Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, merupakan salah satu tokoh yang kontra dengan adanya konsep perubahan iklim. Melalui beberapa kicauannya di Twitter, Presiden dengan nama lengkap Donald John Trump menyatakan bahwa ia menganggap isu pemanasan global adalah sebuah berita palsu. Salah satunya, ia mengungkapkan bahwa pemanasan global merupakan berita fiktif yang dibuat oleh Tiongkok dengan tujuan menjadikan industri manufaktur Amerika Serikat tidak kompetitif. Sampai pada pesan tahunan presiden (State of Union Address) tanggal 30 Januari 2018, pidato Donald Trump dikritik oleh Green Party of the United States (US). Hal ini karena ide yang disampaikan Trump terkait rencana senjata nuklir, kebijakan imigrasi, dan kebijakan administratif lainnya. Green Party of the US lebih menyarankan ide yang lebih baik menurut seperti green new deal, single-payer health care, dan perlucutan senjata nuklir.
Green Party of the US merupakan salah satu partai yang menjadikan prinsip ekologis sebagai ideologinya. Partai atau gerakan politik yang berbasis paham ekologis ini banyak dan tersebar di seluruh dunia. Namun, pembahasan lingkungan hidup di ranah politik Indonesia masih sedikit dan belum populer. Bahkan, pada masa kampanye untuk pemilu 17 April besok masih sedikit atau bahkan tidak ada calon-calon perwakilan rakyat maupun yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai tawaran utama pada masyarakat. Padahal, keadaan ekologis Indonesia semakin terkikis seiring bertambahnya waktu akibat eksploitasi dari sekadar kepentingan keuntungan belaka.
Menilik historis, menurut AB Widyanta, Dosen Sosiologi Fakultas Sosial dan Politik UGM, belum adanya partai atau gerakan politik di Indonesia terjadi karena perbedaan genealogis. Munculnya partai yang berbasis kelestarian lingkungan didasarkan dari catatan-catatan buruk revolusi industri yang semakin berlanjut. Menurutnya, hal itulah yang menjadikan partai-partai hijau di benua Eropa tumbuh kuat. Berbeda dengan Indonesia sebagai negara yang terjajah oleh koloni-koloni. Menurut dosen yang akrab disapa Bung AB ini, pada zaman penjajahan, isu lingkungan bukan menjadi prioritas karena lebih fokus untuk melawan kolonialisme. “Pemerintahan Soekarno saat setelah kemerdekaan membutuhkan banyak waktu dan pikiran untuk mengkonsolidasikan Indonesia sebagai Nation State dalam masa pemerintahan yang sulit sekali,” ujar AB.
Tidak hanya pada pemerintahan presiden pertama, sulit masuknya isu lingkungan juga terjadi di pemerintahan berikutnya. Menurut AB, Revolusi Hijau yang ditetapkan oleh Soeharto untuk menetapkan produksi beras sebesar-besarnya merupakan penghancuran keanekaragaman hayati. Menurut AB, sudah ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan pada saat itu, tetapi tidak dapat bertahan lama karena fragmentasi kepentingan politik yang masih bercokol dengan rezim otoritarianisme.
Melihat dari segi ekonomi, menurut Andreas Budi Purnomo, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, ekonomi lingkungan hingga hari ini belum bisa menjawab permasalahan lingkungan yang selalu menjadi korban atas pertumbuhan ekonomi. Apabila kita ingin menjaga ekologis kita menjadi lebih baik, mau tidak mau perekonomian kita harus melambat karena lingkungan sudah menjadi sumber penyumbang perekonomian yang besar di negara. “Kadang memang serba salah, harus seperti bandul, ada masanya berat sebelah, artinya mengorbankan lingkungan untuk perekonomian lebih baik. Nanti ketika lingkungannya sudah buruk, pindah arah bandul, korbankan perekonomian sejenak, agar lingkungan kita lebih baik.” ujar Budi.

Pendidikan ekonomi yang diajarkan sejak dini kepada kita juga salah. Menurut dosen yang akrab dipanggil pak Budi ini. “Sejak awal kita sudah dididik untuk menghemat tanpa mempertimbangkan barang tersebut baik atau tidaknya terhadap lingkungan,” ujar Budi. Misalkan, terdapat barang A dengan harga tertentu tetapi tidak ramah lingkungan dan barang B yang harganya lebih mahal sedikit namun ramah lingkungan. Atas dasar agar lebih hemat, jelas manusia akan memilih barang A tanpa peduli barang tersebut tidak ramah lingkungan. Hal-hal tersebut sudah melekat pada jiwa manusia dan sulit sekali untuk diatasi bahkan ekonomi lingkungan pun tidak dapat menjawab.
Tidak menutup kemungkinan bahwa partai hijau di Indonesia akan muncul melihat Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya akan terkikis ekologisnya. Menurut Budi, adanya partai hijau tidak begitu dilirik oleh masyarakat yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok ekologis. Hal ini karena masyarakat tersebut menganggap kondisi alam masih lestari. Oleh sebab itu, mereka cenderung berpikir apa yang akan dimakan hari ini bukan apa yang nanti dimakan oleh generasi berikutnya bila lingkungan setiap harinya terkikis. Bagi AB, generasi muda dan gerakan independen hari ini sudah mulai memiliki keprihatinan terhadap ekologis Indonesia walau jumlahnya tidak seberapa. Sudah seharusnya menaruh kepercayaan kepada generasi muda yang memiliki kemampuan daya jangkau digital luas untuk mengatasi urgensi lingkungan hijau Indonesia.
(M. Faiz Zaidan Alharkan, Y. B. Ariel Kenandega/EQ)
Discussion about this post