Pada Sabtu (6/6), telah sukses dihelat webinar (web seminar) Meet the CEO perdana 2020 yang bertajuk Beat the Crisis: Strategy to Build Strong Business After COVID-19 oleh StudentxCEOs Chapter Yogyakarta. Acara ini diawali dengan penyambutan oleh Shania Angelina selaku CEO yang memaparkan keprihatinannya terhadap kondisi selama pandemi yang menyebabkan banyak bidang bisnis terganggu dan merugi. Meski begitu, Shania yakin setiap orang memiliki potensi yang sama untuk membangun bisnis yang stabil. Webinar ini diharapkan mampu menyalurkan value StudentxCeos sendiri, yaitu learn, share, and impact sehingga peserta webinar memiliki arahan yang jelas untuk membangun bisnis impiannya.
Yacinta Shafira Pradana (Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Industri) sebagai moderator memandu rangkaian acara pertama, yaitu penyampaian materi oleh Arief Faqihudin (Digital Innovative Consultant dan CEO MedUp) selaku narasumber utama. Arief Faqihudin yang kerap disapa Faqih mengawali sesi ini dengan terlebih dahulu menjelaskan permasalahan umum yang ditemui semasa pandemi, yaitu ketidakmerataan literasi data yang dimiliki masyarakat Indonesia ditambah kesalahan interpretasi data yang berujung pada mispersepsi. Menanggapi permasalahan tersebut, Faqih meluncurkan solusi melalui COVID-19 Scanner. Fokus utama platform ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat melalui inovasi penampilan data yang akurat, mudah dipahami, dan terkini. Keberhasilan aplikasi ini terbukti ketika seminggu sejak peluncuran perdana, tercatat sebanyak 1 juta pengguna telah mengakses aplikasi ini dan terus bertambah. Ditambah lagi, beberapa institusi pemerintah daerah ikut menggunakan aplikasi ini untuk memantau perubahan laju COVID-19 di daerahnya masing-masing. Melalui aksinya, Faqih menegaskan bahwa untuk dapat berhasil di industri tertentu diperlukan perhatian terhadap kepentingan konsumen
Pandemi yang sudah berlangsung sekitar enam bulan telah melahirkan empat perubahan besar (four mega shift) pada perilaku konsumen, yaitu: tren gaya hidup baru tinggal di rumah; bottom of pyramid (bergesernya kepentingan aktualisasi diri menjadi kebutuhan dasar; go virtual (konsumen cenderung menghindari kontak fisik manusia), empathic society (timbul solidaritas yang luar biasa di masyarakat terbukti dari aliran donasi yang terus-menerus). Selain itu, terdapat peningkatan pada setidaknya 6 bidang selama pandemi, yaitu: digital streaming, aktivitas online shop, personal hygiene, Facebook, dan Instagram. Melalui data yang dipaparkan maka dapat terlihat gambaran potensi terjadinya digitalisasi yang lebih masif dari sebelumnya. Digital Transformation 4.0 tidak pandang bulu dalam melakukan disrupsi pada tatanan yang sudah ada pada bidang apapun. Kondisi ini membawa kita untuk senantiasa melakukan upgrade diri sendiri untuk menyesuaikan kebutuhan mendatang.
Menurut Faqih, strategi dalam proses menciptakan suatu bisnis yang stabil bukan melulu tentang materi, tetapi juga pada kebutuhan manusia dan dampak seperti apa yang bisa dihasilkan. Memiliki unique value proposition dan keunggulan kompetitif dalam membangun bisnis merupakan nilai tambah dan selangkah lebih maju untuk dapat mengatasi pesaing yang sudah ada. Perlu dilakukan riset berulang untuk menentukan nilai pembeda yang harus dibangun untuk memenangi persaingan di industri, serta untuk menentukan penetrasi pasar yang sesuai.
Selain itu, diperlukan juga untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang relevan setelah pandemi usai yang memiliki kemampuan berkaitan dengan informasi dan teknologi, kecerdasan sosial, dan keahlian statistika. Saat ini, sudah banyak lembaga yang menawarkan kelas keahlian profesi yang kerap dicari dalam dunia digital, misalnya Data Science.
Meskipun begitu, penggunaan digital secara besar-besaran menuai kontra karena didasari oleh kekhawatiran akan banyak pekerjaan yang hilang. “Perampingan organisasi atau perusahaan merupakan hal yang tidak terhindarkan. Meski begitu, digitalisasi ini memiliki sisi positif, yaitu mengembalikan manusia untuk bekerja sesuai kodratnya, menciptakan sesuatu menggunakan sisi psikologisnya, dan bukan untuk melakukan pekerjaan yang berulang,” tutur Faqih.
Permasalahan lain yang muncul adalah padatnya penduduk di Indonesia yang menobatkan negara ini sebagai negara padat karya. Oleh karena itu, muncul keraguan bahwa Indonesia belum siap melakukan digitalisasi. Terlepas dari kenyataan tersebut, Indonesia dikatakan sebagai negara dengan potensi besar dalam pemaksimalan digitalisasi. Hal ini didukung fakta bahwa Indonesia memiliki 6 unicorn (perusahaan startup yang memiliki valuasi nilai US$1 miliar) dan menjajaki peringkat 10 negara dengan penghasil unicorn terbanyak di dunia (CNBC Indonesia). Arief Faqihudin meyakini hakikat Digital Transformation 4.0 itu sendiri adalah untuk memudahkan persoalan dan bertujuan baik walaupun dalam prosesnya akan selalu ada yang dikorbankan.
(Rossa Ratri/EQ)
Discussion about this post