Eksistensi suatu negara selalu berdampingan dengan bentuk pemerintahan yang mengatur interaksi antara unsur-unsur yang ada di dalamnya, yakni masyarakat dan pemerintah yang berdaulat. Salah satu bentuk pemerintahan yang populer untuk diadopsi oleh berbagai negara di dunia yakni demokrasi. Berbicara lebih lanjut tentang demokrasi, sistem ini telah dihidupi oleh ratusan negara dengan berbagai macam “kiblat” ideologinya masing-masing. Dari zaman ke zaman, arti dan bobot demokrasi mungkin pula berbeda. Kendati demikian, hakikat fundamental yang terkandung dalam rahim demokrasi tetaplah sama, yakni persamaan dan kesetaraan hak dan kewajiban semua warga negara untuk menjatuhkan pilihan dan keputusan yang menentukan jalan hidup negara. Secara praktis, pemerintah, selaku penerima amanat dan aspirasi rakyat, menjalankan gerak roda pemerintahan. Sementara itu, rakyat berperan untuk mengontrol dan mengawasi agar misi mereka yang dibawa oleh pemerintah tetap terjaga arahnya.
Konsep demokrasi tidak hanya terpaut pada sistem politik negara, tetapi juga menyentuh ranah lainnya, tak terkecuali bidang ekonomi. Dalam sebutannya sebagai demokrasi ekonomi, sistem ini mendamba jalannya fungsi perekonomian yang melahirkan kemakmuran secara adil dan merata bagi rakyat banyak. Terdapat 3 nilai inti dari demokrasi ekonomi yakni kontrol produksi oleh pekerja, kontrol terhadap investasi, dan interaksi antar organisasi ekonomi dan konsumen yang terlepas dari pengendalian harga oleh pemerintah (Schweickart 1992). Namun, narasi ini bisa jadi tak berjalan mulus dalam implementasinya di kehidupan bernegara oleh karena adanya sistem ekonomi kapitalisme.
Kelahiran sistem kapitalisme dapat dirunut apabila kita menilik kembali sejarah di masa lampau, yakni di kehidupan feodal. Di era ini, formasi sosial-ekonomi masyarakat terdiri atas para tuan tanah yang menguasai lahan dan kaum papa yang tidak memiliki tanah. Ketika era ini berangsur-angsur runtuh, para tuan tanah tetap ingin mempertahankan struktur sosial di mana dirinya masih dapat berkuasa di masyarakat. Cara yang ditempuh ialah masuk ke jalur politik dan menjadikan sistem pemerintahan sebagai sarana guna menciptakan kebijakan yang mempermudah sirkulasi komoditas ekonomi. Sehingga, arah gerak pemerintahan telah ditunggangi oleh kepentingan sosial-ekonomi tuan tanah. Selain pemerintah, para tuan tanah juga memanfaatkan dan menyetir media untuk hanya menyebarluaskan informasi tertentu saja, bukan informasi yang sebenarnya (Habermas 1993). Narasi inilah yang dapat menjelaskan mengapa sistem kapitalisme pada saat itu menguasai gerak pemerintah.
Dominasi kuasa konglomerasi dalam sistem kapitalisme akan menggiring praktik ekonomi untuk menguntungkan golongan-golongan tertentu dengan kepentingan spesifik. Perencanaan keputusan dan praktiknya pun akan terarah dan terbatas kepada pemuasan hasrat dan cita-cita golongan tersebut. Upaya konglomerasi digencarkan dalam mengakumulasi kapital dan melipatgandakan kekayaan melalui kepemilikan alat produksi (pabrik, mesin, dan tanah) secara pribadi (private ownership). Tujuan produksi hanyalah bermuara pada keuntungan semata.
Penyebab sistem kapitalisme dapat ditemukan saat kita merujuk kepada naluri dasar manusia yang serakah dalam memiliki harta. Naluri inilah yang mendorong manusia (dalam hal ini pemberi kerja) untuk memperalat manusia lain (dalam hal ini pekerja) demi memuaskan kepentingannya sendiri. Situasi semacam ini membentuk kesenjangan atas berlangsungnya produksi, yakni pekerja yang terlibat langsung atas proses produksi dan pemberi kerja atau pemilik modal, dimana pekerja masih diperlakukan sebagai manusia yang lebih rendah dari pemberi kerja. Pemilik modal ini memiliki posisi istimewa atas hartanya yang bergelimang dan oleh karena itu mereka tidak perlu bekerja dan berkontribusi langsung dalam proses produksi.
