“Kalau Anda mengatakan orang yang jahat, nakal, dan dekat kriminal, maka pasti kehidupannya dekat dengan alkohol. Sedangkan orang yang baik dan sholeh itu pasti jauh dari alkohol,” kata Derajad S. Widhyarto, salah satu dosen Sosiologi Ekonomi di FEB UGM, hari itu. Membahas soal minuman beralkohol dan tren pesta pasti menjadi bahasan yang dihindari bagi orang ‘baik-baik’. Lucunya, seiring berkembangnya zaman, minuman beralkohol ini malah menjadi alat perekat sosial.
Mungkin bagi mereka yang peka terhadap lingkungan sekitarnya mulai berpikir kalau minuman beralkohol itu sangat dekat sekarang dengan kehidupan. Nyatanya, popularitas minuman beralkohol ini bukan baru-baru saja terjadi. “Budaya alkohol jangan dibayangkan hanya setahun dua tahun ini. Usia alkohol itu sama seperti usia peradaban manusia,” ujar Derajad. Dia mengaku, bahkan ketika dia masih menjadi mahasiswa pun minuman alkohol sudah merajalela. Namun, mengapa baru akhir-akhir ini tabir baru terungkap dan memarak?
Semua dikembalikan lagi bahwa manusia seharusnya bisa menyadari apa yang dilakukan beserta tujuannya. Pernyataan itu didukung oleh pendapat Aziz, seorang mahasiswa yang dekat dengan ‘budaya minum’. Tujuan meminum minuman beralkohol itu sendiri terbagi menjadi tiga: karena memang menggemari minuman beralkohol, bersosialisasi, dan untuk tujuan berpesta. “Yang paling sering terjadi adalah mahasiswa minum alkohol untuk bersosialisasi dan juga berpesta,” ujar Aziz.
Berbeda dengan Aziz, Derajad mengatakan salah satu motif meminum minuman beralkohol yang paling sering ditemui adalah untuk meningkatkan produktivitas. “Budaya minum adalah kultur yang kemudian dibalut dengan isu produktivitas. ‘kalo saya ga minum saya ga produktif, saya ga gaul’,” begitu Derajad berkata.
Tentunya, perbedaan keadaan mahasiswa dahulu dan sekarang juga harus diperhatikan. Uang saku mahasiswa dahulu tidak sebanyak sekarang sehingga sulit untuk dapat membeli minuman beralkohol. Selain itu, kemampuan mahasiswa dahulu tidak mencukupi untuk menyewa ruangan untuk melakukan ‘party’. Hasilnya, mahasiswa harus waspada agar tidak digerebek ketika mengonsumsi minuman memabukkan itu.
Seiring berjalannya waktu, produk minuman beralkohol diimpor lebih banyak ke Indonesia dengan harga yang cenderung tetap. Di sisi lain, masyarakat juga mengalami peningkatan taraf hidup sehingga harga minuman beralkohol yang tadinya dianggap mahal menjadi terasa lebih murah untuk dibeli. Sekarang pun, siapapun yang masuk ke diskotek atau pub dapat membeli minuman asalkan memiliki uang. “Dia minum-minum juga, tapi enggak di kampus. Dia pinjam tempat karaoke, dia di kafe, di hotel-hotel bintang lima. Dan siapa yang berani menggerebek hotel bintang lima?” Derajad berpendapat.
Mudahnya akses untuk mendapatkan minuman beralkohol juga mengalami peningkatan pesat. Contohnya, ketika ‘minum’ bertujuan untuk bersosialisasi, seseorang tidak lagi harus mengunjungi tempat remang-remang dengan musik untuk berjoget sebagai pelengkapnya. Mereka dapat mengonsumsi minuman beralkohol dengan mudah di kafe-kafe dengan jenis musik santai dan memang diperuntukan untuk chill sambil mengobrol dengan teman-teman, tanpa mabuk.
