bahwa alangkah lebih baik apabila orang tua lebih intens dalam mendidik anaknya melalui dukungan ilmu daripada hanya mengandalkan dukungan materi. Karena pada dasarnya, orang tua merupakan pemahat pertama dari karakter insan-insan muda penerus bangsa. Karakter inilah yang nantinya dibawa hingga anak tersebut menuju dewasa untuk berkontribusi bagi nusa dan bangsa.
(Ega Kurnia Yazid/EQ)
Discussion about this post