Oleh Sirajuddin Ahyar/EQ
“Mulutmu, harimaumu.” Pernahkah kalian mendengar peribahasa itu? Peribahasa tersebut seringkali menjadi peringatan agar lebih memperhatikan ucapan kita agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Lantas, di era yang serba digital ini apakah peribahasa tersebut sudah tidak berlaku lagi? Tentu tidak. Justru dengan adanya internet, manusia lebih bebas untuk mengekspresikan diri dan mengutarakan opini.
Maraknya media sosial kini telah menyediakan platform yang membuat kita lebih leluasa berinteraksi secara tidak langsung. Tentu saja, banyak sekali sisi positif yang bisa diambil dari internet. Namun itu tidak berarti internet tidak memiliki konsekuensi apapun atau zero consequences.
Hal negatif yang menonjol dari penggunaan internet adalah munculnya fenomena baru bernama Cyberbullying. Terlebih lagi di saat pandemi ini manusia lebih sering melakukan kegiatan melalui media digital sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya cyberbullying. Nah, artikel ini akan membahas tentang fenomena cyberbullying di masa pandemi. Tertarik kan buat mencari tahu lebih lanjut?
Cyberbullying In a Nutshell
Menurut UNICEF, cyberbullying adalah kegiatan perundungan yang dilakukan melalui media digital yang bertujuan untuk mengancam, mempermalukan dan membuat marah individu atau kelompok. Apa saja sih contohnya?
- Menyebarkan berita bohong tentang perseorangan
- Mengirim pesan ancaman
- Mengambil identitas individu di media sosial dan digunakan untuk keuntungan pribadi
Dampak yang dirasakan pun dapat mempengaruhi seseorang secara mental, emosional dan fisik. Secara mental orang akan merasa malu, sedih, bahkan marah. Secara emosional seseorang dapat kehilangan perasaan senang akan hal-hal yang digemari dan merasa tidak lagi mempunyai gairah hidup. Selain itu, seseorang dapat merasakan gangguan psikosomatik yang diakibatkan oleh stres yang berlebihan dan berdampak pada tubuh.
Bullying secara langsung dan cyberbullying merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun, oknum yang melakukan tindakan cyberbullying sendiri pasti meninggalkan jejak digital yang bisa ditelusuri asal muasalnya. Jejak digital yang tertinggal dapat berupa unggahan kebencian, komentar tidak pantas, dan lain sebagainya. Jadi hati-hati ya, temen-temen, jangan sampai melakukan hal tersebut.
Cyberbullying di Indonesia
Di Indonesia sendiri sedang marak kasus cyberbullying yang dilakukan melalui platform media sosial. Hal yang marak akhir-akhir ini adalah cyberbullying terhadap Adhisty Zara Eks JKT48 terkait videonya yang viral melalui Instagram, sehingga banyak dari pengguna internet yang melontarkan komentar buruk terhadapnya. Selain itu, perundungan melalui media sosial yang ditujukan kepada Siti Fauziah Saekhoni karena perannya sebagai antagonis di film pendek berjudul Tilik. Reemar, seorang selebriti media sosial TikTok yang berasal dari Filipina, juga mendapat komentar-komentar tidak pantas dari pengguna internet asal Indonesia sehingga memaksanya untuk menonaktifkan akun media sosialnya.
Data dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa setidaknya ada 25 kasus cyberbullying dilaporkan setiap harinya. Data tambahan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018 mengindikasikan bahwa setidaknya terdapat 22,4% tindakan cyberbullying pada anak yang diakibatkan paparan internet yang berlebihan. Lantas, apa tindakan pemerintah dalam menghadapi kasus ini?
Pemerintah telah mengatur hal tersebut dalam UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut mengganti sebagian substansi dari UU No. 11 tahun 2008 yang mengatur tentang perlindungan data pribadi dan keamanan arus informasi. Namun, banyak yang beranggapan bahwa undang-undang ini masih membingungkan dan dianggap salah kaprah.
Cyberbullying Saat Pandemi
Wabah Covid-19 mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan cyberbullying. Kebijakan social distancing yang dilakukan beberapa negara memaksa interaksi dilakukan dengan cara virtual. Selain itu, karena pandemi semua kegiatan harus dilakukan di rumah termasuk mengisi waktu luang. Paparan internet yang lebih besar dari sebelumnya mengakibatkan peningkatan terhadap cyberbullying. Light, sebuah organisasi yang berfokus pada pengawasan cyberbullying, menyebutkan bahwa adanya peningkatan sebanyak 70% dalam beberapa bulan di awal pandemi.
Stress di masa pandemi juga mengakibatkan peningkatan cyberbullying. Sebelumnya, masyarakat dapat melakukan kegiatan seperti rekreasi, bermain, dan bertemu dengan teman untuk melepas stres. Namun, karena kegiatan diluar rumah dibatasi, manusia cenderung melampiaskannya melalui media sosial. Light, menyebutkan bahwa adanya peningkatan sebanyak 200% pada pengunjung situs dan forum yang menebarkan kebencian. Data-data diatas menunjukkan maraknya cyberbullying di masa pandemi ini. Nah, bagi kalian yang sedang mengalami dan merasakan dampak dari cyberbullying alangkah baiknya berbicara dengan teman terdekat, guru BK kalian, atau menghubungi pembimbing profesional di bidangnya. Selain itu, kalian dapat menghubungi Telepon Pelayanan Anak Sosial (TePSA) di nomor telepon 1500-771.
Kesimpulan
Fenomena cyberbullying perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari berbagai kalangan. Menghilangkannya pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, kerjasama yang baik dari pemerintah maupun pengguna internet dapat membuat hal tersebut memungkinkan. Oleh karena itu, mari bergandengan tangan membangun lingkungan berinternet agar lebih baik untuk sekarang dan masa depan. Say no to cyberbullying!
Discussion about this post