oleh: Rachmi Nafissa
Hari itu cerah sekali, namun birunya langit tidak sekalipun nampak di mata, hanya ada awan hitam yang pekat akibat polusi dari kendaraan yang berlalu lalang. Semua orang tahu, dunia tidak pernah sepi, hiruk pikuk tidak pernah menepi meskipun siang sudah digantikan malam. Bumi tidak diberi istirahat untuk sekedar bernafas, bahkan ada beberapa isinya yang juga tidak punya waktu hanya untuk sekedar bernafas. Manusia terlihat begitu tergesa-gesa, mengejar dan terus mengejar.
Ditengah cerahnya hari, bumi mengajak langit untuk berbicara. Sekedar megeluarkan keluh kesah yang dirasa. Kala itu, ditemani udara yang masih asyik menjalankan tugasnya, Bumi menampakkan isinya pada Langit, membuat Langit mengernyit.
“Jadi ini alasan penghunimu tidak pernah melihat sosok asliku?” Tanya Langit. Bumi mengangguk, tersenyum masam. Pandangannya lurus pada manusia-manusia yang tak memikirkan perasaannya. “Pasti rasanya sesak sekali, ya?”
Bumi sekali lagi mengangguk, “Aku lelah, Langit. Setiap hari, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuk mereka, menyajikan birunya dirimu, menyajikan segarnya udara, menyajikan banyaknya sumber daya. Namun, mereka hanya memikirkan tentang dirinya sendiri. Melupakan kita yang juga perlu istirahat, melupakan saudara-saudaranya yang juga memerlukan.”
“Mereka memang serakah seperti itu, ya?”
Bumi terdiam, ia menarik nafasnya berat. Kemudian melanjutkan cerita. “Tidak semua, tapi sebagian. Namun sebagian ini serakah sekali,” gumam Bumi. “Setiap hari aku mengadu pada Tuhan, semoga aku diberi waktu untuk memiliki rehat, semoga mereka diberi kesadaran untuk sekedar istirahat, mereka terlalu terburu-buru.”
Langit menatap Bumi yang tatapannya kosong sekali, ia memperhatikan setiap lekuk fisik bumi. Ada beberapa lubang besar disana, disisi lain juga ada beberapa bangkai pohon yang tidak lagi hijau warnanya. Bumi terlalu sakit.
***
Sudah satu bulan seusai bincang Bumi yang mengeluarkan keluhnya dengan Langit. Hari ini mereka kembali bertemu dan duduk bersama. Ditemani Udara yang tidak bosan-bosannya dengan tugasnya. Kali ini Bumi tidak lagi dipenuhi kabut hitam bekas polusi, tidak lagi terlihat manusia-manusia yang sibuk dengan hiruk-pikuk kota. Dunia begitu lengang dan tenang. Langit menatap bumi dengan heran.
“Ada apa?”
“Sepertinya Tuhan mengirimku seorang teman untuk menyadarkan manusia,” gumam Bumi. Namun ekspresinya tidak bisa ditebak sama sekali. “Ada virus yang membuat manusia diwajibkan untuk beristirahat di rumah mereka masing-masing, mengurangi kerumunan. Virus itu secara tersirat menyuruhku untuk beristirahat dan juga memberi rehat pada manusia.”
“Kenapa terlihat sedih?”
Bumi menatap dirinya sendiri, “Aku senang sekali bisa beristirahat. Namun ada beberapa manusia yang tidak diizinkan keadaan untuk beristirahat, mereka tetap harus bekerja, meskipun ada virus disana, karena mereka punya keluarga. Aku harus bagaimana?” Bumi terisak pelan, membuat Langit mengusap punggungnya. Udara yang sedari tadi berlalu lalang berhenti sebentar, memeluk Bumi yang masih tenggelam dalam tangisnya.
“Tidak apa-apa, Bumi. Mereka tidak sendirian, aku percaya manusia-manusia itu pasti akan memanusiakan manusia yang lain, mereka punya hati nurani dan tidak akan membiarkan saudara-saudara mereka kelaparan, masih banyak orang baik yang menghunimu. Biarkan hal itu menjadi wadah untuk mereka lebih peduli pada saudaranya, agar mereka menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang mereka saja,” Langit berujar pelan menenangkan Bumi. “Selain itu, biarkan teman barumu menyadarkan manusia bahwa dunia akan sangat indah jikalau mereka bisa menjaganya. Tidak apa-apa jikalau ingin mengejar mimpi, namun juga mereka harus memikirkan bagaimana perasaan Bumi. Biarkan momen ini menjadi ajang agar manusia bisa menikmati birunya diriku, segarnya Udara, biarkan mereka menyadari bahwa mereka perlu rehat, menarik nafas, juga menyadari bahwa Bumi juga perlu rehat sebentar. Jangan khawatirkan mereka, biarkan mereka lebih mempercayai Tuhan, menggantungkan hari esok yang kita juga tidak tahu bagaimana bentuknya. Ada beberapa hal yang diluar kuasa kita, Bumi.”
Bumi mengangkat kepalanya, menatap Langit lama, lalu menatap Udara yang memeluknya. Ia tersenyum. “Semoga manusia sadar dan bisa menikmati rehatnya, ya?”
“Mereka pasti akan sadar, percaya pada mereka, pasti bisa melewati semuanya,” jawab Udara, kali ini Langit turut memeluk mereka berdua.
“Sekarang kita juga memiliki tugas, rehat sejenak dan kembali menyajikan yang terbaik untuk manusia, agar mereka terhibur dengan cerahnya kita meskipun tetap dirumah saja,” Langit meyakinkan mereka. Bumi ingin berucap sebelum dipotong kembali oleh Langit. “Tenang saja, Bumi. Manusia pasti bisa melewati semuanya. Yakin saja dengan mereka.”
Bumi, Langit dan Udara saling memeluk dan mengeluarkan air mata. Mereka mendapatkan rehatnya dan tetap mendoakan yang terbaik untuk manusia. Tidak apa-apa, mereka hanya butuh rehat, juga memberi rehat pada manusia. Terkadang, kita memang hanya perlu jeda, sebelum masuk ke babak selanjutnya. Tidak apa-apa, mereka percaya pada manusia. Tinggal manusia yang mengeratkan genggamannya untuk sadar dan melewati ini semua.
Discussion about this post