Oleh: Ega Kurnia Yazid
Ketika berdiskusi mengenai masa depan Indonesia, bayangan pertama yang terlintas bagi saya ialah pemuda negeri ini. Mengapa tidak, kitalah yang kemudian hari akan menjadi motor penggerak bangsa ini. Belum lagi, banyak pihak yang mempercayakan peran kita di usia produktif merupakan turning point bagi Indonesia untuk menjadi negara yang lebih maju lagi. Lagi-lagi hal ini dikaitkan dengan bonus demografi yang kita pulalah tokoh utama dibalik proyek besar bangsa tersebut.
Namun, sekadar memahami tujuan tida lah cukup untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut. Sebagai pemuda, kita juga perlu paham mengenai kondisi dan situasi kita dan rekan-rekan kita secara umum. Hal ini diperlukan agar kita dapat memahami starting point kita sebelum menghadapi perjalanan meraih mimpi besar Indonesia. Saya sendiri merangkum starting point tersebut dari segi mikro. Artinya, masalah-masalah ini pada dasarnya dapat diselesaikan secara individual dan atas kesadaran masing-masing.
Pertama, masalah semangat berprestasi—spirit to achieve—pemuda Indonesia cenderung tergolong rendah apabila dibandingkan oleh negara-negara pesaing kita. Hal tersebut terbukti dari salah satu publikasi The Economist (Grafik 1.) yang menyatakan bahwa negara Indonesia memiliki pemuda dengan semangat prestasi paling rendah di antara negara-negara pembandingnya. Padahal, berdasarkan analisis McKinsey, Indonesia memiliki potensi sebagai negara yang tergolong dalam tujuh besar perekonomian di dunia. Hal ini tentu saja tidak terjadi begitu saja seperti halnya asumsi ceteris paribus, tetapi tentu harus dikejar dengan penuh ambisi dan semangat penuh. Oleh sebab itu, semangat dalam berprestasi dan berkarya perlu terus ditingkatkan oleh pemuda-pemudi bangsa. Seiring itu, kita juga harus menggeser anomali-anomali yang ada agar kembali menjadi arti yang positif. Sebagai contoh, orang-orang yang ambisius seharusnya didukung dan dilihat dengan cara yang positif bukan malah dikonotasikan menjadi suatu yang buruk. Hal tersebut pun berlaku terhadap anomali-anomali lainnya.
Kedua, masalah competitiveness. Masih berkaca pada data yang sama, Grafik 1, juga dapat diartikan bahwa semangat berkompetisi dari pemuda Indonesia tergolong rendah. Seiring itu, minimnya competitiveness di Indonesia juga cukup menjelaskan mengapa pemuda Indonesia cenderung pasif di tengah persaingan global. Tentunya hal ini tidak boleh kita amini begitu saja. Kita perlu mendobrak hancur mental-block tersebut secara kompak dan kolektif. Persaingan itu perlu kita hadapi bukan dalam bentuk individu, melainkan secara kolaboratif sebagai satu gugusan pemuda dalam menyiapkan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Ketiga, masalah penting lainnya adalah semangat multidisipliner. Hal ini masih tercermin dari jarangnya kajian-kajian multidisipliner di institusi pendidikan Indonesia. Padahal, seperti yang kita tahu, kajian multidisipliner merupakan salah satu inti penting dalam mengembangkan inovasi-inovasi baru. Selain itu, perdebatan-perdebatan dalam suatu kajian multidisipliner juga penting. Mengingat kembali pemikiran Frederich Hegel, tesis dan anti-tesis dapat menghasilkan sintesis yang baru. Saya pikir hal tersebut akan menjadi lebih optimal apabila institusi-institusi pendidikan terkait dapat mendukung dan mengupayakan proses diskusi multidisipliner tersebut.
Mendukung starting-point tersebut perlu ditanggapi dengan serius. Hal itu bisa diwujudkan dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan redefinisi niat dan tujuan kita dalam berkontribusi bagi nusa bangsa. Secara individu, atau mungkin sebagai pemuda, penting untuk belajar secara hakiki. Artinya, belajar tidaklah hanya untuk mengejar nilai, tetapi untuk tujuan yang lebih mulia, yakni diaplikasikan secara bijak dan bermanfaat bagi maslahat umat manusia—khususnya bagi bangsa ini. Seiring itu, rekonstruksi mimpi juga penting. Seperti halnya nasihat Plato—Know Yourself—,kita perlu berpikir jauh dalam menetapkan tujuan kita secara menyeluruh dan kokoh. Ya, meskipun masa depan penuh dengan ketidakjelasan, menetapkan mimpi tidaklah salah selama kita mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, ketika mimpi tersebut di kemudian hari tidak sesuai, kita sudah memiliki modal untuk beralih.
Selanjutnya, rasa empati dan compassion merupakan suatu hal yang perlu dikembangkan. Hal tersebut tentunya agar sebagai pemuda kita tidak acuh terhadap lingkungan sekitar. Sebab, pada dasarnya pemuda memiliki salah satu tugas, yakni agent of change dan social control yang berkewajiban untuk langsung turun tangan dalam mengentaskan masalah-masalah di lingkungan sekitarnya.
Terakhir, menjadi mentor sekaligus mentee. Seperti halnya kata Tai Lopez pada suatu TED Talk, mentorship itu penting dalam menjadi mata rantai guna memutus proses ‘jatuh-bangun’ sehingga perkembangan suatu bangsa dapat terwujud secara sustainable. Seiring itu, menjadi mentor dapat memberikan kesempatan bagi kita untuk berbagi manfaat bagi rekan-rekan yang kurang berpengalaman dibanding kita. Di sisi lain, ketika menjadi mentee kita berkesempatan mendapatkan tacit knowledge, yakni pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman seorang mentor yang lebih dahulu mengalaminya. Oleh karena itu, kita lebih well-informed dalam menghindari ‘lubang’ yang sama baik dalam berkarya, mencapai prestasi, maupun menjalani kehidupan.
Kesimpulannya, saat ini pemuda Indonesia sedang memangku tugas penting dalam memajukan bangsa karena Indonesia memiliki kesempatan besar dalam mengoptimalkan potensinya pada periode bonus demografi. Namun. hal tersebut harus direspon dengan melihat starting-point yang nyatanya terhambat berbagai hal meliputi: (1) semangat berprestasi, (2) competitiveness, dan (3) diskusi multidisipliner. Oleh sebab itu, pemuda Indonesia harus sadar dengan meningkatkan semangat belajar serta meredefinisi dan merekonstruksi mimpinya. Seiring itu, semangat tersebut perlu dibalut dengan rasa empati dan compassion yang tulus agar dapat secara paham membantu mengentaskan masalah di lingkungan sekitar. Selanjutnya, proses mentorship juga perlu diadakan sehingga dapat memotong proses ‘jatuh-bangun’ dan mewujudkan insan muda yang lebih sustainable. Tentu saja langkah-langkah tersebut perlu diwujudkan dengan kolektif dan serius, karena masa depanmu adalah masa depan Indonesia kita.
Referensi:
McKinsey Global Institue. (2012). Perekonomian Nusantara: Menggali Potensi Terpendam Indonesia. McKinsey Company.
Indonesia Economic Forum. (2017). Do Indonesian Youth Lack Inspiration? [Online]. http://indonesiaeconomicforum.com/article/read/do-indonesian-youth-lack-inspiration
Sumber grafik: economist.com
Sumber ilustrasi: kompasiana.com
Discussion about this post