Hilang timbulnya suara masyarakat untuk berpendapat menandakan Indonesia masih menjadi negara yang belum memerdekakan aspirasi rakyatnya. Adanya media sosial sebagai wadah baru untuk menyuarakan pendapat justru menimbulkan lebih banyak lagi korban yang dipidana berlandaskan pasal karet, pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hal ini menjadi salah satu alasan kebebasan berpendapat di Indonesia stagnan, tidak tumbuh. Sejak 2017, Indonesia tidak beranjak dari posisi 124 dalam indeks kebebasan pers sedunia.
Suara rakyat masih diredam dengan alasan ketentraman masyarakat, menilai bahwa yang disampaikan dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Padahal, kebebasan berbicara dan ujaran kebencian tidak tinggal dalam satu rumah yang sama. Berbeda dengan kebebasan berbicara yang dilindungi oleh hukum di Indonesia, ujaran kebencian biasa dilakukan untuk menyerang seseorang melalui privasi, hak, dan identitas atau sesuatu yang bersifat kodrati dari orang tersebut. Hal ini disampaikan oleh Iradat Wirid, Research Assistant Digital Intelligence Lab Center of Digital Society, dalam Diskusi Publik BPPM Psikomedia (4/5) dengan tema “Membatasi antara Kebebasan Berbicara dengan Ujaran Kebencian (Hate Speech)”.
Vincent Ricardo, seorang youtuber dan content creator yang juga merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, telah beberapa kali mengangkat diskusi tentang kebebasan berbicara dalam kontennya. Parrhesia atau yang lebih dikenal dengan free speech, didefinisikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain dan tidak terikat oleh peraturan. Peraturan yang ditegakkan sejatinya ada untuk melindungi, bukan membatasi.
Ia mengemukakan bahwa di Indonesia, ujaran kebencian memiliki definisi yang sangat tidak jelas. Selain itu, untuk menjatuhkan hukuman atas ujaran kebencian, harus dilandasi dengan definisi yang tidak multitafsir. Menurut kerangka hukum internasional, ujaran kebencian tidak hanya sebatas rasa ofensif. “Seluruh yang dipikirkan, tidak bisa dipidanakan,” Vincent Ricardo menambahkan. Di Amerika Serikat, untuk mempidanakan seseorang atas dasar ujaran kebencian harus disertai bukti yang material. Membungkam suara masyarakat nyatanya tidak dapat menyelesaikan perkara. Hal itu justru menimbulkan kesangsian masyarakat terhadap pemerintah. Ujaran kebencian sebaiknya diatasi dengan mengganti ujaran-ujaran tersebut dengan pernyatan dan ide positif yang lebih baik.
(Vika Amanda / Biro Hubungan Masyarakat & Alumni, EQ)
Discussion about this post