Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Equilibrium (BPPM Equilibrium) baru saja selesai menyelenggarakan acara tahunannya yaitu Equilibrium Annual Activity (Equality). Acara ini dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 17-18 September 2016 dan terdiri dari tiga rangkaian acara, yaitu Lomba Esai Foto, Seminar, serta Pendidikan dan pelatihan (Diklat). Tema besar yang diangkat pada Equality tahun ini ialah “Journalism for Socio-Economic”. Project Manager Equality, Titto Naufal, mengungkapkan bahwa acara ini diadakan untuk menjalankan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan. “Dibutuhkan kawula muda yang memiiki kepedulian lebih untuk mengatasi permasalahan sosio-ekonomi, itulah inti Equality 2016,” katanya.
Hari pertama (17/09), seminar jurnalistik diisi oleh lima pembicara. Latar belakang pembicara yang diundang pun berbeda-beda, seperti socio-preneur, media massa, pendidikan dan pemerintahan. Acara ini dimoderatori oleh guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Prof. Mudrajad Kuncoro yang berfungsi memfasilitasi sudut pandang akademisi.
Pada sesi pertama, pemaparan materi disampaikan oleh Kepala Desk Ekonomi Harian Kompas, Andreas Maryoto, yang membahas tentang peranan pers sebagai media penghubung antara kaum marginal dengan pemerintah maupun filantropi. Ia menyampaikan bahwa pers memiliki peran dalam memilah informasi dan menguji kebenaran informasi tersebut. Dengan demikian, para pembaca maupun pemirsa mendapatkan informasi yang berkualitas dan objektif. Ketika pers melaksanakan perannya dengan baik maka fungsi ‘medium’ ini bisa memberikan impact kepada kaum marginal.
Setelah melihat isu sosial ekonomi dari kacamata pers, pada sesi berikutnya peserta diajak untuk mendalami masalah ini dari sudut pandang praktisi. Sesi ini diisi oleh Founder sekaligus Chief Executive Office (CEO) kerjabilitas.com, Rubby Emir. “Menuju Indonesia Inklusif” adalah topik yang ia bahas. Rubby memaparkan fakta-fakta tentang penyandang disabilitas. Ia menyampaikan bahwa terdapat sekitar 20.000 angkatan kerja yang memiliki masalah disabilitas dan hanya 25% dari mereka yang bekerja secara layak. Rendahnya jumlah ini disebabkan oleh stigma yang berujung pada diskriminasi. Selain dari permintaan, Rubby juga melihat permasalahan dari sisi penawaran. “Masih banyak orang yang keliru dalam memahami penyandang disabilitas sehingga tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh penyedia lapangan kerja terhadap mereka masih sering terjadi,” kata Rubby.
Pada sesi ketiga, pemaparan disampaikan oleh Evaulia Nindya Kirana (Project Manager Pasar Tenun Rakyat). Wanita yang masih mengenyam pendidikan di FEB UGM tersebut juga memiliki pengalaman berinteraksi langsung dengan kaum marginal. Menurutnya, mahasiswa bisa memberikan kontribusi nyata terhadap kehidupan masyarakat pedesaan dengan cara membuat suatu proyek untuk desa atau bergabung dengan yayasan-yayasan yang memiliki program pembangunan desa. “Mahasiswa juga memiliki peran dalam menyadarkan masyarakat desa akan potensi yang dimilikinya. Ketika kesadaraan mereka lahir maka rasa bangga terhadap desa akan muncul. Dari situlah berbagai inisiatif akan datang untuk membenahi desa,” tambahnya.
Sesi keempat, founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB), Andri Rizki Putra, berkesempatan untuk membagi pengalaman serta pencapaian yang ia lakukan bersama dengan yayasan yang ia dirikan. Andri menjelaskan bahwa banyak sekali potensi bangsa yang hilang diawali dari masalah putus sekolah. Oleh karena itu, ia mendirikan sebuah yayasan yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk belajar. “Di YPAB, kami mendidik anak bangsa yang membutuhkan pendidikan. Bukan hanya ilmu yang kami berikan melainkan juga bekal-bekal lain yang berguna bagi masa depan mereka,” pungkasnya. Acara ditutup dengan pemaparan materi oleh Direktur Jendral Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Republik Indonesia, Andi Z.A. Dulung yang membahas mengenai marginalitas dari sudut pandang pemerintah.
Hari kedua (18/09), diadakan workshop fotografi yang bertema “Marginality in Lens and Word” dengan menghadirkan tiga pembicara. Pembicara pertama adalah Dwi Oblo, seorang freelance photogapher di National Geographic Indonesia. Dalam paparannya, Dwi berbagi kiat-kiat untuk fotografer agar mampu menangkap objek foto dengan baik. Pertama mengidentifikasi objek dengan 5W+1H (what, when, who, where, why, and how). Kemudian menentukan alasan memilih objek dengan menjawab pertanyaan “Why should I care?”. Terakhir, fotografer harus mengenali objek sebelum memfoto.
Arum Tresnaningtyas datang sebagai pembicara kedua yang berbagi pengalamanya sebagai pengajar di kelas fotografi bernama Kami Punya Cerita. Ia memberi kiat-kiat menarik agar cerita yang tertangkap di balik sebuah foto dapat tersampaikan dengan baik. Salah satu caranya adalah membuat foto tersebut menjadi photo story, seperti yang ia ajarkan di kelasnya. Arum menunjukkan sebuah photo story karya salah satu muridnya yang berstatus ibu rumah tangga. Walaupun tidak memiliki latar belakang seorang fotografer, cerita di balik fotonya dapat tersampaikan dengan baik. Photo story itu bercerita tentang perkembangan anak Ibu tersebut, dengan latar suara Si Anak yang sedang bernyanyi riang. “Foto yang baik tidak melulu mengenai teknik fotografi, tetapi bagaimana kita menyampaikan cerita di balik sebuah foto. Seperti Ibu tadi, ia membuat photo story itu sebagai hadiah agar ia dapat bercerita kepada Si Anak ketika anaknya sudah besar nanti,” ucap Arum.
Setelah peserta diajak berdiskusi mengenai photo story, masuklah ke sesi ketiga tentang Jurnalisme Naratif oleh Budi Dharmawan. Sesi kali ini sedikit berbeda dengan sesi-sesi sebelumnya karena lebih banyak berdiskusi tentang cara menulis berita yang baik dalam bentuk naratif. Budi memberikan saran untuk menggelitik pembaca agar tertarik dengan tulisan yang ia buat. “Jangan cuma bicara tentang data, tapi tunjukan dampak dari data itu. Berikan emosi pada data, buatlah pembaca tergugah,” ucap Budi, menyemangati peserta agar mulai menulis.
Acara dilanjutkan dengan presentasi dari tiga pemenang lomba fotografi. Komentar dan kritik yang membangun terlontar dari ketiga dewan juri yang terdiri dari pembicara pada hari tersebut. Lalu ditutup dengan diskusi aktif antara peserta dan pembicara seputar fotografi dan jurnalisme naratif. “Menarik, banyak wawasan baru tentang fotografi, dan juga mencari pengalaman ikut lomba fotografi,” komentar Nanda, pelajar asal Purwokerto yang dinobatkan menjadi juara favorit dalam lomba fotografi Equality.
(Anindya Kupita, Made Lanang Ray/EQ)
Discussion about this post