Penulis: Muhammad Aulia dan Rayhan Marfiano R./EQ
Foto oleh M. Buchari Muslim dan Erwan Cerentio/EQ
Sejatinya, alat kontrasepsi diciptakan semata untuk mencegah terjadinya proses pembuahan dalam suatu hubungan seksual. Namun, dalam perkembangannya, alat kontrasepsi juga berperan penting dalam mengatasi permasalahan serius, seperti ledakan jumlah penduduk, penyakit menular seksual (PMS), dan lainnya. Salah satu alat kontrasepsi yang paling lazim digunakan serta mudah ditemukan saat ini adalah kondom. Cukup dengan merogoh kocek sebesar 15 hingga 30 ribu rupiah, kamu sudah dapat membawa pulang sebuah kotak yang berisi 2 sampai 3 kondom.
Dilansir dari historia.id, para ilmuwan meyakini bahwa kondom pertama kali ditemukan 11.000 tahun sebelum masehi. Pendapat tersebut dikuatkan oleh lukisan di dinding gua Grotte Des Combarrelles di Perancis yang dianggap sebagai bukti awal penggunaan kondom. Konon, kondom pada awalnya digunakan sebagai pelindung alat kelamin dari gigitan serangga sampai infeksi penyakit tropis. Selanjutnya, penggunaan kondom untuk mengontrol kehamilan baru dimulai sekitar 600 tahun yang lalu di dataran Tiongkok dan Jepang. Alih-alih terbuat dari bahan lateks, kondom yang digunakan pada saat itu masih terbuat dari usus domba, kertas sutra, bahkan kulit kura-kura.
Meski kondom diyakini memiliki tingkat efektivitas tinggi dalam mencegah terjadinya kehamilan, penggunaannya masih sering dianggap tabu. Kini, kondom dapat kita temui dengan mudah di apotek dan minimarket. Namun, persepsi negatif terhadap benda ini masih begitu melekat dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, Menteri Kesehatan RI periode 2012-2014, dr. Nafsiah Mboi, mendapat julukan negatif ‘Menteri Cabul’ dan ‘Ratu Kondom’ dari sebagian masyarakat ketika mengampanyekan penggunaan kondom secara terbuka. Padahal, tujuan utama dari kampanye tersebut untuk menekan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.
Takut dan Malu ketika Membeli Kondom
Persepsi negatif masyarakat juga berdampak pada kenyamanan orang ketika ingin membeli kondom. Salah satu pegawai minimarket di Jalan Kaliurang, Sleman, menuturkan bahwa sebenarnya pihak manajemen minimarket tidak memiliki aturan mengenai syarat seseorang dapat membeli kondom. Siapapun dapat membeli benda ini dengan bebas. Namun, mayoritas dari para pembeli di minimarket tersebut, yang notabene berada pada rentang usia remaja menuju dewasa, selalu menunjukkan gelagat seolah-olah takut dan malu ketika ingin membeli kondom. Selain itu, para pembeli juga umumnya membeli kondom di malam hari ketika kondisi minimarket sudah sepi. Beberapa dari mereka bahkan hanya ingin melakukan transaksi pembelian apabila pegawai kasir yang berjaga merupakan laki-laki untuk menghindari rasa canggung.
Rasa takut dan malu ketika ingin membeli kondom ternyata diamini oleh A (inisial), seorang mahasiswa aktif. Ia rela mencari minimarket yang jauh dari tempat tinggalnya ketika ingin membeli kondom. Tujuannya agar wajahnya tidak diingat oleh pegawai kasir maupun orang lain yang berada di minimarket pada saat itu. Ia takut akan mendapat pandangan negatif yang seolah-olah menghakimi dirinya karena membeli kondom, terlebih jika tahu bahwa dirinya melakukan hubungan seks di luar nikah.
“Seks selalu diiringi dengan sense of intimacy (suatu perasaan yang intim) yang oleh publik dianggap sebagai sebuah privasi. Ketika membeli kondom, orang yang melihat akan langsung menyimpulkan bahwa kamu akan melakukan hubungan seksual. Di situlah perasaan tidak nyaman muncul karena privasimu akan terusik,” jelas B (inisial), seorang mahasiswa aktif, mengenai pendapatnya soal rasa malu pembeli.
Minimnya Sosialisasi Penggunaan Kondom
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa aktif FEB UGM, mereka sepakat salah satu penyebab utama persepsi negatif terhadap kondom ialah minimnya pendidikan seks serta sosialisasi mengenai alat kontrasepsi di jenjang pendidikan formal. Argumen ini diperkuat dengan survei yang dilakukan oleh Durex Indonesia di lima kota besar -Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Yogyakarta- pada tahun 2019. 73% responden remaja setuju pendidikan seks dan reproduksi kesehatan dari sekolah mereka belum memadai. Lalu, 31% remaja merasa lebih nyaman mendiskusikan topik terkait dengan teman sebaya mereka, baru kemudian 24% dengan orang tua mereka.
“Sosialisasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi, terutama kondom, harus diimbangi pula dengan pendidikan mengenai bahaya seks bebas. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak salah persepsi dalam membedakan definisi safe sex dengan free sex. Sebab, resiko kondom bocor atau robek saat dipakai pun masih mungkin sekali terjadi,” tutur E (inisial), salah satu mahasiswa aktif FEB UGM ketika berdiskusi.
Bukanlah perkara mudah untuk mengadakan sosialisasi penggunaan kondom yang terbuka dan menyeluruh di tengah persepsi negatif masyarakat saat ini. Kondom bukanlah sekadar alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan saja, sebab kondom juga dapat mencegah penyakit menular seksual (PMS) yang berbahaya khususnya di kalangan anak muda. Perlu keseriusan dan konsistensi baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat dalam menyukseskan programnya. Walaupun begitu, bukan berarti hal tersebut mustahil untuk terwujud, kan?
Discussion about this post