Talkshow dengan tema “Menguak Aksi Tikus Lapar dalam Tatanan Pendidikan Bangsa” telah berhasil diselenggarakan pada Sabtu (4/11) di gedung Auditorium Magister of Management Universitas Gadjah Mada (MM UGM). Acara ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Ekonomi Bebas Korupsi (EBK) VIII yang mengusung tema utama “Mewujudkan Pendidikan Indonesia yang Bebas Korupsi”.
Talkshow EBK VIII merupakan salah satu rangkaian acara yang berada di bawah naungan program kerja Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (BEM FEB) UGM. Adapun empat narasumber yang hadir pada acara tersebut adalah Prof. Ainun Na’im, I Nyoman Wara, Yoyok W. Prakoso, dan Prof. Sigit Riyanto. Narasumber mengungkapkan berbagai gagasan dan solusi untuk mengatasi korupsi di sektor pendidikan di Indonesia.
Banyaknya kasus tindak korupsi yang terjadi di sektor pendidikan menjadi salah satu alasan BEM FEB UGM mengadakan acara tersebut. Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW), pada tahun 2006—2016 terjadi 425 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2013. Total kerugian negara akibat dari tindakan korupsi tersebut mencapai 1,3 triliun rupiah. Selain itu, kasus korupsi di sektor pendidikan yang memasuki tahap penyidikan menempati posisi kedua terbanyak setelah kasus korupsi di sektor keuangan. Hal ini menunjukkan tingginya kasus korupsi yang terjadi di sektor pendidikan. Dua instansi yang memiliki tingkat korupsi tinggi menurut data ICW adalah Pendidikan Tinggi dan Dinas Pendidikan Daerah.
Terdapat berbagai modus yang digunakan oleh para koruptor dalam melakukan tindak kejahatannya. Beberapa diantaranya adalah penggelapan, proyek fiktif, mark up, penyalahgunaan anggaran, serta pungutan dana sekolah. Sektor yang sering kali menjadi sasaran tindak korupsi antara lain sarana dan prasarana sekolah, dana alokasi khusus pembangunan sekolah, dana buku, infrastruktur sekolah, dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berdasarkan pengamatan Dekan Fakultas Hukum UGM, Sigit Riyanto, modus tindak korupsi yang sering terjadi di pendidikan tinggi adalah penurunan standar mutu dalam proses perolehan gelar.
Auditor Utama Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), I Nyoman Wara menambahkan bahwa kecurangan-kecurangan sering kali terjadi pada level manajemen yang terjadi secara sistemik melibatkan top dan middle manager. Keberadaan broker, baik pada masa penerimaan mahasiswa baru maupun dalam proses pengadaan sarana prasarana dan infrastruktur perguruan tinggi, juga perlu menjadi perhatian. Selain itu, Spesialis Pendidikan Publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yoyok W. Prakoso pernah secara langsung menemukan kecurangan pada saat akreditasi. “Penyuapan terjadi disaat pengajuan dokumen supaya dokumen lolos seleksi dan universitas tetap mendapatkan akreditasi,” ungkapnya.
Selain kasus akreditasi, adanya proyek bangunan mangkrak dengan total senilai 9 triliun rupiah di beberapa perguruan tinggi perlu mendapat perhatian khusus karena rawan disusupi oleh tindak kejahatan korupsi. Akan tetapi, Sekretaris Jendral Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Sekjen Kemristek Dikti), Ainun Na’im beranggapan bahwa bangunan mangkrak tidak selalu diakibatkan oleh tindak korupsi. Beberapa penyebab yang mungkin mengakibatkan adanya bangunan mangkrak antara lain kurangnya dana yang diberikan dan perubahan kebijakan saat proses pembangunan sehingga tidak bisa ditindaklanjuti. “Contohnya perubahan kebijakan yang melarang pemerintah daerah terlibat dalam segala bentuk proyek pendidikan tinggi yang menjadi wewenang pemerintah pusat,” jelasnya.
