Kata “pribumi” kembali menjadi bola panas yang bergulir di tengah masyarakat setelah menjadi materi pidato oleh Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan. “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.” kata Anies Baswedan dalam pidatonya. Munculnya kata “pribumi” oleh Anies dalam pidato perdananya sebagai gubernur DKI Jakarta seolah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Gagasan untuk merekonsiliasi warga Jakarta setelah pilkada seolah menjadi angin lalu dengan pernyataannya yang justru kian mempolarisasi warga ibu kota.
Sejak berdirinya, nusantara tidak dihuni oleh hanya satu suku asli. Maka dengan demikian, tidak ada satu pun suku di Indonesia yang berhak mengatakan bahwa merekalah satu-satunya suku asli Indonesia, baik itu suku Minang, Bugis, Batak, atau Jawa sekali pun. Kalaupun ada konsep pribumi, kata itu bukan merujuk pada satu suku di Indonesia. Pribumi adalah citra yang ditanamkan di era kolonialisme yang menggunakan politik adu domba sebagai senjata utamanya. Berdasarkan Undang-Undang Kolonial Belanda tahun 1854, penduduk Indonesia dibagi ke dalam tiga kasta. Ras kelas pertama golongan Eropa, bangsa kulit putih. Ras kedua adalah golongan timur asing yang meliputi Tionghoa, Arab dan India. Ras ketiga, kasta terbawah, adalah inlander yang diterjemahkan sebagai “pribumi”.
Pembagian kasta pada era kolonial Belanda menjadi cikal bakal kemunculan istilah “pribumi”. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan istilah pribumi kian tergerus dengan penggunaan kata “Indonesia”. Pribumi dianggap sebagai kata yang merendahkan, berbeda dengan Indonesia yang sarat akan makna persatuan dan perjuangan. “Indonesia” lalu digunakan sebagai kata yang mampu mempersatukan bangsa demi merebut kemerdekaan yang kemudian dicerminkan dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928.
Segregasi hukum di era penjajahan Belanda tersebut terus berlanjut pada masa awal kemerdekaan, terutama dalam aturan hukum terkait kewarganegaraan. Selain Pasal 6 Ayat 1, Pasal 26 UUD 1945 juga membunyikan frasa “Indonesia asli” sebagai syarat menjadi WNI. Terkait hukum kewarganegaraan ini, makna kata “nonpribumi” di Indonesia menjadi lebih mengarah kepada saudara-saudara kita dengan etnis Tionghoa. Identiknya Republik Rakyat China dengan Partai Komunis menyebabkan berbagai kebijakan hukum kewarganegaraan pemerintahan orde lama dan orde baru mengerucut kepada perbedaan perlakuan bagi etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pada era tersebut terus diperlakukan seolah-olah sebagai sebuah ancaman bagi stabilitas ekonomi dan politik Indonesia.
Kebijakan diskriminatif tersebut mulai dihilangkan di era reformasi. Sedari awal pemerintahannya, Presiden BJ Habibie sudah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 yang tidak hanya melarang penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga memerintahkan untuk dihapuskannya diskriminasi berdasarkan suku, agama, dan ras dalam setiap pelayanan publik. Abdurrahman Wahid yang bertindak sebagai presiden keempat kemudian hadir dengan gebrakan nondiskriminatif lainnya. Ia menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Keppres Nomor 14 Tahun 1967 terkait larangan pelaksanaan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China. Selain itu, pada perubahan UUD 1945, kata “Indonesia asli” tidak lagi ada dalam syarat presiden ataupun aturan kewarganegaraan. Oleh karena itu, seseorang yang sejak lahir berstatus WNI, seperti halnya Anies Baswedan yang keturunan Arab ataupun Basuki Tjahaja Purnama yang berdarah Tionghoa, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi presiden Indonesia.
Demikianlah, makna kata “pribumi” yang mengacu pada kata inlander adalah sebuah rekayasa sosial yang dibentuk oleh kolonial Belanda untuk memecah belah kita. Makna kata ini selanjutnya harus mampu dimaknai lebih dalam dari sekadar sudut pandang keturunannya saja, karena kita semua tidak memiliki hak untuk mengatakan bahwa kita adalah orang yang paling asli Indonesia. “Pribumi” harus mampu dimaknai lebih mendalam menjadi semua WNI yang lahir dan mau membaktikan dirinya demi kemajuan Indonesia. Sudah terlampau banyak saudara kita yang menjadi korban karena maraknya penggunaan kata ini. Masih jelas di benak kita mengenai predikat pribumi dan nonpribumi menjadi penentu hidup atau mati seseorang di tahun 1998 silam.
Sudah saatnya juga kita berhenti untuk mengapitalisasi isu diskriminatif, komunis, dan agama sebagai pelumas perebutan tahta politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres). Kemenangan politik adalah kemenangan rakyat demi kemakmuran bersama, bukan demi kemakmuran segelintir orang saja. Penggunaan isu-isu diskriminatif hanya akan mengembalikan kita ke era kolonialisme, era yang mengotak-kotakkan seseorang dalam golongan tertentu.
Bangsa Indonesia memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan yang menjadikan keberagaman menjadi hidup. Semboyan yang akan lebih bermakna apabila diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah tidak perlu lagi ada istilah pribumi dan nonpribumi untuk memetakan seseorang dalam golongan. Istilah yang ada, “bangsa Indonesia”.
Sudah saatnya kita lepas dari belenggu isu diskriminatif tersebut. Sudah saatnya kita menjadi lebih dewasa dalam menyikapi istilah-istilah rasial tersebut. Saya percaya bahwa Indonesia adalah milik kita semua, milik semua orang yang cinta kepadanya dan milik semua orang yang rela membaktikan hidupnya demi Indonesia. Saya percaya bahwa “Bhineka Tunggal Ika” adalah nafas hidup kita dan hanya dengan menghargai keberagamanlah kita bisa merdeka dari apapun yang membelenggu kita. Sekarang, sudah saatnya saya dan anda berpegangan tangan dan dengan gegap gempita mengatakan : “Saya Indonesia!”.
Sumber gambar: merdeka.com
(Togu Pandiangan/EQ)
Discussion about this post