Pada 2009, artis cantik Marshanda sempat mengunggah video menyanyi sambil menari yang kemudian dianggap “gila” oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Padahal, kini banyak orang menyanyi dan menari di media sosial dan dianggap wajar, bahkan menjadi sebuah tren. Belakangan diketahui bahwa Marshanda sudah didiagnosa mengidap gangguan mental bipolar sejak 2009. Saat itu, kesehatan mental masih menjadi topik yang sensitif dan dianggap menyimpang sehingga tidak terlalu banyak dukungan yang diterima oleh Marshanda. Namun, ketika ia mengaku memiliki bipolar pada 2019, reaksi dari masyarakat sudah jauh berbeda. Setelah pengakuannya tersebar, tak sedikit rekan sesama artis yang mulai bercerita mengenai penyakit mental yang juga mereka alami.
Gerakan awareness for mental health and mental illness memang sudah banyak menghapus stigma-stigma negatif terhadap gangguan mental. Masyarakat yang dulunya malu untuk konsultasi ke psikolog, kini gencar mengadakan seminar bersama psikolog untuk membahas kesehatan mental. Tentu saja ini merupakan kabar baik karena para penderita gangguan mental diharapkan tidak lagi sungkan untuk mencari pertolongan. Namun, yang menjadi kabar buruk adalah semakin dikenalnya istilah mental illness, semakin banyak juga orang yang ingin memilikinya. Melalui berbagai platform, orang berlomba-lomba menceritakan pengalaman pahit mereka. Melalui foto dan tulisan, mereka menggambarkan gangguan mental sebagai penderitaan yang indah sehingga memberikan asumsi bahwa memiliki gangguan mental berarti unik, spesial, dan keren.
Dokter Mark Reinecke, kepala psikolog di Rumah Sakit Northwestern Memorial, mengatakan bahwa dalam masa pencarian jati diri, kesempatan untuk dikenal sebagai pribadi yang kuat, beautiful, dan misterius dengan cara meromantisasi gangguan mental bisa sangat menggiurkan. Ditambah dengan cerita sukses dari para pejuang gangguan mental membuat gangguan mental tak lagi dipandang memalukan, justru membanggakan. Seolah seseorang harus menderita untuk bahagia, atau seolah penderitaan akan membuat kesuksesan mereka terlihat lebih hebat. Budaya mengidealkan mental illness ini akhirnya membuat mereka yang benar-benar memiliki gangguan mental kembali takut untuk speak up.
Gambaran yang indah terkait penyakit kejiwaan di media sosial serta munculnya film semacam Joker dan 13 Reasons Why terlihat seperti toxic positivity di mata mereka yang benar-benar memiliki gangguan mental. Contohnya seperti Mason Smajstrla, seorang pelawak yang mengaku kecewa saat melihat unggahan tentang gangguan kecemasan karena pengalamannya saat menderita gangguan tersebut sangatlah berbeda dengan gambaran di Instagram. Atau Hattie Gladwell, seorang jurnalis dan aktivis kesehatan mental, yang pernah mengunggah cuitan tentang perbedaan antara mental illnesses dengan everyday emotions di laman Twitter pribadinya. “Bipolar bukanlah terbangun dengan merasa bahagia, kemudian pergi tidur merasa sedih karena sebuah percekcokan. OCD tidak sama dengan menyukai lemari Anda tetap rapi. Depresi bukanlah seperti memiliki hari buruk yang aneh. Gangguan kecemasan bukanlah perasaan gugup karena memiliki tes. Berhenti menggunakan mental illness untuk mendeskripsikan emosi sehari-hari,” tulisnya.
Pemikiran bahwa gangguan kejiwaan adalah sesuatu yang keren serta kemudahan untuk mencari berbagai informasi secara bebas di internet juga memicu fenomena “cyberchondria”, yaitu ketika seseorang melakukan pencarian daring dan memutuskan bahwa ia memiliki penyakit tertentu, atau mirip dengan self-diagnosis, yang dalam kasus ini adalah cyberchondria terhadap mental health. Hal ini berbahaya karena, jika salah membuat kesimpulan terkait kondisi yang sedang dialami maka tindakan pengobatan yang diambil akan salah juga. Contohnya seperti meminum obat penenang atau melakukan self-harming. “Munculnya persepsi bahwa gangguan mental itu ‘keren’ dan adanya informasi di internet memperparah tren self-diagnosis ini,” ujar Edo, seorang dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Dengan cara penyampaian yang kurang tepat, gerakan awareness of mental health berubah menjadi sebuah glorifikasi. Padahal, terdapat perbedaan antara glorifikasi dan benar-benar peduli. Glorifikasi adalah tindakan melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan hebat dan luar biasa, hanya untuk membangun citra tanpa mementingkan informasi yang mengedukasi. Sementara itu, kepedulian didasari oleh concern atau perhatian terhadap penyakit mental sehingga dilakukan dengan mengedukasi serta mendukung tanpa menyaingi. Menjadi sadar akan mental illness bukan berarti menjadi salah satu penderitanya. Menjadi sadar akan mental health berarti belajar mengenali gejala-gejalanya pada orang lain, bukan hanya fokus pada diri sendiri saja.
(Berliana Cahya Pertiwi/EQ)
Sumber gambar: Unsplash.com
Discussion about this post