Oleh: Amalia Anisa Hidayat/EQ
Ketika manusia normal memiliki satu jiwa dan kepribadian yang dibawa sampai mati, terdapat beberapa penderita Gangguan Identitas Disosiatif (GID) di bumi ini yang memiliki lebih dari satu kepribadian, bahkan sampai puluhan macam kepribadian. Semua itu di luar kendali manusia. Lalu seperti apakah rasanya?
Sudah banyak film yang mengangkat tema tentang penderita kepribadian ganda. Namun yang menarik perhatian di 2017, terdapat salah satu film dengan judul Split. Film bergenre thriller ini bercerita tentang seorang pemuda yang menderita Gangguan Identitas Disosiatif yang sangat parah dengan 24 kepribadian yang berbeda. Pemuda itu bernama Kevin Wendell Crumb yang diperankan dengan epik oleh aktor James McAvoy. Kevin dapat berubah dari satu kepribadian ke kepribadian lainnya setiap waktu.
Kevin sebagai pribadi inang bisa menjadi seorang fashionista yang baik hati bernama Barry, kemudian berubah menjadi Dennis, seorang yang sangat menyukai kebersihan, tegas, dan bersikap dingin. Bahkan, Kevin juga dapat berubah menjadi seorang wanita, anak-anak berusia 9 tahun dan masih banyak lagi. Namun, kepribadian Kevin yang paling mengerikan adalah The Beast, sosok yang mengubah dia menjadi seorang psikopat yang sangat kuat dan kejam.
Film yang disutradarai oleh M. Night Shyamalan ini diawali dengan penculikan tiga gadis remaja, yaitu Claire, Marcia, dan Cassie. Penculikan ini dilakukan oleh pribadi Kevin yang dikuasai karakter Dennis. Ketiga gadis tersebut tidak mengetahui motif di balik penculikan yang dilakukan oleh Kevin, tetapi mereka akhirnya mengetahui bahwa Kevin memiliki banyak sekali kepribadian yang dapat berubah kapanpun. Dengan berbagai cara, ketiga gadis itu mencari jalan untuk melarikan diri. Film ini juga menangkap fokus pada tokoh Cassie yang pendiam, tetapi selalu berpikir panjang sebelum mengambil langkah melarikan diri. Film misterius sekaligus menegangkan ini masuk jajaran atas box office. Penonton akan dibuat penasaran disertai jantung yang berdebar-debar memikirkan sesuatu yang akan terjadi. Akhir dari film ini pun tidak terduga. Karena Split dirasa kurang puas dengan ending-nya, film ini memiliki lanjutan berjudul Glass yang dirilis pada 2019.
Penderita Gangguan Identitas Disosiatif ternyata banyak ditemui di kehidupan nyata. Mungkin beberapa dari kita pernah secara tidak sadar mengalami gangguan disosiatif ringan ketika melamun. Namun, dalam hal ini kita akan mengenal gangguan kepribadian ganda parah secara lebih dekat. Ciri-ciri kelainan terkadang tidak disadari oleh penderita. Mereka merasa dirasuki orang lain ketika berganti kepribadian. Setiap kepribadian memiliki pola pikir, tingkah laku, jenis kelamin, usia, dan identitas yang berbeda. Bahkan dalam beberapa kasus, terdapat kepribadian yang dapat menunjukkan reaksi alergi, rekaman aliran arus otak, dan ukuran pupil yang berbeda. Jadi, orang yang berada di dekatnya harus mampu menebak pribadi yang sedang mengambil alih dan memperlakukannya dengan sesuai.
Penyebab Gangguan Identitas Disosiatif ini pun berasal dari respon alamiah dari rasa takut, sakit, dan trauma luar biasa, seperti kekerasan dalam rumah tangga, trauma masa kecil, depresi yang berlebihan, ataupun pelecehan seksual. Sama halnya dalam film Split, penyebab dari timbulnya Gangguan Identitas Disosiatif yang dialami Kevin adalah kekerasan masa kecil yang dilakukan oleh ibunya setiap kali ia melakukan kesalahan. Trauma itu menimbulkan respon adaptif berganti-ganti kepribadian untuk mempertahankan diri dari rasa takut dan kesalnya.
Kejadian luar biasa penderita Gangguan Identitas Disosiatif ini banyak menghebohkan publik, mulai dari kasus negatif maupun positif. Film Split belakangan diketahui terinspirasi dari kisah nyata seorang pasien bernama Billy Milligan yang sempat menghebohkan publik atas beberapa kasus kriminal yang dilakukannya. Namun setelah diselidiki polisi, ternyata Billy memiliki 24 kepribadian dan dibebaskan secara hukum, tetapi dirujuk ke rumah sakit jiwa di Amerika Serikat. Penanganan dari gangguan yang paling tepat adalah melakukan terapi psikologis (terapi perilaku) yang dapat dibantu oleh psikiater maupun psikolog, dan disertai dengan pemberian obat-obatan. Memang tidak semua pengobatan dapat menghasilkan kesembuhan total. Biasanya, yang diterapi adalah kepribadian inang sehingga perlu dukungan dan penanganan tepat dari orang sekitar ketika penderita tidak menjadi pribadi aslinya. Dalam kasus yang lebih parah, perlu penanganan rujukan ke rumah sakit jiwa dengan bantuan dokter dan perawat yang senantiasa sabar dan kompeten.
Orang dengan Gangguan Identitas Disosiatif ini mungkin akan sangat sulit ketika harus menjalin hubungan dengan orang lain. Terkadang, mereka dapat menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Akan tetapi, kita sebagai sesama manusia harus saling membantu dan tetap menghargai. Lalu setelah mengenal semuanya ciri-cirinya, apakah orang di sekitar juga termasuk penderita? atau bahkan diri kita sendiri?
Sumber gambar: The Guardian
Discussion about this post