Apa hal pertama yang muncul di benak Anda saat mendengar “Surat Utang Negara”? Mengapa negara kita harus berutang? Apakah pendapatan negara Indonesia begitu kurang sehingga perlu berutang? Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), bekerja sama dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam “Sosialisasi Surat Utang Negara”. Dalam acara ini, ada dua pembicara yang menyampaikan materi, yaitu Subhan Noor (Kepala Subdirektorat Pengembangan Pasar Surat Utang Negara, Direktorat Surat Utang Negara, DJPPR) dan Herman Sary Tua (Kepala Seksi Analisis Pasar Keuangan Internasional, Direktorat Surat Utang Negara, DJPPR). Acara yang berlangsung pada Jumat (11/3) pukul 09.00-11.30 WIB tersebut dihadiri oleh ratusan peserta yang tampak penuh sesak mengisi ruang Auditorium BRI Magister Sains dan Doktor FEB UGM.
Subhan Noor dalam paparannya menjelaskan bahwa Indonesia belum mampu jika hanya mengandalkan pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan dan pembangunan infrastruktur. Kecenderungan yang terjadi di negara kita adalah pengeluaran untuk pembelanjaan selalu melebihi pendapatan. Selama ini, yang dilakukan untuk menutup kekurangan adalah meminjam uang dari luar negeri dengan konsekuensi banyaknya syarat yang harus dipenuhi. Untuk mengurangi porsi pinjaman luar negeri, salah satu upaya lain untuk menutup kekurangan tersebut adalah dengan menerbitkan Surat Utang Negara.
Surat Utang Negara (SUN) adalah surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya (Pasal 1 UU Nomor 24/2002 tentang SUN). Adapun jenis-jenis Surat Berharga Negara terbagi menjadi dua bagian, yaitu Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau biasa disebut sukuk. Surat Utang Negara sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu Obligasi Negara (berjangka waktu lebih dari 12 bulan), dan Surat Perbendaharaan Negara (berjangka waktu sampai dengan 12 bulan).
Tujuan dari diterbitkannya SUN adalah membiayai defisit APBN, menutupi kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola portofolio utang. Sementara itu, manfaatnya adalah sebagai instrumen fiskal (membiayai APBN), sebagai instrumen investasi (SUN untuk pembangunan infrastruktur), sebagai instrumen moneter (menjaga inflasi), serta mendorong terciptanya acuan imbal hasil (benchmark yield) bagi penilaian harga instrumen keuangan lainnya.
Saat ini, SUN menjadi sumber terbesar saldo utang pemerintah. Dari total saldo utang pemerintah yakni 3.162 triliun Rupiah pada tahun 2015, 2.410 triliun Rupiah diantaranya berasal dari SUN dan sukuk/SBSN. Sedangkan sisanya 752 Triliun Rupiah berasal dari pinjaman luar negeri. Berbeda jauh dari tahun 2008, proporsi saldo utang pemerintah kurang lebih 50% dari SUN serta sukuk/SBSN dan 50% dari pinjaman luar negeri. Negara berusaha untuk meningkatkan sumber pembiayaan dari masyarakat Indonesia sendiri dengan SUN. Menurut Subhan, manfaat yang didapatkan pemerintah adalah mendapatkan modal untuk pembiayaan dan manfaat bagi masyarakat yang menginvestasikan uangnya di SUN adalah mendapat imbal hasil. “Dari kita, oleh kita, untuk kita,” ujarnya.
Utang yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur nantinya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga kesejahteraan masyarakat, sehingga penerimaan negara bisa meningkat. “Utang harus dikelola dengan baik, untuk tujuan yang produktif, bukan konsumtif,” ujar Herman Sary Tua.
(Naomi Maria Lasamahu/EQ)
Discussion about this post