Akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan eksistensi pers mahasiswa (persma). Dalam lingkaran persma sendiri, diskusi lebih banyak berputar pada nostalgia zaman keemasan persma tahun 1965 dan 1998. Ketika itu, persma memang menjadi bagian penting dari sejarah reformasi demokrasi negeri ini. Kini, persma seperti kehilangan peminat, baik dari segi pendaftar redaktur yang berkualitas maupun antusias masyarakat yang menantikan produk gagasannya.
Diluar itu ada hal lain yang sebenarnya jauh meresahkan. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebutkan bahwa dari sekitar 200 juta penduduk di Indonesia, jumlah buku yang beredar setiap tahunnya hanya sebesar 50 juta saja. Kebiasaan membaca apalagi menulis memang sejak dulu bukan ciri yang bisa dibanggakan dari masyarakat Indonesia. Pakar media sosial Nukman Luthfie juga menuturkan bahwa pesatnya microblogging seperti facebook, twitter, dan LINE ternyata membuat minat masyarakat untuk mengakses koran dan majalah mengalami penurunan.
Internet memang telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat urban dewasa ini. Survei InternetLiveStats tahun 2015 yang dikutip melalui laman wearesocial.net menyebutkan bahwa 42 persen dari total penduduk dunia saat ini sudah mengakses internet. Dari laman yang sama, survei yang dirilis oleh Global Web Index tahun 2014 menyebut Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di dunia dalam penggunaan media sosial (52.000.000 active user) dibawah Cina dan India. Setiap harinya, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu selama 5 jam untuk mengakses internet dan 2,9 jam dari itu digunakan untuk mengakses media sosial.
Pertumbuhan media sosial yang pesat tersebut tentu perlu disikapi agar arus perjuangan persma tak surut dimakan zaman. Dalam pasar yang kompetitif seperti saat ini, buyer is the king. Persma harus siap memancing ceruk masyarakat yang hadir dalam ruang-ruang dunia maya. Dengan bergesernya fokus ke digital, bukan tak mungkin persma justru bisa memperoleh peluang penghematan yang besar.Selama ini, produk persma seperti buletin hanya dibagikan secara gratis meskipun ada biaya cetak yang harus ditanggung. Dengan berbagai pilihan registrasi website yang bervariasi mulai Rp 300,000,00 hingga Rp 3000.000,00 atau bahkan bisa diperoleh secara gratis, persma bisa menjaring target pembaca yang lebih luas. Pembaca bisa menjangkau produk persma dengan bebas tanpa terbatas ruang dan waktu. Wearesocial.net juga memaparkan bahwa advertiser saat ini justru cenderung menyukai pemasangan iklan melalui media digital dibanding media cetak. Lebih dari itu, persma digital bisa menjawab tantangan menghemat penggunaan kertas seperti yang selama ini disuarakan organisasi lingkungan Greenpeace.
Persma digital juga bisa menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berbagi gagasan. Ada banyak mahasiswa yang memiliki blog pribadi untuk mencurahkan hati dan berbagi kisah aktivitasnya. Akan tetapi, masih sedikit dari mereka yang membagikan tulisan edukatif tentang ilmu yang dimiliki atau berani menuliskan pandangan atas suatu headline berita di negeri ini. Disini, pers mahasiswa bisa mengambil perannya dengan melahirkan generasi yang bangga untuk membagikan gagasan mereka melalui tulisan ke media massa.
Bukan sesuatu yang sulit bagi organisasi persma untuk menginstal aplikasi LINE@, registrasi akun persma di facebook dan twitter, atau memiliki website sendiri. Yang sulit adalah menciptakan komitmen untuk senantiasa menghadirkan produk yang tetap berkualitas dengan limit produksi yang pendek sehingga tantangan dalam menyajikan tulisan yang cepat bisa tetap diperhitungkan. Akan tetapi, bukankah cita-cita yang visioner itu selalu menjadi semangat bagi siapa saja yang mau belajar?
Persma digital juga perlu menentukan target sharing berita yang dimuat di LINE@ dan facebook, target hits atau rating di website, serta target retweet di twitter dari pembacanya. Persma digital juga perlu melakukan sinkronisasi dari setiap artikel yang dirilis di website dan semua media sosial yang dimiliki. Setiap aktivitas yang dilakukan organisasi memang harus diukur sesuai prinsip manajemen yakni specific, measurable, achieved, attainable, realistic, dan timely (SMART). Diatas itu semua, persma digital tetap perlu menegakkan etika jurnalistik agar tidak terbawa arus media digital umum yang sering mengabarkan berita hoax sehingga meresahkan masyarakat. Persma digital yang dikawal oleh generasi terdidik ini harus menjadi pilar dari bangkitnya reformasi media digital saat ini.
Dengan dibukanya keran informasi digital, sekali lagi pers mahasiswa harus dapat memanfaatkannya. Bukan tak mungkin persma digital mampu melahirkan sosok-sosok baru penerus Soe Hok Gie atau Pramoedya Ananta Toer. Perkembangan teknologi yang pesat dan memunculkan masyarakat digital dapat menjadi terobosan dalam mewujudkan cita-cita persma untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia.
(Astrini Novi Puspita, Manajemen 2011, UGM)
Discussion about this post