Konflik kepentingan tidak jarang tersirat dalam praktik lembaga atau instansi yang ada di Indonesia. Isu ini dibahas lebih cermat oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam “Diskusi Publik: Korupsi, Religiusitas, dan Demokrasi” pada Rabu (26/9). Bertempat di Ruang Seminar Perpustakaan Pusat UGM lantai 2, acara ini memaparkan hasil survei dua tahun terakhir mengenai tren persepsi publik tentang korupsi, afiliasi organisasi agama, dan demokrasi.
Diskusi diawali oleh Kuskridho Ambardi, MA, Ph.D. selaku Direktur Eksekutif LSI. Kuskridho memaparkan hasil survei dengan kajian korupsi terhadap 1.520 responden dimana responden tersebut merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum. Dalam survei Agustus 2018, sebanyak 57% responden merasa bahwa tingkat korupsi di Negara Indonesia mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Dibandingkan dengan tahun lalu, hasil survei ini cenderung tidak berubah secara signifikan. Sebanyak 64% responden juga menilai pemerintah serius atau sangat serius melawan korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan warga terhadap penanganan kasus korupsi oleh pemerintah cukup tinggi.
Hasil survei mengemukakan beberapa fakta yang menarik. Walaupun interaksi warga dengan pemerintah paling banyak terjadi dalam hal mengurus kelengkapan administrasi publik (55.7%), probabilitas paling besar dari adanya tindakan korupsi oleh pegawai pemerintah terjadi ketika warga berurusan dengan pihak pengadilan (21,6 %) dan kepolisian (33.7%). Meski demikian, sebanyak 67% responden berpendapat bahwa pemberian uang atau hadiah saat berhubungan dengan instansi pemerintah (gratifikasi) adalah hal yang tidak wajar.
Kuskridho juga menarik beberapa kesimpulan dari data yang diolah LSI. Dari korelasi data yang diteliti, temuan menyatakan bahwa semakin sering warga mengalami situasi koruptif, semakin ia bersikap pro terhadap korupsi. Di sisi lain, dukungan masyarakat terhadap demokrasi tidak berkorelasi secara signifikan terhadap sikap korupsi. Hal ini mencerminkan bahwa nilai dan sistem demokrasi yang dijunjung tidak mempengaruhi pandangan warga terhadap korupsi.
Temuan selanjutnya adalah perihal efek religiusitas organisasi terhadap pandangan anggota-anggotanya mengenai korupsi. Mayoritas masyarakat memang tidak berafiliasi dengan suatu organisasi (57.8%). Sifat antikorupsi lebih tinggi di anggota organisasi sekuler daripada anggota organisasi berlatar agama. Hal ini semakin menegaskan fenomena keberagamaan yang hanya sebagai formalitas. Perilaku yang mencerminkan religiusitas seseorang hanya sebatas kegiatan normatif seperti sembahyang, zakat, dan menghadiri khutbah.
Masih dalam ranah korupsi, LSI juga menampilkan data soal pengaruh keterlibatan masyarakat dalam organisasi terhadap pandangan dan sikap korupsi berdasarkan demografi. Kelompok masyarakat muda lebih banyak bersikap pro terhadap korupsi (28%) dibandingkan dengan kelompok lebih tua (24%). Sementara itu, kelompok masyarakat yang tinggal di perkotaan, berumur lebih tua, berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi cenderung lebih bersikap anti-korupsi.
Diskusi kemudian ditanggapi lebih lanjut oleh Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf yang merupakan dosen Center for Religious & Cross-Cultural Studies UGM. Iqbal menyarankan LSI agar menyajikan korelasi antara toleransi kehidupan beragama dengan sikap terhadap korupsi. “Dapat menjadi tumpuan karena ada kekhawatiran bahwa masyarakat terbelah berdasarkan isu keagamaan,” tutur Iqbal.
Sementara itu, Dr. Zainal Arifin M., S.H., LL.M, dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus juga Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi, mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki perangkat pemberantasan korupsi terlengkap dengan adanya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kementerian Keuangan RI, dan lain-lain. Namun, tetap saja tindakan korupsi masih ditemukan. “Memang pemberantasan korupsi di Indonesia itu seperti ada efek treadmill, kita berkeringat banyak tetapi tidak bergerak,” jelas Zainal. Arya Budi, S.IP, MAPS, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, turut menambahkan bahwa korupsi masih terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah.
Zainal mengutarakan bahwa korupsi dapat terjadi secara pasif ketika suatu institusi mempersulit atau melambatkan proses administratif dan legalitas warga. Secara tidak langsung warga dipaksa merogoh saku untuk menyelesaikannya dengan cepat. Korupsi sendiri terbagi menjadi dua, yaitu korupsi by needs dan by greed. Korupsi by greed adalah jenis yang mendapatkan amukan massa karena kuantitas kerugiannya yang besar. Kadang nalar warga merasionalkan korupsi by needs.
Banyak asumsi yang muncul saat membicarakan tentang pendapat dan pengalaman publik mengenai korupsi, demokrasi, dan religiusitas. Stigma mengenai korupsi didominasi oleh sikap antikorupsi yang muncul ketika publik mendukung adanya demokrasi dan menjunjung nilai agama. Namun, pemaparan data survei menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejak dulu, Plato beranggapan bahwa demokrasi mengarah ke despotisme. Anggapan ini bisa terwujud jika masyarakat dan aparat pemerintah membentuk sikap dari pengalaman, bukan membentuk pengalaman dari sikap.
(Dira Zahrofati/EQ)
Discussion about this post