Tiongkok dan Klaim Nine-dash Line
Persaingan dua negara raksasa, Tiongkok dan Amerika (US), sebagai ekonomi terbesar di dunia kian hari semakin memanas dengan masalah trade war belum tuntas. Sementara itu, pada tahun 2016 publik digemparkan dengan penemuan markas militer Tiongkok di luar area teritorial kedaulatan Tiongkok, tepatnya di kepulauan Paracel dan Spratlys, Laut China Selatan. Markas militer tersebut dibuat berdasarkan klaim Tiongkok atas nine-dash line sebagai teritori Tiongkok. Hal ini direspon dengan ketidaksetujuan negara-negara Asia Tenggara yang teritorialnya terebut karena klaim Tiongkok atas nine-dash line.
Laut China Selatan adalah teritorial laut yang terletak di antara China dengan negara-negara di ASEAN (Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Brunei, Vietnam) dan berada di Samudera Pasifik. Laut China Selatan memiliki luas sebesar 3,685,000 km2 (Britannica, Eugene C. Lafon) dengan kekayaan melimpah berupa Sumber Daya Alam (SDA) hayati maupun non-hayati. Laut China Selatan juga menjadi jalur perdagangan Internasional antarnegara. Terhitung terjadi perdagangan senilai $5.3 triliun setiap tahunnya (US Department of Defense, Report. 2015).
Pada tahun 1970, Tiongkok telah mengklaim 80 persen area Laut China Selatan (nine-dash line) sebagai teritorial milik Tiongkok, termasuk di antaranya Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratlys dengan berlandaskan latar historis. Menurut Pemerintah Tiongkok, teritorial yang diklaim tersebut merupakan teritorial Tiongkok berdasarkan bukti historis. Sejak dahulu, wilayah tersebut telah menjadi wilayah tradisional masyarakat Tiongkok dalam berlayar untuk mencari ikan. Pada pra-perang ke-2 dunia, masyarakat Tiongkok telah mengeksplorasi wilayah tersebut terlebih dahulu sebelum negara-negara lain. Pemerintah Tiongkok juga berpendapat bahwa hukum internasional yang berlaku mengenai teritorial kelautan tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang mengatur teritorial di seputar wilayah Laut China Selatan dibuat dari pertumpahan darah dari perang dunia ke-2 sehingga bukan merupakan hukum yang baik untuk dijalankan.
ZEE adalah hasil dari konferensi United Nation Convention of the Law Of Sea (UNCLOS) yang menghasilkan hukum internasional yang mengatur tentang hak negara mengenai teritorial kelautan. Konferensi PBB (UNCLOS) menyatakan bahwa tiap negara memiliki hak teritorial kelautan (zona ekonomi eksklusif) sebesar 200nmi (370 km) dari tepi daratan negara tersebut dan memiliki kedaulatan untuk mengaturnya. Hal ini dicetuskan pada konferensi PBB (UNCLOS: United Nation Convention on the Law of the Sea) pada tahun 1982 (UNCLOS Article 55 Part V, 1982).
Berdasarkan PBB, terdapat tujuh negara yang memiliki teritorial ZEE dalam Laut China Selatan: China, Taiwan, Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Vietnam. Terdapat pula zona netral yang berdasarkan UNCLOS menjadi teritorial internasional (Peta 1.1).
Dengan Tiongkok mengklaim (nine-dash line) sebagai teritorialnya di Laut China Selatan, hak kelima negara ASEAN tersebut terganggu. Teritorial ZEE akan terhapuskan bilamana klaim Tiongkok atas nine-dash line dibenarkan. Filipina, sebagai negara dengan ZEE bersinggungan langsung dengan Tiongkok dan Taiwan, telah mendapati blokade dari militer Tiongkok kepada nelayan Filipina yang pergi mencari ikan di area nine-dash line yang masih berada di wilayah ZEE Filipina. Tidak hanya itu, ditemukan juga (dari foto satelit) bahwa Tiongkok membangun artificial island atau pulau buatan sebagai markas dari operasi militer yang dijalankan di Laut China Selatan di wilayah yang bukan termasuk dalam ZEE Tiongkok. Maka dari itu, PBB menolak klaim Tiongkok dan meminta Tiongkok untuk menjalankan negosiasi bilateral antarnegara serta menekankan kepada US sebagai dewan keamanan PBB untuk menjalankan freedom of navigation untuk menghentikan penggunaan militer Tiongkok di wilayah nine-dash line serta mencegah terjadinya perang di wilayah Asia Tenggara.
Peta 1.1
Keuntungan Tiongkok atas Klaim Nine-dash Line
Bila nine-dash line Tiongkok disepakati oleh hukum Internasional dan menjadi kenyataan, 80 persen Laut China Selatan akan masuk dalam teritori Tiongkok. Artinya, Tiongkok memiliki hak untuk bebas memanfaatkan Laut China Selatan untuk kepentingan negaranya baik mengambil SDA ataupun pemanfaatan teritori untuk kepentingan penelitian dan keamanan negara.
