“Yang fana adalah waktu. Kita abadi. Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga, sampai suatu hari kita lupa untuk apa.” – Sapardi Djoko Damono
Menulis puisi berarti menulis keabadian. Dengan menulis puisi, Sapardi berhasil membius waktu agar berhenti sejenak, menyimak segala rasa dan suasana ke dalam larik karyanya. Ia melukiskan kedalaman emosi yang dirasakan melalui perpaduan estetika kata-kata. Namun, seperti karya Sapardi dan pujangga lain, setiap puisi pada dasarnya memiliki ciri khas dalam pemaknaannya. Ciri khas yang kuat ini membedakan puisi dengan karya sastra lain.
Sejatinya, puisi adalah bahasa. Ia berfungsi sebagai sarana manusia mengekspresikan diri dan mengungkapkan pemikiran maupun perasaaannya kepada manusia lain. Namun, puisi bukan bahasa biasa. Ia bahasa yang diatur sedemikian rupa sehingga mampu mengungkapkan makna yang lebih dari apa yang dapat ditampung oleh kata dalam penggunaan kesehariannya. Ketika membaca puisi, kita tidak hanya memahami yang tertulis, tetapi melampauinya. Mencari makna dan rasa yang ada di seberangnya.
Puisi tidak bercerita tentang apa yang terjadi. Karena hal itu tugas sejarah untuk mencatat dan menjelaskan data, fakta, dan peristiwa. Puisi mengungkapkan mimpi-mimpi. Impian yang tak terungkapkan oleh kata biasa, tetapi dapat dipahami dan dimengerti. Puisi menjadi penghubung antara dunia manusia dengan dunia yang di atas dan di bawahnya. Sebagaimana sebuah syair yang baik akan dapat menyingkapkan kebenaran dengan validitas yang hanya sedikit di bawah wahyu.
Namun, puisi juga bercerita tentang kenyataan: tentang dunia dan manusia. Kenyataan yang seringkali berwujud impian-impian. Manusia memiliki kemampuan tidak hanya memahami apa yang ada dan apa yang terjadi, melainkan juga apa yang ada di balik itu. Di dunia, manusia hidup dalam kenyataan. Dalam kenyataan yang ada itu termuat harapan, ketakutan dan kenangan. Dalam puisi, manusia bisa bercermin tentang isi jiwanya. Puisi mengantarkan kesadaran manusia ke tingkat yang lebih tinggi dalam memahami apa yang terlihat oleh mata, yang terdengar oleh telinga, dan segala yang dapat diraba.
Puisi membuka tirai yang memisahkan alam mimpi dan alam nyata. Menawarkan cakrawala luas dalam pikiran-pikiran stokastik akan imaji dan segala isinya. Membentang hamparan luas mengenai probabilitas-probabilitas semesta.
Ketika berbicara tentang kesedihan, puisi adalah malaikat maut yang membuka pintu neraka, menghadirkan hawa hitam pekat yang menyesakkan dada, memeras air mata dan mengalirkan darah dari seluruh pori-pori yang ada di sekujur tubuh. Namun, ketika berbicara tentang kesenangan dan keindahan, puisi dapat mengubah dirinya menjadi malaikat penjaga firdaus. Menyuguhkan bunga warna-warni yang harum semerbak. Membawakan matahari yang cerah menerangi dan menghangatkan.
Puisi adalah rasa bahasa tinggi. Menempa jiwa-jiwa kontemplatif yang selalu ingin menjangkau hal-hal di balik keindahan-keindahan dan kengerian-kengerian yang harus disaksikan. Mengumbar dan menciptakan parabel dan aforisme untuk menciptakan intisari makna dari persoalan yang sangat kompleks.
Puisi menghadirkan keindahan. Bagi pecinta, semua kata berubah menjadi puisi kiasan bunga-bunga, yang indah, warna-warni dan harum semerbak wangi. Bagi pecinta, semua puisi adalah suara musik, yang mengalun lembut, mengalir bersama darah, mengangkat kesadaran membumbung bersama awan. Dan bagi pecinta, semua puisi adalah sebuah tulisan yang berkisah tentang waktu yang lalu, menuju sebuah keabadian.
Dalam pemaknaannya, puisi adalah lorong abadi yang menghubungkan dua dunia manusia: kenyataan dan impian.
(Fernandi Army/EQ)
gambar: twitter.com/sapardidjoko_id