Senin (7/9) sore, Selasar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) riuh padat lewat perbincangan mengenai isu pembangunan yang sedang marak diperbincangkan, yakni Meikarta. Sebuah diskusi umum yang mengulik tentang baik buruknya pembangunan proyek Meikarta ini dimandatori oleh Departemen Kajian dan Strategi FEB UGM. Diskusi juga dipandu oleh Rizkiana Sidqi (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota 2014) selaku moderator, Imam Adli (Ilmu Ekonomi 2013) selaku pembicara dari prespektif ekonomi, serta Daniel Futuchata Falachi (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota 2014) yang turut memberikan suara dalam ruang lingkup tata ruang.
Berlokasi di Cikarang, Jawa Barat, Meikarta sendiri merupakan rancangan ‘kota masa depan’ usungan Lippo Group yang menghabiskan lahan sebesar 1,5 juta meter persegi dan menelan dana hingga Rp278 triliun. Meikarta sukses menarik simpati khalayak masyarakat lewat gemboran promosi secara besar-besaran di berbagai lini massa. Startegi pemasaran yang menghebohkan, mulai dari slogan The Future is Here Today hingga tawaran besar infrastruktur super lengkap mulai dari Bandara Kertajati, Pelabuhan Patimban, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, light rail transport, monorail, hingga Jakarta-Cikampek Elevated Toll.
Imam berpendapat bahwa lahan yang tak lebih dari setengah dari total luas UGM tidak mungkin memenuhi segala fasilitas yang ditawarkan, maka dari itu predikat ‘Kota Baru’ dirasa masih kurang representatif dari kondisi sebenarnya. Meikarta layaknya sebuah proyek real estate pada umumnya dengan berbagai fasilitas penunjang seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat hiburan. Iman justru lebih setuju pada proyek pembangunan ekspansi kota lama dibandingkan pembangunan kota baru, meskipun ritme pemerintah saat ini justru cenderung memudahkan proses pembangunan kota baru dibandingkan dengan ekspansi. Selain itu, faktor biaya tak ayal menjadi momok besar kepada pihak swasta untuk lebih memilih proyek pembangunan kota baru.
“Lalu, bagaimana dampak pembangunan Meikarta untuk perekonomian Indonesia? Apakah benar jika Meikarta dan Meikarta lainnya sukses dibangun hanya akan mengenyangkan pihak luar?” tanya Rizki selaku moderator sebagai tanggapan atas pemaparan Iman.
Iman menyampaikan bahwa keberadaan Meikarta justru menimbulkan keuntungan bagi penduduk pemilik tanah disekitarnya. Kenaikan harga tanah akan otomatis terjadi mengingat proyek ini akan menimbulkan sebuah lahan ekonomi baru yang menyebabkan arus perputaran uang menjadi lebih produktif. Dari segi kapitalis, dengan mengabaikan dampak sosial kemasyarakatan, keuntungan yang terjadi akan lebih banyak dirasakan dibandingkan dengan kerugian yang harus terjadi akibat pembangunan terjadi.
Menurut Daniel dalam perspektif dalam tata ruang, Meikarta dipandang akan memberikan dampak baik dalam menurunkan angka backlog Indonesia yang pada tahun 2017 bisa menembus angka 10 – 12 juta per tahun. Backlog merupakan indikator yang digunakan pemerintah dalam mengukur tingkat kebutuhan rumah tinggal penduduk suatu negara. Tidak dapat dipungkiri, permintaan terhadap hunian menikuk tajam tahun demi tahun dengan peran swasta yang bekerja sebesar 40 persen, sementara di lain sisi penawaran berupa tanah yang tersedia mutlak inelastis. Hal ini menjadikan model rumah vertical housing mulai bermunculan untuk mengatasi kedua kondisi yang tidak terpungkiri terjadi. Alasan pembangunan Meikarta ini juga dipicu akan kejenuhan masyarakat akan kehidupan perkotaan Jakarta yang riuh, padat, dan cenderung kumuh. Alasan lain terihat dari begitu besarnya prospek Bekasi, Jawa Barat akibat menjadi intersect dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang begitu banyak.
Daniel merumuskan setidaknya terdapat lima tantangan yang harus dilampaui Meikarta dalam menyukseskan proyek ini, yakni penyelesaian izin Meikarta yang belum rampung, sinkronisasi kebijakan pemerintah, kesesuaian, suksesi rancangan, serta kolaborasi dengan pemerintah. “Saya rasa bukan pindah, namun berbenah,” sebuah penutup singkat yang coba disampaikan Daniel dalam akhir pemaparannya.
Pertanyaan mulai bermunculan, mengomentari dan membahas jauh lebih dalam mengenai Meikarta. Pertanyaan pertama datang dari salah satu peserta diskusi, yakni Reyhandi Alfian Muslim mengenai mekanisme Meikarta yang sudah berjalan walaupun tanpa ada izin sah dari pemerintah daerah setempat. Pre-project selling merupakan kejadian yang sangat lumrah terjadi terutama pada bisnis properti. Daniel menambahkan bahwa pihak swasta memiliki keyakinan besar bahwa perizinan niscaya akan diberikan oleh pemerintah meskipun dalam kurun waktu yang cukup lama. Dari segi ekonomi, Najmi (FEB UGM) menyinggung permasalahan adanya keterkaitan Meikarta dengan Crony Capitalism. Menurut Imam Crony Capitalism sendiri tidak terelakkan terjadi, sejalan dengan keyakinan swasta untuk tetap tenang menghadapi bukti perizinan yang tak kunjung turun. Masyarakat dalam hal ini hanya dapat mengawasi dari ‘luar’, sejauh tidak adanya tindakan yang menimbulkan kerugian pada masyarakat.
Diskusi yang memakan waktu sekitar 120 menit ini memberikan warna baru terhadap Meikarta yang sedang marak diperbincangkan. Iman menyampaikan harapan bahwa diskusi ini dapat memberikan framework dalam memandang setiap fenomena ekonomi lewat fenomena Meikarta ini. “Semoga Meikarta ini dapat semakin memicu kita dalam melatih kepekaan kita menemukan perubahan struktur pembangunan dan sekaligus memberi solusi,” tutup Daniel.
(Clara Anggit Prasinta/EQ)
Discussion about this post