Tring, bunyi ponsel seorang ibu pada siang pertama di bulan September. “Vaksin non halal bersifat wajib untuk anak-anak beredar di Sekolah”, bunyi pesan dari grup yang tertera di ponsel. Sang ibu menggenggam ponsel seraya memperhatikan anaknya yang sedang berlari untuk menghampiri di pintu sekolah dasar. Keresahan terus muncul. Para anak yang sejatinya takut jarum suntik kali ini punya senjata untuk menghindari kewajiban imunisasi. Namun, ajaibnya sang Ibu ikut mendukung. Tidak halal, jumlahnya kurang, hingga nyawa meregang menjadi berita hilir mudik yang ramai dibicarakan mengenai isu kesehatan selama setahun.
Pelaksanaan imunisasi dasar yang wajib didapat setiap warga Indonesia terus terhambat. Umumnya, anak diwajibkan imunisasi dasar yang terdiri dari vaksin hepatitis B, polio, BCG, campak, dan pentavalen. Namun, evolusi yang dialami virus dan kuman menjadi indikator kewaspadaan dan pertambahan jenis imunisasi yang wajib diterima anak-anak. Misalnya, pada 2018 Kementerian Kesehatan (KemenKes) menetapkan target 95% anak diluar Pulau Jawa akan diimunisasi vaksin khusus campak-rubella. Realisasinya hanya mencapai 72,91%. Evaluasi kementerian akan hasil kali ini banyak mengarah pada kabar vaksin yang simpang siur tingkat kehalalannya.
Para ibu yang khawatir akan cairan yang dimasukan ke tubuh anaknya lewat jarum suntik, tidak juga tercerahkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemuka agama yang tergabung mengaku kandungan vaksin baru diperiksa kehalalannya setelah kabar mulai memekakan telinga. Putusan pun tidak memberi solusi. Ketidaksepakatan akan urgensi vaksin justru menjadi hal yang ditunjukkan.
Dampaknya dapat diprediksi. Indonesia masuk sepuluh besar negara dengan kasus campak terbanyak di dunia. Pada awal 2017, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Asmat, Papua. Dari total 700 kasus yang ditemukan, terdapat 79 korban meninggal dunia. Tidak hanya sampai di situ, pada tahun yang sama terjadi KLB difteri di 29 provinsi Indonesia, dikutip dari web United Nations Children’s Fund (UNICEF).
Kemudian, bagaimana kabar vaksin dasar untuk anak-anak? Jumlah bayi berumur 12-23 bulan yang menerima imunisasi dasar hanya sebesar 49%, dikutip dari web Sustainable Development Goals (SDG). Lagi-lagi penerima imunisasi terendah masih berada pada titik terluar Indonesia, yaitu Papua Barat. Indikator utama minimnya realisasi imunisasi ialah kesadaran para ibu.
Anggapan penyakit yang disebabkan oleh guna-guna dukun masih populer di daerah pedalaman Indonesia. Ironisnya, setelah bertahun-tahun wajib vaksin dasar dicanangkan pemerintah, tidak banyak juga kenaikan angka pada tolok ukur pasien. Edukasi khusus ibu hingga saat ini tidak pula mencerminkan naiknya angka imunisasi bayi. Konsistensi edukasi memang menjadi kunci kesuksesan imunisasi.

Pemerintah terus melontarkan berbagai macam alibi apabila dihadapkan dengan data imunisasi yang belum merata. Pada Agustus 2018, KemenKes menyampaikan kendala geografis masih menjadi hambatan sehingga vaksin sulit mencapai daerah terluar. Sementara klarifikasi belum selesai, di bulan Desember terdengar kabar UNICEF mengirim vaksin memakai drone ke daerah terpencil. Berita bantuan tersebut menyebar, masyarakat serasa ditampar dengan cara solutif dari organisasi internasional yang dengan mudah menyelesaikan masalah klise. Kesalahan yang terus dilempar dari satu institusi ke institusi lainnya ini berimbas pada menjauhnya angka target imunisasi.
Oknum tidak bertanggung jawab juga ikut ambil bagian pada merosotnya angka imunisasi di tahun 2016 lalu. Dengan tercengang, masyarakat Indonesia masih harus membaca berita mengenai pemalsuan vaksin. Penjagaan dan seleksi vaksin sekali lagi terbukti sangat lemah, seakan-akan Kemenkes tidak ikut ambil bagian. Klinik pengguna vaksin palsu pun bukan kelas “main-main”. Banyak diantaranya merupakan klinik tersohor. Disaat publik bertanya sanksi yang pantas untuk instansi terkait, KemenKes berjanji memberikan sanksi berupa teguran atau pencabutan izin. Tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban menginginkan jeruji sebagai imbalan. Pelaksanaan vaksin bukan seperti kecelakaan yang dampaknya langsung terlihat, tetapi mencakup seluruh generasi penerus yang menjadi ujung tombak masyarakat Indonesia.
(Siti Annissa Elsani Yosrizal/EQ)
Discussion about this post