US Energy Information Administration (EIA) memperkirakan terdapat 11 milyar galon minyak dan sekitar 538 triliun liter gas alam di Laut China Selatan. Disana juga terdapat 10 persen total populasi ikan di dunia yang menjadi ladang bagi para nelayan (EIA, 2013). Namun, yang paling utama adalah Laut China Selatan menjadi jalur perdagangan internasional yang tiap tahunnya terjadi perdagangan senilai $5.3 triliun.
Apabila Tiongkok memiliki hak atas klaim nine-dash line, teritorial tersebut akan menjadi modal utama bagi Tiongkok untuk meningkatkan ekonomi negaranya. Tiongkok akan memiliki hak untuk mengatur jalur perdagangan yang melalui Laut China Selatan dan memiliki peluang untuk memberikan dampak yang besar dalam perdagangan internasional bagi pesaing utamanya, US. Tiongkok juga mampu mengeksplorasi serta menyedot SDA yang melimpah, baik hayati berupa 10 persen populasi ikan dunia yang berada di Laut China Selatan, maupun minyak serta gas alam. Posisi Tiongkok sebagai negara eksportir bahan baku alam menjadi semakin tidak tergoyahkan.
Tiongkok adalah salah satu negara pembeli minyak terbesar di dunia. Sekitar 60 persen konsumsi minyak di Tiongkok dipenuhi dari impor (Xinhua, 2018). Namun, dengan sumber minyak dan gas alam yang melimpah, Tiongkok mampu menekan aktivitas impor SDA dan menjadi negara mandiri dalam perminyakan atau bahkan menjadi penjual dalam perdagangan minyak di dunia.
Namun, klaim itu ditolak oleh PBB dan menempatkan negara-negara di ASEAN yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan pada posisi yang menguntungkan. Code of Conduct (CoC) ditetapkan antara Tiongkok dengan negara di ASEAN. Walaupun begitu, konflik ini masih berlanjut karena Tiongkok masih tetap ingin mendapatkan klaim atas nine-dash line. Negosiasi bilateral antarnegara akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah antara Tiongkok dengan negara-negara di ASEAN. Walau begitu, beberapa negara telah mengambil aksi. Indonesia telah mengusulkan kepada PBB untuk mengganti nama teritorial laut Indonesia yang berada di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Filipina yang dibantu oleh sekutunya, US, membawa permasalahan nine-dash line ke dalam PBB dan menghasilkan keputusan yang menguntungkan bagi negara-negara ASEAN.
Melihat perkembangan Tiongkok yang melaju pesat serta persaingan antara US dengan Tiongkok di era sekarang ini, klaim Tiongkok atas Laut China Selatan merupakan strategi yang berani. Keuntungan yang diperoleh oleh Tiongkok akan sangat besar. Apabila klaim Tiongkok atas nine-dash line menjadi kenyataan, SDA dan keuntungan lain yang didapatkan oleh Tiongkok mampu membuat posisi Tiongkok sebagai negara nomor satu di dunia dapat terwujud. Klaim ini juga menunjukkan kepada dunia bahwa Tiongkok sedang berkembang dengan sangat cepat. Dengan begitu, Tiongkok bisa saja menggeser US sebagai negara terkuat saat ini, dan mendominasi dunia.
Sumber:
LaFond, Eugene C. 2018. South China Sea.Britannica Encyclopedia. Diakses melalui https://www.britannica.com/place/South-China-Sea pada 10 Oktober 2018.
Fisher, Max. 2016. The South China Sea: Explaining the Dispute. Washington. The New York Times. Diakses melalui https://www.nytimes.com/2016/07/15/world/asia/south-china-sea-dispute-arbitration-explained.html pada 10 Oktober 2018.
United Nation Convention of the Law of Sea. 1982. Exclusive Economic Zone. United Nation. diakses melalui http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/part5.htm pada 10 Oktober 2018.
United States Energy Information Administration. 2013. South China Sea. diakses melalui https://www.eia.gov/beta/international/regions-topics.php?RegionTopicID=SCS pada 10 Oktober 2018.
Yurou. 2018. Beijing. Xinhuanet. diakses melalui http://www.xinhuanet.com/english/2018-10/21/c_137548445.htm pada 10 Oktober 2018.
South China Sea Expert Working Group. 2018. Blue Print for South China Sea Code of Conduct. Asia Maritime Transparency Initiative. diakses melalui https://amti.csis.org/blueprint-for-south-china-sea-code-of-conduct/ pada 10 Oktober 2018.
Muhammad Faishal Arkan
Discussion about this post