Penulis: Putu Mahendrayana/EQ
Ilustrator: Muhammad Akmal Farouqi/EQ
Donald Trump dan Jail Bolsonaro bukan seorang nasionalis yang hanya kebetulan menentang perubahan iklim. Penyangkalan yang dilakukan para nasionalis pada kenyataannya memang beralasan.
Isu perubahan iklim kembali menjadi perhatian pada saat penelitian dalam program World Climate Research pada 22 Juli lalu memperkirakan bahwa suhu bumi akan meningkat 2,6 sampai 4,1 derajat Celcius. Namun, di tengah kekhawatiran isu perubahan iklim, nasionalisme justru menjadi kendala besar dalam kemajuan negosiasi iklim multilateral. Hal ini terbukti saat Conference of the Parties (COP) ke-15 PBB di Kopenhagen Desember 2009. Pada waktu itu, tekanan dari kaum nasionalis1 membuat persetujuan politik yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Lantas, bagaimana dua hal yang tampak tak berkaitan ini kemudian menciptakan perdebatan yang tak kunjung usai?
Titik Temu Kepentingan Bisnis dan Ideologi
Penolakan terhadap pemanasan global pertama kali dimulai sejak tahun 1980-an, hampir bersamaan dengan pertama kali munculnya peringatan terhadap pemanasan global itu sendiri. Aktor utama dari penolakan tersebut adalah pengusaha-pengusaha di bidang bahan bakar fosil. Salah satu dalang penolakan yang paling terkenal adalah perusahaan ExxonMobil. Pada tahun 1989, Exxon bersama perusahaan bahan bakar fosil lainnya membentuk Global Climate Coalition (GCC) untuk menentang kebijakan pembatasan emisi karbon dioksida. Hal ini dilakukan dengan memudarkan pemahaman masyarakat tentang dampak bahan bakar fosil terhadap perubahan iklim (Ioan et al., 2009).
Gerakan penolakan terhadap perubahan iklim tersebut menarik perhatian kelompok konservatif dan libertarian. Pada saat itu mereka menitikberatkan pemikirannya pada kebebasan ekonomi yang meminimalkan peran pemerintah, serta memperjuangkan berbagai nilai tradisi Amerika Serikat lainnya. Kelompok ini membawa argumen yang kontra intuitif dengan narasi perubahan iklim saat itu. Mereka percaya bahwa cara terbaik untuk melindungi lingkungan adalah dengan terlebih dahulu melindungi kebebasan ekonomi dan mengeliminasi peran pemerintah (Collomb, 2014).
Kelompok konservatif2 dan libertarian3 saat itu mendukung penyangkal perubahan iklim karena ideologi mereka berpandangan bahwa peran dari pemerintah harus senantiasa dikurangi agar tidak merenggut hak dan kebebasan individu. Isu global seperti perubahan iklim di sisi lain mengharuskan pemerintah mengambil peran dalam porsi besar untuk membatasi kegiatan masyarakat di berbagai aspek. Di sinilah kepentingan antara para pengusaha dan nasionalis bertemu, melahirkan gerakan penolakan yang sistematis seperti The Heartland Institute, The Heritage Foundation, dan The Cato Institute. Pemikiran seperti ini masih berlanjut hingga sekarang, dan masih memiliki pengaruh yang besar dalam Partai Republik Amerika Serikat (Collomb, 2014).
Penelitian global pertama tentang penyangkal perubahan iklim telah dilakukan pada 7 November 2018 oleh Centre for Studies of Climate Change Denialism (CEFORCED) yang berpusat di Chalmers University of Technology Swedia. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara para penyangkal perubahan iklim dan para nasionalis sayap kanan yang cenderung saling memperkuat satu sama lain. Para penyangkal akan mendukung gerakan nasionalis sayap kanan agar mereka tidak perlu berurusan dengan masalah global. Sebaliknya, para nasionalis sayap kanan memilih menyangkal perubahan iklim untuk menuduh para elite global sebagai sekumpulan pembohong yang layak menjadi musuh bersama.
Egoisme Gagasan Nasionalis di Hadapan Isu Global
Republik Kiribati adalah salah satu pemerintahan yang paling berhasil dalam menyikapi masalah ini. Negara tersebut berhasil menekan jumlah emisi karbon dioksida ke tingkat yang sangat rendah. Total emisi karbon dioksida di negara ini hanya 0,0002% dari keseluruhan emisi karbondioksida di dunia. Namun ironisnya, negara ini bisa menjadi yang pertama kali hilang dari peta apabila pemanasan global terus berlanjut. Saat ini, titik tertinggi di Republik Kiribati hanya setinggi 2 meter di atas permukaan laut. Hal tersebut terjadi akibat aktivitas industri di belahan bumi yang lain.