Menurut Sigit, judgement terhadap kasus tindak korupsi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan ditinjau kasus per kasus. Ainun juga menambahkan bahwa judgement dalam kasus tindak korupsi perlu ada peninjauan pada berbagai sektor yang berhubungan.
Besarnya dana yang dialirkan pemerintah ke sektor pendidikan menjadi salah satu penyebab suburnya kasus tindak korupsi di sektor ini. Ainun berkata, sektor pedidikan di Indonesia memperoleh dana sebesar 20%, baik itu dari APBN maupun APBD. Artinya, dana sebesar 444 triliun rupiah diterima sektor pendidikan hanya dari APBN, belum termasuk dari APBD. 20 persen dana APBN tersebut, 65 persennya dialokasikan ke Dinas Pendidikan Daerah serta 35 persen sisanya dialokasikan ke Dinas Pendidikan Pusat. Namun sayangnya, sebagian besar tindak korupsi di sektor pendidikan justru terjadi di tingkat daerah. Hal ini menjadi masalah mengingat besaran dana ke daerah jauh lebih besar dibandingkan dana ke pusat.
Pemerintah daerah menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri sehingga Kemristekdikti tidak mampu berbuat banyak pada kasus tindak korupsi yang terjadi di daerah. Anggaran pendidikan daerah menjadi otonomi daerah dan dipertanggungjawabkan ke pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak mampu mengintervensi anggaran dana tersebut.
Yoyok menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi KPK dalam menindak kasus korupsi di sektor pendidikan adalah karena kebanyakan kasus tindak korupsi terjadi di luar wilayah kewewenangan KPK. Dana dari pusat diteruskan ke daerah. Kemudian dana tersebut diteruskan ke wilayah yang lebih kecil, seperti desa, dengan nominal yang juga lebih kecil. Lalu, pada sektor yang kecil itulah terjadi korupsi sehingga KPK tidak dapat menindaklanjuti kasus tersebut. Contoh kasus adalah dana Kartu Indonesia Pintar yang dikorupsi selama dua tahun oleh kepala desa di suatu daerah.
Lembaga-lembaga yang berwenang dalam penegakan kasus korupsi lebih memprioritaskan kasus dengan nilai kerugian besar. Menurut Nyoman, tindak korupsi yang terjadi di sektor pendidikan memilliki jumlah yang banyak dari segi kasus, namun dari segi kerugian tidak lebih banyak dari kasus tindak korupsi di sektor lain. Hal ini menyebabkan korupsi di sektor pendidikan tidak dianggap sebagai prioritas.
Yusrial Bachtiar, Inspektorat Jendral Kemristekdikti, yang menggantikan posisi Ainun Na’im sebagai narasumber, mengusulkan perlu adanya perbaikan sistem dari internal perguruan tinggi dan pengawasannya. Kelemahan yang ada di sistem internal saat ini perlu diperbaiki supaya korupsi bisa dicegah. Sedangkan menurut Nyoman, mengatasi persekongkolan yang ada di balik sistem tersebut yang lebih penting. Sistem yang sudah diperbaiki akan bisa ditembus jika persekongkolan masih terjadi. Untuk itu ia menekankan pentingnya fungsi auditor internal sebagai salah satu pencegahan terjadinya kecurangan.
Melengkapi dua narasumber sebelumnya, Yoyok mengajak keterlibatan seluruh lapisan masyarakat untuk bersama memerangi korupsi. Menurut Yoyok, jika hanya mengandalkan lembaga pemerintah, korupsi tidak akan bisa dimusnahkan. Untuk itu, Yoyok menekankan bahwa ketika menemui adanya indikasi tindak korupsi, masyarakat diharapkan mau melaporkannya ke lembaga yang berwenang, contoh KPK dan BPK, melalui website masing-masing lembaga atau datang langsung ke kantornya. Sebagai penutup, Sigit kembali menekankan pentingnya partisipasi publik dalam memberantas korupsi.
(Gerardo Gani Perkasa/EQ)
Discussion about this post