Kutukan terhadap sistem kapitalisme ditegaskan oleh pemikiran Karl Marx, salah satu filsuf, sosiolog, dan ahli ekonomi terkemuka abad ke-19, bahwa manusia bernilai pada dirinya sendiri dan bahwa tidak wajar kalau manusia diperalat atau memperalat diri demi kepentingan produksi, uang, bahkan demi keberlangsungan hidupnya sendiri. Kepahitan kapitalisme telah melahirkan klasifikasi kelas sosial dalam corak kehidupan masyarakat. “Kelas sosial” dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi (Suseno 2017). Marx melihat bahwa masyarakat terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas-kelas yang berkuasa (kelas atas) dan kelas-kelas yang dikuasai (kelas bawah). Lebih spesifik, kelas yang berkuasa ialah kaum pemilik modal atau kaum pemberi kerja (hidup dari laba) dan kaum buruh (hidup dari upah). Kaum buruh ini mendedikasikan dan menjual tenaga dan keterampilan mereka kepada kaum pemilik modal, sehingga kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan milik para pemilik modal.
Hingga saat ini, sistem kapitalisme masih tetap bernyawa dalam sistem perekonomian dunia. Prof. Dr. Thoby Mutis dalam bukunya bertajuk Cakrawala Demokrasi Ekonomi merangkum tiga faktor yang menguatkan eksistensi kapitalisme ini. Pertama, kemajuan teknologi yang menyebabkan pihak dengan keunggulan teknologi memposisikan diri sebagai pihak yang istimewa dan melemahkan pelaku ekonomi tradisional. Kedua, keuntungan ekonomis karena mengusahakan secara besar-besaran pada beberapa cabang perusahaan (economics of large scale). Rantai jaringan raksasa perusahaan dunia tentu mengalahkan pemain lokal yang tengah merintis usahanya. Terakhir, nafsu buas untuk melakukan ekspansi usaha secara berlebihan. Rasa-rasanya, mereka tidak akan puas bila belum “memangsa” pemain kelas teri (Mutis 2002).
Untuk dapat beranjak dari kemelut kapitalisme, negara penganut sistem demokrasi selayaknya terus berupaya untuk mencipta kehidupan sistem demokrasi ekonomi secara ideal. Hal ini dilakukan juga supaya pekerja dapat memperoleh haknya secara utuh dan tidak terjebak dalam perlakuan semena-mena dari para pemberi kerja. Dalam teori kelas Marx, dikatakan bahwa segi struktural ekonomi memegang peran yang lebih besar dibanding kesadaran dan moralitas. Selama sistem ekonomi dilangsungkan berdasarkan monopoli hak dan kekuasaan pemilik atas proses produksi, pertentangan kedua kelas tidak akan berakhir. Propaganda vokal untuk mengangkat kepentingan umum dan menyelesaikan konflik bagi kedua belah pihak dirasa tidak akan mempan untuk mengakhiri konflik yang ada, selain dilakukan perubahan struktur kekuasaan ekonomis (Suseno 2017).
Inti dari filosofi sistem demokrasi ekonomi adalah kekuatan pengambilan keputusan yang berada di tangan public shareholder, termasuk juga di dalamnya adalah pekerja, pemasok, dan masyarakat luas. Lebih dalam lagi, demokrasi ekonomi menekankan kontrol produksi dan masyarakat di tangan pekerja. Konsep demokrasi ekonomi ini lahir dari buah paham sosialisme sebagai antitesa kapitalisme. Sosialisme memberikan anjuran pelaksanaan demokrasi partisipatoris dan sosialisme ekonomi dalam bentuk koperasi dan masyarakat tolong menolong. Merujuk pada hal ini, kepemilikan alat-alat produksi tidak lagi terkonsentrasi pada segelintir masyarakat, tetapi dimiliki oleh rakyat.
Beberapa landasan filosofis hadir mengilhami paham sosialisme, yakni bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri (cooperation), semua produk pada dasarnya merupakan produk sosial dan oleh karena itu setiap orang layak memperoleh manfaat yang sama (social product), dan masyarakat mengendalikan properti untuk keuntungan bersama (control property). Pemerintah dalam hal ini dapat berupaya secara aktif untuk meredakan dorongan pihak tertentu dalam meraup keuntungan tak berkesudahan. Keberpihakan terhadap kepentingan umum masyarakat yang terlibat langsung dalam proses produksi menjadi titik berat yang utama, terlebih apabila pekerja tersebut berada di garis kemiskinan. Sudah selayaknya bila segala unit bisnis dalam negara harus bernilai untuk mengembangkan kekuatan ekonomi kelompok lemah dan meningkatkan taraf ekonomi. Dengan demikian, kiranya segala bentuk pemerasan oleh konglomerasi harus ditiadakan. Sehingga masyarakat umum dari semua lapisan mendapatkan kebermanfaatan secara adil melalui kegiatan usaha yang dilakukannya sebagai wujud ideal dari demokrasi ekonomi.
Referensi:
Baswir, Revrisond. Ekonomika, Manusia dan Etika. Yogyakarta: BPFE, 1993.
Habermas, Jurgen. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: The MIT Press, 1993.
Mutis, Prof Dr Thoby. Cakrawala Demokrasi Ekonomi. Jakarta: LP Kukmus-Usakti, 2002.
Schweickart, David. Economic Democracy: A Worthy Socialism That Would Really Work, 1992.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.
(Cyrilla Wikan/EQ)
Discussion about this post