Saat melakukan perjalanan lintas daerah di Pulau Jawa, penulis melewati jalan yang bersisian langsung dengan sungai dan menyaksikan situasi kurang nyaman dilihat yaitu seseorang buang hajat langsung di sungai. Ketika itu, penulis hanya memandang dan menganggap jijik sambil bergurau karena aliran sungai yang dipakai untuk buang hajat sama dengan aliran yang dipakai untuk mencuci sejumlah orang. Beberapa bulan kemudian, penulis menemukan fakta yang mengejutkan mengenai buang hajat sembarangan yang kala itu sempat penulis anggap sebelah mata. Tahun 2015–dilansir oleh WHO/UNICEF JMP (Joint Monitoring Programme)-51 juta orang Indonesia masih melakukan praktik buang hajat sembarangan. Data ini mengukuhkan fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama se-Asia Tenggara mengenai masalah buang hajat sembarangan atau defekasi terbuka dan peringkat kedua dunia setelah India. Lucu juga bila dibayangkan bagaimana kebanyakan masyarakat kita menganggap India sebagai negara kurang bersih padahal kita mengekor tepat di belakangnya.
Implikasi dari buang hajat sembarangan tidak hanya berpengaruh terhadap pelakunya, tetapi juga lingkungannya, khususnya sanitasi masyarakat. Diketahui dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, capaian sanitasi Indonesia hingga saat ini berada di angka 76,1%, setingkat di atas Kamboja dan Timor Leste di Asia Tenggara. Akses masyarakat terhadap sanitasi yang buruk menimbulkan kematian balita sebesar 40,07% karena penyakit diare (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Selain itu, penyakit stunting yang diderita oleh 29,6% bayi di Indonesia juga menjadi salah satu akibat dari buruknya sanitasi yang diakses masyarakat (Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pemerintah tentu tidak diam melihat kondisi tersebut. Terhitung sejak 2008, pemerintah melakukan program pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang salah satu pilarnya adalah Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS). Pihak non pemerintah yang peduli akan isu sanitasi juga ikut mengembangkan gerakan mencegah buang hajat sembarangan, salah satunya adalah gerakan Tinju Tinja yang diinisiasi oleh UNICEF Indonesia. Selain itu, pembangunan akan jamban yang baik untuk masyarakat baik dari pemerintah maupun nonpemerintah juga mulai bergerak ke beberapa daerah. Namun, seakan telah menjadi kegiatan yang telah mengakar kuat, budaya buang hajat sembarangan nampaknya masih perlu usaha ekstra untuk memberantasnya.
Mengapa demikian? Menurut riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan, sampai tahun 2013 sendiri baru sekitar 76,2% masyarakat Indonesia yang memiliki toilet sendiri, 6,7% menggunakan toilet bersama, 4,2% menggunakan toilet umum, dan sisanya sebesar 12,9% tidak memiliki toilet atau memilih buang hajat sembarangan. Padahal, dilansir dari studi yang dilakukan Bank Dunia, sekitar 6,4 juta ton kotoran manusia (limbah hitam) dari rumah tangga dihasilkan tiap tahunnya. Bayangkan, jika sebesar 12,9% masyarakat membuang hajat sembarangan, sudah berapa ton limbah hitam yang dibuang tersebar di beberapa tempat dan sudah berapa kali bakteri dan penyakit mengontaminasi manusia?
Kebiasaan buang hajat sembarangan tidak akan bisa berhenti hanya karena pembangunan toilet berstandar baik tanpa diiringi oleh pemahaman sampai ke akarnya mengenai perilaku gaya hidup sehat. Di bantaran sungai Ciliwung misalnya, lewat wawancara salah satu warganya yang dilakukan oleh VPRO Metropolis, warga tersebut mengatakan bahwa kebiasaan buang hajat sembarangan sudah biasa dilakukan di sungai. Mereka berasumsi bahwa standar kebersihan adalah apapun dengan sabun tanpa melihat kondisi air yang mereka gunakan. Dengan asumsi seperti itu, bukannya tidak mungkin implikasi dari kebiasaan buang hajat sembarangan tidak juga mereka indahkan. Pemahaman seperti inilah yang harus diputus akarnya dan diisi secara perlahan dengan pemahaman mendasar tentang berperilaku sehat.
Mengubah suatu budaya buruk ke arah yang lebih baik terkadang memang membutuhkan waktu yang lama. Apalagi jika budaya tersebut sudah dilakukan turun temurun dan pelakunya belum menerima dampak secara langsung. Mungkin kita bisa berkaca dari pembentukan budaya orang rimba atau suku anak dalam keengganan masyarakatnya untuk buang hajat di sungai. Memang dasar utama budaya tersebut bukan karena unsur kesehatan tapi lebih kepada penghormatan orang rimba terhadap alam. Namun, bukankah dengan adanya alam yang sehat kesehatan yang sehat juga akan tercapai?
(Nadia Nurrahma/EQ)
Referensi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://www.depkes.go.id/download.phpfile=download/pusdatin/buletin/buletin-diare.pdf. Diakses pada 12 Februari 2019.
Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi. http://www.depkes.go.id/download.phpfile=download/pusdatin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf. Diakses pada 12 Februari 2019.