Sejak akhir 2015, kasus pembelian lahan bermasalah Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai mencuat ke publik. Dugaan adanya tindak korupsi mencuat dalam pembelian lahan ini. Dugaan tersebut timbul dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2014. BPK menganggap bahwa prosedur pembelian lahan RS Sumber Waras menyalahi aturan. BPK juga menilai, lahan yang dibeli jauh lebih mahal, dan menimbulkan kerugian keuangan daerah hingga Rp 191 miliar.
Permasalahan dalam kasus ini bersumber dari perbedaan alamat RS Sumber Waras. Menurut Pemprov DKI Jakarta, RS Sumber Waras berada di Jalan Kyai Tapa yang memiliki NJOP Rp 20,7 juta per meter persegi. Namun, BPK juga memiliki data bahwa lahan tersebut berada di Jalan Tomang Utara yang memiliki NJOP Rp 7 juta per meter persegi. Atas perbedaan ini, BPK menilai bahwa pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta telah menimbulkan kerugian negara.
Pro dan kontra bermunculan dalam masyarakat. Dukungan kepada Pemprov DKI Jakarta mengalir dari berbagai kalangan. Banyak pihak yang bertanya-tanya mengenai hasil audit investigatif BPK DKI Jakarta. Pasalnya, menurut BPK, terdapat penyimpangan terkait dengan proses perencanaan, penganggaran, penyusunan tim pembelian tanah, penetapan lokasi, pembentukan harga, dan penyerahan hasil pengadaan tanah dalam kasus ini. Namun, hingga saat ini, KPK belum juga menaikkan status penyelidikan ke penyidikan dan belum menetapkan tersangka dengan alasan belum menemukan bukti dan niat korupsi meskipun telah mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Independensi bagi seorang auditor merupakan etika yang harus dijaga dalam melakukan audit terhadap auditee (badan yang diaudit). Indepence in mind dan independence in appearance menjadi hal yang penting untuk mempertahankan kehandalan opini auditor. Begitu pula bagi pemeriksa BPK. Dalam Peraturan BPK RI No. 1 tahun 2007 mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, disebutkan bahwa tanggung jawab pemeriksa diantaranya, pemeriksa harus obyektif dan bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Pemeriksa juga bertanggung jawab untuk mempertahankan independensi dalam sikap mental (independent in fact) dan independensi dalam penampilan perilaku (independent in appearance) pada saat melaksanakan pemeriksaan.
Namun, dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras ini, terdapat faktor-faktor yang ditengarai dapat mempengaruhi independensi pemeriksa. Diberitakan bahwa Kepala BPK Jakarta, Efnidal, telah mencoba melakukan barter hasil audit RS Sumber Waras dan indikasi korupsi dalam pembelian lahan RS Sumber Waras dengan tanah miliknya untuk dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta. Sejak masih menjabat sebagai Kepala BPK Banten pada 2008, Efnidal telah menyurati Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta sebanyak 6 kali untuk menawarkan tanah yang dimilikinya. Namun, tawaran itu selalu ditolak oleh Pemprov DKI Jakarta.
Kemudian, pernyataan Ketua BPK, Harry Azhar Azis, yang mempertanyakan penggunaan cek dalam pembayaran transaksi pembelian lahan RS Sumber Waras pun telah terbantahkan. Ia menyebut lembaran cek sebesar Rp 700 miliar yang digunakan untuk pembayaran lahan RS Sumber Waras tidaklah lazim karena biasanya jumlah cek hanya sebesar Rp 20-50 juta. Namun, tudingan ini dimentahkan oleh keterangan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, Sekretaris Dinas Kesehatan Een Heryani, dan Bendahara Dinas Kesehatan DKI Taripar Panjaitan. Mereka menyebutkan bahwa sebelum pembelian lahan RS Sumber Waras, Dinas Kesehatan DKI telah beberapa kali menggunakan cek tunai untuk pindah buku. Sebab, Pemprov DKI Jakarta sudah menerapkan kebijakan pelarangan tarik tunai melalui rekening kas kecil sejak tahun 2014. Sehingga pembayaran lahan RS Sumber Waras tidak mungkin dilakukan dengan transaksi tunai. Menurut keterangan Een dan Taripar, tidak ada aturan pembatasan jumlah cek dan tidak ada Peraturan Gubernur terkait pembatasan nilai cek.
Hal-hal di atas telah mempengaruhi independensi dalam penampilan dan perilaku BPK terkait audit pembelian lahan RS Sumber Waras ini. Ditambah lagi dengan tercatutnya nama Ketua BPK dalam Panama Papers semakin membuat persepsi negatif masyarakat terhadap independensi BPK dan hasil audit BPK DKI Jakarta yang kini menjadi perkara.
Diolah dari: Kompas dan Tempo
(Ismah Zainunnisa Santika/EQ)