Yogyakarta Youth Strategic Forum (YYSF) kali ini (16/11) pada tahun ketiganya mengangkat isu spesifik “Membangun Citra dan Kapabilitas Sebagai Poros Maritim Dunia”. Forum ini bertujuan untuk menemukan solusi terbaik bagi isu maritim dan kelautan Indonesia. Melimpahnya kekayaan alam lautan Indonesia yang pengelolaanya belum optimal nyatanya menimbulkan banyak permasalahan. Mulai dari rentannya kekayaan alam Indonesia yang diambil secara ilegal oleh bangsa asing, tidak meratanya distribusi pelabuhan, hingga penimbunan sampah sebanyak 9 juta ton setiap tahunnya di laut nusantara kita.
Forum ini diawali dengan pembahasan komprehensif oleh I Made Andi Arsana selaku pakar ahli batas maritim Republik Indonesia mengenai perkembangan luas wilayah lautan Indonesia. Pada mulanya, Indonesia melakukan perjuangan diplomasi melalui Deklarasi Djuanda 1957. Perjuangan ini terus dilanjutkan hingga kedaulatan maritim indonesia diakui secara internasional pada tahun 1982 melalui penetapan UNCLOS. Sayangnya, implementasi dari UNCLOS belum sepenuhnya menyelesaikan masalah sengketa laut. Celah yang terjadi ialah tumpang tindih aturan batas laut antara Indonesia dengan setidaknya 10 negara tetangga. Celah ini berdampak pada negara yang bersangkutan untuk merundingkan batas maritim yang sesuai. Sayangnya, sebagian besar perundingan belum semuanya tuntas terselesaikan dan masih mengalami perdebatan. Oleh karena itu, berbagai tools berbasis industrial revolution 4.0 seperti big data analytics, internet of things dan artificial intelligent dianjurkan untuk digunakan dalam pengamanan maritim Indonesia. Selain itu, ia menekankan bahwa generasi muda perlu meningkatkan kemampuan diplomasi yang diimbangi dengan intelektual agar mampu mempertahankan kedaulatan maritim Indonesia tanpa harus bertumpah darah.

Sudah sejak dahulu, Indonesia selalu dielu-elukan sebagai poros maritim dunia karena letaknya yang strategis. Namun, berbeda pendapat dengan Faisal Bahri, ia menyatakan pemberian label ini tidak terlalu penting. Kesan ini malah menjadikan masyarakat tidak menaruh perhatian khusus dan acuh terhadap lautan. Padahal seperti yang kita ketahui, dua pertiga wilayah Indonesia didominasi oleh lautan, tetapi usaha optimalisasi yang dilakukan ternyata belum maksimal karena orientasi pemerintah cenderung pada daratan saja. Sementara itu, data menunjukkan nilai ekspor ikan merupakan sumbangsih surplus PDB (Produk Domestik Bruto) terbesar jika dibandingkan dengan sektor pertanian maupun perkebunan yang cenderung menurun. Orientasi daratan yang lazim kita lakukan saat ini membuat negara harus menggunakan jasa kapal kargo asing dengan ongkos yang cukup tinggi secara rutin. Untuk menanggulangi masalah ini pemerintah dapat mengupayakan perbaikan infrastruktur pelabuhan, pengadaan kapal-kapal besar, serta menjalankan fungsi pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan transportasi dan pemanfaatan laut.
Masalah maritim tidak hanya mengenai pertahanan dan infrastrukturnya saja, melainkan juga tentang isu pencemaran lingkungannya. Mengingat kondisi Indonesia sebagai penyumbang sampah terbesar kedua di dunia mendorong para relawan pencinta lingkungan terjun langsung ke lapangan untuk membasmi permasalahan ini. Salah satunya yakni Swietenia Puspa Lestari, pendiri dan Direktur Eksekutif dari Divers Cleans Action, mengungkapkan keresahannya pada persebaran sampah yang terus meningkat di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan sistem pengolahan sampah daur ulang yang belum matang di Indonesia. Pusat daur ulang yang memadai hanya ada di tanah Jawa sedangkan sampah terus menyebar di seluruh penjuru pulau nusantara. Oleh karena itu, permasalahan sampah tidak kunjung usai karena transportasi ke Pulau Jawa memakan ongkos yang tinggi. Sesungguhnya kontribusi pemerintah telah diwujudkan melalui pengesahan peraturan pengelolaan sampah, tetapi komitmen pemerintah mengenai isu sampah perlu ditingkatkan lagi supaya rencana aksi untuk mengurangi 75% sampah yang lari ke lautan hingga tahun 2025 dapat tercapai. Selain itu, ia juga berharap agar generasi muda mampu berkolaborasi melalui passionnya masing-masing untuk mengurangi peredaran sampah dari berbagai sektor kehidupan. “Butuh banyak lintas ilmu, kalau niatnya tulus dan murni banyak keuntungan yang bisa kita dapatkan di kemudian hari,” tuturnya sambil meyakinkan partisipan.
Putri Putu, Rossa Ratri/EQ
Discussion about this post