Sekilas, memang tidak ada yang istimewa dari sehelai kain bermotif sederhana yang ditenun oleh sepasang tangan keriput. Kain tenun yang dahulu pernah menjadi primadona kebutuhan demi menutup lekuk tubuh, kini hampir terhapus dari ingatan sebagian masyarakat. Bagi sebagian lain yang belum lupa, ini saatnya untuk mengenalkan kembali budaya Indonesia, khususnya masyarakat Yogyakarta. Bersama dengan rekan dari Negeri Sakura, Indonesia International Contribution Project Hiroshima University of Economics-Universitas Gadjah Mada (IICP HUE-UGM) kembali hadir dengan misi menjaga kain lurik agar tak terhapuskan dari ingatan masyarakat.
IICP HUE-UGM adalah proyek sosial antara HUE dan UGM yang diadakan setiap enam bulan sekali. Dimulai pada 2006 saat terjadi gempa bumi di Yogyakarta, mahasiswa HUE membantu korban melalui berbagai pendampingan selama masa pemulihan. Hal yang sama mereka lakukan ketika terjadi erupsi Gunung Merapi pada 2010. Setelah itu, mereka baru berfokus dalam pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah mengembangkan desa pengrajin kain lurik yang mulai asing di negeri sendiri.
Pada Rabu (11/9), kami berkesempatan mengikuti kunjungan tim public relation (PR) IICP HUE-UGM yang diketuai Georgina Tassha (Akuntansi 2018) mengadakan kunjungan ke N-Workshop. Mereka berencana untuk bertemu dengan warga desa penenun kain lurik dan melakukan pelatihan di sana. Hal ini merupakan salah satu kegiatan dari seluruh rangkaian IICP yang dilakukan oleh tim PR. IICP sendiri memiliki tiga tim, yaitu public relation, product team, dan marketing team. Di N-Workshop, para peserta dari HUE dengan didampingi Tassha melakukan pelatihan dan memperhatikan proses penjahitan yang dilakukan oleh warga desa. Hasil pelatihan itu dicatat dan kemudian dijadikan laporan yang menjadi tugas peserta.

Bagi Riku Takesue, salah satu peserta dari Hiroshima University of Economics, ini merupakan kali ketiganya mengikuti IICP. Riku yang memiliki hobi bepergian, memilih Indonesia sebagai salah satu negara yang ia sukai. Pesona lurik pun tidak luput dari mata mahasiswa tingkat dua itu. “Orang Jepang suka dengan motif-motif yang seperti itu (sederhana, red). Makanya, kain lurik disukai karena motifnya hanya garis vertikal dan horizontal,” jelas Riku dengan dibantu oleh penerjemah, Yogiswara Dany Ra’ufardana (Sastra Jepang UGM 2018). Hal ini tidak mengherankan karena kain lurik sendiri memiliki makna kesederhanaan.
Riku tergabung dalam tim PR yang bertugas mensosialisasikan proyek dan mengelola seluruh media sosial IICP. Ia sudah melakukan banyak hal selama seminggu pertama, yaitu membagi-bagikan produk, melakukan product control, merancang desain produk, dan melakukan skill training bersama warga desa yang menjadi partner IICP. Riku juga berkesempatan mengunjungi stasiun televisi dan berbicara di radio sebagai bagian dari pekerjaannya. Ia bersama teman-temannya berupaya membantu penjualan tim marketing dengan visualisasi produk yang menarik. Pouch, tote bag, dan pencil case adalah contoh dari hasil modifikasi produk kain lurik mereka sehingga lebih fleksibel di kalangan anak muda. Selain itu, mereka juga membuat yukata (pakaian khas Jepang) berbahan lurik. Riku mengaku merasa senang menjadi bagian dari PR karena membuatnya mampu bersosialisasi dengan banyak orang dan menjelaskan kegiatan-kegiatan yang timnya lakukan. Seluruh aktivitas selanjutnya pun akan dilakukan oleh PR dengan senang hati dan semangat yang tinggi.
Masih banyak agenda yang harus dipenuhi oleh para peserta IICP HUE-UGM dalam misi memopulerkan kembali kain lurik. Tentu saja mengenalkan kembali budaya yang nyaris terhapus zaman sulit untuk dilakukan. Kendati demikian, masih banyak orang yang peduli dengan budaya indah milik Indonesia, bahkan dari negeri seberang sekalipun. Kiranya, siapa yang sanggup melupakan keindahan masa lampau yang penuh dengan nostalgia?
Info mengenai produk dan kegiatan sosial IICP HUE-UGM dapat dilihat melalui media sosial instagram @iicpkdk
Febytania, Farid Fakhri/EQ
Discussion about this post