
Awal tahun 2019, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara berkembang hanya bisa mencapai angka 4,2%, turun dari proyeksi awal yaitu 4,7%. Hal ini disebabkan karena beberapa hal seperti tertekannya pasar keuangan dan melambatnya aktivitas perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Terlebih lagi aktivitas ekspor dan impor yang diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi justru diprediksi akan berkurang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang mempunyai prospek yang baik di mata dunia dalam pertumbuhan ekonomi bersanding dengan India, mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan. Dalam beberapa tahun terakhir angka pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya menyentuh 5%. Di sisi lain, Indonesia mempunyai banyak potensi yang bisa digali seperti agrikultur, demografi, infrastruktur dan teknologi untuk memperbesar keunggulan kompetitif Indonesia di dunia.
Isu-isu yang sedang hangat di perekonomian Indonesia ini diangkat dalam event tahunan terbesar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (Himiespa), Forum Studi & Diskusi Ekonomi 2019 (FSDE). Acara yang berlangsung pada hari Sabtu (16/11) ini bertempat di Hotel Eastparc Yogyakarta. Acara FSDE yang dibawakan oleh Fadhil Nadhif sebagai Master of Ceremony (MC) dibuka dengan sambutan dari Rimawan Pradiptyo, S.E.,M.Sc.,Ph.D. selaku perwakilan dari Dekanat Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Pada sambutannya, beliau tak lupa untuk memberikan apresiasi untuk mengenang salah satu tokoh pencetus FSDE yang membuat acara ini dapat sukses diselenggarakan selama 15 tahun terakhir, yaitu Alm. A. Tony Prasetiantono, M.Sc.,Ph.D. Setelah sambutan diberikan, acara sesi pertama pun dimulai.
Sesi pertama acara ini merupakan seminar oleh empat pembicara bertajuk Breaking Through The Middle Income Trap: Seeking New Path To Growth dipandu oleh Gumilang Aryo Sahadewo (Dosen FEB UGM) sebagai moderator. Pembicara pertama adalah John Nelmes (Senior Resident Representative IMF Indonesia) yang membahas bagaimana cara mempertahankan kekuatan dan inklusifitas pertumbuhan di lingkup global pada ketidakpastian yang berkepanjangan. Pembicara kedua merupakan seorang Ketua BI Institute, Solikin M. Juhro yang membahas paradigma pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Lalu seminar dilanjutkan dengan pembicara ketiga yaitu, Vivi Alatas (Former Lead Economist World Bank Indonesia) yang memberikan tips pembelajaran berkelanjutan dalam menghadapi tantangan Middle Income Trap. Ia menjelaskan bahwa meluruskan niat, berani melangkah, mengasah khusyuk, dan tekun telaten teliti dengan mengasah kemampuan secara konsisten adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah The Middle Income Trap. Seminar ditutup oleh pembicara terakhir pada sesi ini, Hendri Saparini, Ph.D, yang menyatakan bahwa Indonesia beruntung karena akan mengalami bonus demografi bertepatan dengan kemajuan teknologi digital yang sangat pesat. Hal tersebut dapat menjadi keunggulan kompetitif Indonesia di masa mendatang untuk bersaing di kancah internasional. Usai sesi pertama, acara dilanjutkan dengan istirahat makan siang.

Sesi kedua FSDE seminar merupakan talkshow bertemakan “Paving the Way for Technology-Driven Growth Through Greater FDI”. Subtema ini dikemas dalam sesi yang berbentuk talkshow dengan mendatangkan empat narasumber yang mempunyai latar belakang berbeda dan merupakan ahli di bidangnya. Keempat narasumber tersebut adalah Sri Adiningsih (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019), Hariyadi Sukamdani (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia), Bonaficius Prasetyo (Advisor to PINA center), dan Eri Budiono (Global Banking Director Bank Maybank Indonesia). Sesi ini dipimpin oleh Sekar Utami Setiastuti salah satu dosen FEB UGM.
Sesi talkshow dibuka dengan penjelasan singkat dari tiap pembicara terkait pandangannya terhadap perekonomian Indonesia saat ini. Sebuah pernyataan menarik terlontar dari perkataan Hariyadi Sukamdani yang menyebutkan bahwa Indonesia saat ini justru lebih rentan terjerumus dalam low income trap karena angka kemiskinan yang menyentuh angka 97 juta dan semakin meningkat setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan mencapai 37% dari keseluruhan jumlah rakyat Indonesia. Hariyadi menyebutkan bahwa angka ini didapat dari jumlah penerima bantuan BPJS pada tahun 2019. Beliau juga menyebutkan bahwa solusi yang dapat membantu Indonesia saat ini adalah adanya perubahan pola pikir dalam bentuk kecepatan reaksi Indonesia dalam merespon perubahan orientasi ekonomi dunia, inovasi secara terus menerus, dan kolaborasi setiap pelaku ekonomi Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Hariyadi menyebutkan bahwa Indonesia gagal menganalisis dan mengambil keuntungan dari pergerakan perekonomian dunia.
Foreign Direct Investment (FDI) juga menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam sesi ini. FDI diharapkan dapat mendongkrak perekonomian Indonesia sehingga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat domestik yang akan berimbas pada kenaikan angka pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sri Adiningsih menyebutkan bahwa sejak 2014 Indonesia telah menjadi sepuluh negara terbaik tujuan asing untuk menanamkan investasi. Bahkan pada 2016 Indonesia berada di peringkat keenam dalam daftar tersebut. Pernyataan tersebut didukung oleh Bonaficius yang beranggapan bahwa peningkatan infrastruktur mempunyai peranan penting dalam menstimulasi investasi asing. Infrastruktur yang memadai dapat merangsang investor untuk menanam modal dalam jumlah besar sekaligus membina hubungan baik antar negara. Selain itu, fungsi bank pada era sekarang mengalami perluasan di mana setiap bank di Indonesia seharusnya mempromosikan Indonesia di mancanegara jelas Eri Budiono. Dengan begitu investor asing semakin tertarik untuk menanam modal.
Yama Wijaya selaku ketua pelaksana FSDE 2019 tahun ini menyebutkan bahwa tema yang diangkat tahun ini sangat menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia. Pembicara yang diundang merupakan ahli di bidang masing-masing dengan komposisi yang terdiri atas praktisi, akademisi, dan tokoh pemerintahan. “Acara ini adalah acara terbesar Himiespa sehingga kami mempunyai jumlah total panitia sebanyak 160 orang dan kami menyiapkannya dari jauh-jauh hari yaitu dari Maret”, terang Yama. Bagas (20), salah satu peserta FSDE Seminar 2019 yang juga mengikuti FSDE tahun sebelumnya menyatakan kesan pesannya, “FSDE selalu memiliki tema yang sangat menarik terkait isu-isu terkini, namun dibandingkan dengan tahun lalu, seminar tahun ini terasa kurang karena banyak kesalahan teknis seperti sound yang error dan beberapa kesalahan minor”, ujar Bagas. Adapun Dita (20) yang membagikan pengalamannya mengenai acara ini, “Temanya sangat insightful, pembicaranya merupakan orang-orang yang ahli pada bidangnya”, kata Dita. Acara yang berdurasi selama lima setengah jam ini berlangsung dengan teratur.
Al Viima, Sirajuddin Ahyar/ EQ
Discussion about this post