Hal ini juga memengaruhi jenis minuman yang dikonsumsi. Biasanya, untuk tujuan ini, seseorang akan mengonsumsi minuman dengan kandungan alkohol rendah, seperti bir atau koktail, minuman beralkohol dari campuran berbagai bahan. Sementara itu, seseorang akan mendatangi tempat dengan jenis musik electronic dance music (EDM) untuk berpesta. Jenis minuman beralkohol yang ada di pesta pun cenderung berbeda, yaitu minuman yang memiliki kadar alkohol tinggi sehingga lebih cepat memabukkan.
Di kalangan pelajar, transaksi penjualan minuman beralkohol mudah untuk dilakukan walaupun tidak ada promosi khusus. Hal tersebut diakui oleh salah satu mantan penjual minuman beralkohol yang masih duduk di bangku SMA. Biasanya, penyebaran memang dimulai dari teman-teman penjual sendiri yang akan meluas dari mulut ke mulut. “Semua konsumen datang dengan sendirinya,” ungkap mantan penjual belia tersebut sambil tertawa. Kesulitannya hanya pada penyimpanan stok minuman di rumah karena adanya orang tua. Bagi penjual lainnya, seorang mahasiswa sosial-humaniora (Soshum) di salah satu universitas swasta, penjualan minuman beralkohol bisa dilakukan secara terbuka. Pendorong terkuatnya karena jual-beli dilakukan di lingkungan mahasiswa yang memang lebih terbuka dibanding dengan anak-anak sekolah.
Fakta lainnya adalah minuman beralkohol impor dengan harga Rp800.000 bisa turun sampai Rp350.000. Hal ini dikarenakan mantan penjual tersebut bisa mendapatkan barang tolakan dari pihak cukai. Tawaran itu menjadi sangat menarik bagi siswa SMP atau SMA sebagai konsumen. Tidak hanya itu, diungkapkan juga oleh penjual yang sudah mahasiswa bahwa minuman dengan harga di atas Rp300.000 masih dianggap sangat wajar oleh pelanggannya yang kebanyakan mahasiswa Soshum.
Pilihan untuk mengonsumsi minuman beralkohol juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mahasiswa. “Pasti ada katalisatornya. Pasti ada yang memulai. Pasti ada inisiatornya untuk mulai minum alkohol yang akan terus diulang sampai akhirnya menjadi hal yang wajar,” tegas Aziz. Seseorang yang belum pernah mengonsumsi alkohol akan berpikir berulang kali untuk mencobanya dan membutuhkan lebih dari satu kali ‘minum’ untuk bisa mencerna dan memahami bahwa minuman beralkohol adalah sesuatu yang enak untuk dinikmati.
Keadaan mabuk memang menjadi incaran beberapa orang karena dapat memberikan sensasi tersendiri. Sama seperti merokok, mabuk bisa menjadi sarana melepaskan penat. Ketika mabuk, seseorang tidak lagi memiliki kontrol terhadap diri sendiri dan menjadi lebih sensitif sehingga cenderung lebih mudah emosi. Setiap orang memiliki takaran yang berbeda, bergantung pada tingkat ketahanan masing-masing. Terkadang, seseorang memang akan menyesal setelah sadar, tetapi konsekuensi ini seharusnya sudah disadari sejak awal ketika mulai ‘minum’.
Pilihan mengonsumsi minuman beralkohol kembali kepada setiap orang. Namun, jika ingin mencoba, hal yang yang terpenting adalah benar-benar paham akan dasarnya, alasan dorongan lingkungan tidak termasuk di dalamnya. Jika sebenarnya tidak ingin mencoba, teguhlah terhadap pendirian itu. Perlunya menjaga diri dan mengetahui ketahanan diri masing-masing terhadap minuman beralkohol pun sangat perlu diperhatikan.
(Angelica Andrea dan Shafira Jessenia/EQ)
Discussion about this post