Merokok di area kampus sudah menjadi “dosa” yang dianggap wajar. Duduk perkara mengenai larangan merokok pun juga tidak bisa dipandang dari satu sisi bahwa larangan ini mutlak benar. Di balik peraturan tentang kawasan tanpa rokok, terdapat pula para perokok yang terasa seperti terdiskriminasi. Fenomena ini menjadi demikian ketika tidak ada area khusus merokok yang disediakan bagi perokok di area kampus padahal di dalam aturan yang berlaku diperbolehkan.
Melihat dari Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2011, memang benar bahwa tempat proses belajar mengajar merupakan salah satu tempat yang wajib untuk menegakkan kawasan bebas rokok. Namun, peraturan ini sebenarnya masih menimbulkan garis kelabu. Tempat proses belajar mengajar sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan umum pasal 1 ayat 6 didefinisikan sebagai sebuah gedung. Pelarangan ini tentu meninggalkan tanya: apakah diperbolehkan merokok di area terbuka kampus yang bukan gedung?
Naluri manusia untuk memenuhi hasratnya tak pernah dapat terbendung; apalagi dengan hasrat merokok yang lebih-lebih mengandung zat adiktif. Hasrat ini oleh sebagian mahasiswa dituangkan dalam bentuk penciptaan area merokok yang mereka reka-reka sendiri. Tak ketinggalan, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pun demikian. Lahirlah lokalisasi yang mereka beri nama lorong rokok.
Fenomena Lorong Rokok
Lorong rokok telah menjadi tempat pelarian atas ketiadaan area khusus merokok terutama bagi mahasiswa. Lorong ini tak pernah sepi dari pengunjungnya dan sudah eksis sejak 2016. Mahasiswa yang berada di sini pun juga beragam, baik dari segi angkatan maupun fakultas tempat mereka kuliah. Mirisnya, ketika lorong ini digunakan oleh setidaknya mahasiswa tiga fakultas —FEB, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), dan Fakultas Hukum (FH)—hanya FEB saja yang tidak mempunyai area khusus untuk merokok di fakultasnya. Jo, mahasiswa FEB angkatan 2016, mengakui bahwa sudah sejak lama dirinya merokok di area lorong. “Dulu waktu aku pertama kali masuk (sebagai mahasiswa FEB UGM, red), aku merokok di area taman yang ada di selatan Pertamina Tower, tapi sejak 2017 sudah ada plang dilarang merokok,” keluh Jo.
Memang benar, pihak fakultas sampai saat ini tidak menyediakan area khusus untuk merokok. Padahal, Peraturan Rektor UGM Nomor 29/P/SK/HT/2008 tentang Kawasan Bebas Rokok dengan jelas menyatakan bahwa fakultas dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok. Himbauan ini diatur khusus dalam pasal 10 pada peraturan yang sama. Ketika dikonfirmasi, pihak fakultas merasa bahwa langkah ini ditempuh untuk melindungi citra fakultas itu sendiri. “Merokok di area kampus itu merugikan mahasiswa sendiri karena image jadi jelek, merugikan instansi, dan paling penting adalah mengganggu orang lain,” tegas Kusdhianto Setiawan, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia FEB UGM.
Pendapat yang berkebalikan justru dilontarkan oleh Jo. Jo merasa bahwa dengan adanya lorong rokok justru merusak persepsi orang-orang mengenai mahasiswa FEB UGM. Tidak adanya lokasi khusus yang disediakan untuk merokok ini menyebabkan tidak dapat diaturnya perilaku para perokok. Salah satu masalah besarnya adalah sampah puntung rokok yang bertebaran. “Tempat yang ada sekarang kumuh. Kebanyakan (dari para perokok, red) malah nyampah dan enggak tanggung jawab. Tidak ada kesadaran karena ini area bebas. Jadi enggak peduli,” ungkap Jo ketika ditanya pendapatnya.
Menanggapi fenomena ini, Kusdhianto berpendapat bahwa para mahasiswa mempertontonkan perilaku yang tidak baik. Ia menambahkan untungnya kawasan itu bukan milik FEB. Ketika ada tamu, ia bahkan mengelak bahwa itu bukan mahasiswa FEB meski sebenarnya tahu bahwa mereka adalah mahasiswanya. “Mereka itu mempertontonkan perilaku yang tidak baik. Seharusnya malu kalau merupakan mahasiswa yang berbudaya,” tambah dosen prodi manajemen ini. Ia berharap agar para mahasiswa ini bisa menahan hasrat merokok agar tidak merokok di area kampus.
Rencana Pembuatan Kawasan Khusus Merokok
Setelah dikonfirmasi ke pihak fakultas, memang sudah ada rencana untuk membuat ruangan khusus merokok tetapi tak kunjung direalisasikan. Alasannya dikarenakan sulit menemukan tempat yang ideal. “Tempat yang ideal ya tempatnya yang tidak nyaman. Kalau tempatnya nyaman berarti sama saja kami mendukung merokok di area kampus,” ujar Kusdhianto. Selain itu, tempat yang dicari adalah tempat yang tertutup sehingga asap rokok tidak kemana-mana dan tidak mengganggu hak orang lain yang ingin menghirup udara segar.
Pihak fakultas juga berusaha agar aktivitas merokok ini tidak terbuka dan terlihat oleh pihak luar. Kendalanya, keempat sisi fakultas merupakan tempat terbuka. Sayap barat merupakan muka depan sedangkan sayap selatan, selain sudah tidak tersedia ruangan, juga berhadapan langsung dengan jalan. Sayap utara dan timur merupakan wilayah dalam yang menjadi jalur lalu lintas antarfakultas. Opsi tempat yang pernah menjadi kandidat adalah ruangan kecil di sebelah kafetaria. Sayangnya, tempat itu berada di sayap barat yang berarti langsung menghadap jalan yang ramai lalu lalang.
Wacana ini dapat dikatakan sebagai angin segar bagi masyarakat kampus. Angin segar ini juga sebenarnya bukan hanya menjadi berkah bagi perokok saja, melainkan masyarakat kampus lain yang tidak merokok. Verina, mahasiswa angkatan 2018, mengatakan bahwa wacana adanya area khusus ini merupakan kabar baik. “Aku enggak merokok, tapi dengan adanya rencana ini malah menunjukkan bahwa fakultas memberikan hak kepada para perokok. Dari aku positif,” ujar Verina.
Akhir kata, pihak fakultas masih menganggap perokok sebagai momok. Tidak adanya kawasan khusus merokok merupakan bentuk lepas tangan fakultas terhadap perokok; baik mahasiswa, karyawan, maupun dosen. Dikarenakan seperti yang sudah-sudah, para perokok akan terus mencari tempat baru ketika nantinya lorong rokok dilarang. Mulai dari dulu yang awalnya berada di taman selatan Pertamina Tower lalu ke kawasan payung hijau dan akhirnya di lorong. Lorong rokok dapat dikatakan sebagai manifestasi dari pelarian atas diskriminasi dari ketiadaan lokalisasi. Dekanat dapat mengilhami principle of efficiency of control dalam manajemen pengendalian yang berbunyi “if the company goes overboard with setting up a control system, then, in the long run, it could be harmful to them”. Ketika perilaku ini dikontrol melalui adanya kawasan khusus merokok, fakultas akan terhindarkan dari konsekuensi lain yang tidak diinginkan.
(Andhika Mujiyono dan Aning Era Reformasi/EQ)
Discussion about this post