Sudah bukan wacana belaka bahwa mahasiswa adalah bibit-bibit harapan dan golongan intelektual bangsa yang diharapkan dapat membuat negara bisa “tersenyum” akan karya yang kita buat. Kata “mahasiswa” juga dibuat bukan tanpa makna, kata tersebut adalah representasi pembelajar yang haus akan ilmu. Makna dari haus akan ilmu tidak hanya diartikan dalam konteks mempelajari mata kuliah formal di dalam kampus yang diparameterkan dengan standar nilai. Sebagai intelektual muda, mahasiswa dituntut pula untuk mencari jenis-jenis pengetahuan lain yang dapat mendukung untuk menjadi manusia kritis dan tanggap terhadap kejadian-kejadian di sekelilingnya. Mahasiswa dengan kemampuan intelektualitas dapat berdiri sebagai kontrol sosial, di sini seorang mahasiswa berarti dipercaya dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan pengetahuannya. Lebih ekstrem lagi mahasiswa dapat mengawal perubahan di lingkungan melalui intuisinya.
Seharusnya yang dilakukan mahasiswa masa kini adalah mengikuti semangat dan romantika mahasiswa reformasi 1998 yang menggambarkan bahwa mahasiswa saat itu rela berkorban dengan hanya tidur beralaskan lembaran kertas koran di emperan jalan. Pemandangan serupa juga terlihat di semua lobi kompleks Gedung DPR/MPR pada saat itu. Mereka tidur begitu saja. Membiarkan badan mereka ‘berakrab-akraban’ dengan lantai gedung. Mereka tidur berdempet-dempetan sebagai upaya melawan rasa dingin. Ya, sebegitu peduli mahasiswa saat itu dengan negaranya karena mereka mempunyai keinginan untuk merubah negara agar lebih demokratis dan menganggap rezim yang sudah ada harus digantikan dengan kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Semangat peduli “membangun bangsa” di era romantika ’98 itulah yang seharusnya kita hayati di zaman milenium ini yang sarat akan tuntutan di dunia profesional.
Mungkin saja cara atau implementasi yang mahasiswa era milenium lakukan sudah selayaknya berbeda dengan cara-cara yang penulis sebutkan di atas. Mahasiswa era milenium sudah selayaknya memiliki visi yang melihat jauh ke depan akan ketatnya persaingan di dunia kerja. Sekarang pertanyaan “Apa yang bisa kamu perbuat untuk kemajuan kariermu?” adalah pertanyaan yang wajib dikumandangkan benak semua mahasiswa di Indonesia. Jika mahasiswa masih bersenang-senang dengan “zona nyaman”, maka akan terjadi efek domino luar biasa bagi kemajuan karier mereka. Pasar tenaga kerja sudah dilahap habis oleh pesaing Indonesia pada era MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) saat ini. Generasi baru yang akan lahir selanjutnya hanya sebagai konsumen dari karya-karya anak bangsa luar yang dengan bangganya mereka dapat “meninabobokan” kita. Sebenarnya paradigma “zona nyaman” setiap individu itu berbeda, tetapi berbanding lurus dengan kesadaran setiap individu akan revolusi mental. Contoh sederhananya adalah banyak mahasiswa turun ke jalan meneriakkan pro kemajuan, pembangunan dan semacamnya, akan tetapi kesadaran dari dalam diri untuk merovolusi mentalnya masih kurang.
Kabar baiknya adalah teriakan itu sudah didengar pemerintah. Menurut data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), jumlah peneliti adalah 550 per satu juta orang penduduk. Karya-karya mereka sudah tersebar secara internasional. Pada 2014 saja, jumlah terbitan Indonesia sudah mencapai lebih dari 5.500 judul menurut Scopus Index dan 45% di antaranya ditulis melalui kolaborasi dengan peneliti asing. Di samping itu, sekarang Kemenristekdikti telah memiliki Rencana Induk Riset Nasional yang akan memandu peneliti dan dosen dalam melakukan beragam riset dan pengembangan, serta menghasilkan inovasi yang bermutu dan layak industri. Fokus dari Kemenristekdikti dalam 11 bidang riset prioritas, antara lain pertanian dan pangan, energi baru dan energi terbarukan, obat dan kesehatan, informasi dan komunikasi, transportasi, pertahanan dan keamanan, advanced material (nanoteknologi), maritim, kebencanaan, kebijakan, serta sosial humaniora. Lewat pencapaian tersebut, kita dapat tarik beberapa hal bahwa pemerintah sudah baik untuk mendengarkan suara-suara pro kemajuan. Khususnya terkait perkembangan pendidikan tinggi, dosen, dan mahasiswanya sekaligus.
Bergabungnya riset dan teknologi dengan pendidikan tinggi dalam satu kementerian memiliki tujuan agar setiap hasil riset dan jurnal ilmiah para mahasiswa, dosen maupun peneliti tidak hanya berhenti dalam tataran kata. Akan tetapi juga dapat aplikatif menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dengan mendekatkan industri dan hasil penelitian sehingga dapat berdampak menghasilkan produk inovatif serta berkualitas. Di sinilah peran Kemenristekdikti dibutuhkan yaitu sebagai fasilitator sekaligus koordinator dan peran mahasiswa sebagai agent of change dibutuhkan. Fasilitas sudah tercukupi, hanya perlu niat saja dalam hati bahwa sukses dalam karier adalah hal yang diperjuangkan pemuda khususnya mahasiswa.
(Satrio Adi Wibowo/EQ)
Referensi : http://ristekdikti.go.id/refleksi-1-tahun-kemristekdikti-tahun-2016-harus-lebih-baik/