Untuk mencegah Republik Kiribati tenggelam, orang-orang di Amerika Serikat, Rusia, dan negara lainnya harus beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Dengan kata lain, orang-orang harus mempersulit diri sendiri dengan sebuah kebiasaan baru demi kebaikan orang-orang di daerah lain yang tidak mereka kenal. Ini adalah sebuah narasi yang akan ditolak oleh sebagian besar nasionalis. Walaupun nasionalis dalam bentuk paling jinaknya tidak menunjukkan kebencian terhadap orang asing, Akan sulit bagi mereka untuk melakukan serangkaian pengorbanan tersebut. Hal tersebut dikarenakan paham ini sedari awal terbentuk untuk mengutamakan kepentingan nasional di atas yang lainnya (Harari, 2018).
Hal ini tidak akan menjadi masalah apabila masalah perubahan iklim juga terbatas dalam ruang lingkup nasional. Sayangnya, perubahan iklim tidak mengenal batas kelas, etnis, geografis, maupun nasional. Aktivitas industri di suatu negara bisa membuat penanganan perubahan iklim di negara lain menjadi sia-sia. Oleh karena itu, mustahil untuk menyelamatkan Tokyo, Shanghai, dan Hongkong dari badai dan topan apabila bisnis dan industri di Amerika Serikat dan Rusia tidak ingin repot-repot berubah menjadi lebih hijau. Bagi para nasionalis, ancaman dari perubahan iklim tidak langsung terasa saat ini juga. Di sisi lain, peningkatan biaya produksi atau menurunnya jumlah ekspor bahan bakar fosil merupakan masalah yang langsung mengancam rakyatnya. Bagi mereka, reformasi bisnis merupakan sesuatu yang merepotkan sehingga mereka lebih memilih menunda menghadapi permasalahan iklim atau bahkan menyerahkan hal ini pada orang lain (Harari, 2018).
Pemilik Kekuatan Besar yang Justru Diuntungkan oleh Pemanasan Global
Permasalahan ini semakin diperkeruh dengan fakta bahwa ternyata ada beberapa negara yang malah diuntungkan oleh meningkatnya suhu permukaan Bumi. Rusia adalah salah satunya. Beberapa tahun belakangan, produksi pangan di Rusia mengalami peningkatan yang cukup pesat karena suhu yang semakin hangat. Mencairnya es di Kutub Utara juga akan membuka rute perdagangan baru bagi mereka. Vladimir Putin, Presiden Rusia saat ini dalam beberapa kesempatan pun menyangkal bahwa perubahan iklim merupakan akibat dari aktivitas manusia. Menurutnya, manusia seharusnya beradaptasi dengan keadaan daripada berusaha menghentikan perubahan tersebut (France-Presse, 2020).
Pendapat Presiden Putin juga sejalan dengan kebijakan yang dirilis oleh Kementerian Ekonomi Rusia. Dokumen 17 halaman tersebut berisi sebuah rencana mitigasi dampak dari perubahan iklim serta langkah untuk memanfaatkannya. Dalam dokumen tersebut, pemerintah Rusia menegaskan bahwa negara mereka juga turut dirugikan oleh perubahan iklim dalam jumlah yang sangat besar. Namun, mereka tidak menyangkal bahwa suhu yang semakin hangat juga akan memberikan manfaat bagi mereka, seperti mengurangi pemakaian energi, membuka beberapa akses transportasi, dan menciptakan lahan pertanian baru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa nasionalis sayap kanan memiliki peran besar dalam panggung penyangkalan perubahan iklim. Kepentingan ideologi yang turut ditenagai oleh keperluan bisnis telah melahirkan gerakan yang masif dan terorganisasi. Sah-sah saja apabila Presiden Putin menganggap bahwa perubahan iklim adalah proses alam yang tidak ada hubungannya dengan aktivitas manusia. Namun, akan berbeda ceritanya jika itu hanyalah alasan untuk melanjutkan aktivitas perusakan seperti biasa. Di hadapan narasi kepentingan nasional, penanganan terhadap perubahan iklim seakan menjadi hal yang dapat dikesampingkan. Padahal, sejatinya tidak ada negara yang mampu menangani dampak perubahan iklim sendirian.
Catatan:
1Pecinta nusa dan bangsa sendiri atau seseorang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya (KBBI, 2020a)
2Kelompok yang mempertahankan keadaan, kebiasaan, atau tradisi yang sudah berlaku (KBBI, 2020b)
3Kelompok yang menjunjung tinggi kebebasan individu sebagai nilai utama dalam politik (Boaz, 1997).
Referensi
Arti kata nasionalis—Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. (n.d.). Retrieved September 13, 2020a, from https://kbbi.web.id/nasionalis
Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for 21 Century. Jonathan Cape.
Discussion about this post