“Suatu zaman besar telah datang, namun aku melihat bangsa yang kerdil” —Friedrich Schiller
Mengenyam ilmu adalah suatu hak asasi manusia. Siapapun dengan status sosio-ekonomi apapun berhak dalam menuntut ilmu. Sudahlah, zaman kolonial sudah berlalu. Tak ada lagi istilah malas dalam berilmu. Lagipula, berdasarkan studi-studi yang telah ada—khususnya dalam ekonomika tenaga kerja—pendidikan secara empiris terbukti signifikan meningkatkan rata-rata pendapatan seseorang. Siapa pula yang tidak senang apabila memiliki pendapatan yang lebih tinggi? Memang pada dasarnya manusia sukar puas.
Terlebih lagi, sekarang zaman sudah edan. Kehidupan zaman Jokowi tidak sesulit zaman monarki. Pada zaman ini, hampir semua orang bisa beli gawai, tetapi menariknya mereka masih ngeluh-ngeluh untuk bayar BPJS. Ya, memang, teknologi sudah tak terelakkan lagi dalam menemani kisah kehidupan manusia. Namun nahasnya, perkembangan teknologi tidak sama cepatnya dengan perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia.
Oke, untuk lebih jelasnya, berikut sedikit gambaran mengenai pendidikan di Indonesia. Data paling mutakhir dari OECD—Organisasi Kooperasi dan Pembangunan Ekonomi—mengemukakan bahwa nilai PISA—parameter umum yang digunakan untuk mengukur atau membandingkan kualitas pendidikan antarnegara—Indonesia berada di peringkat 10 besar paling bawah dunia. Hal tersebut belum klimaks. Jika kita mau melihat secara kronologis, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia secara statistik tidak menunjukkan perbaikan nilai rata-rata PISA. Hal ini cukup mengejutkan, pasalnya, kita tahu bahwa sudah banyak upaya yang dilakukan oleh bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, seperti mengubah SIPENMARU menjadi UMPTN, lalu diubah lagi menjadi SPMB, hingga akhirnya sekarang berubah lagi menjadi SBMPTN. Sebuah terobosan yang sangat menonjol. Ya, mungkin itu hanya sebagian kecil dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas lagi kuantitas pendidikan di Indonesia. Meski buktinya peringkat PISA tidak berubah, tak apa lah, yang penting ada nama baru untuk tes masuk perguruan tinggi—ditutup dengan pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) yang diiringi agenda kesurupan masal. Seiring itu, peringkat PISA yang stagnan ditunjang dengan rendahnya daya saing pelajar Indonesia.
Berdasarkan data OECD yang diolah oleh The Economist, Indonesia memiliki rata-rata pencapaian akademis paling rendah di antara negara-negara pembandingnya. Grafik tersebut lebih detil menjelaskan bahwa lebih dari 40% pelajar usia 15 tahun memiliki pencapaian rendah hampir pada seluruh pelajaran pokok—matematika, pengetahuan umum, dan membaca. Hal ini tentu menjadi penting, mengingat persaingan global yang semakin ketat serta beratnya tantangan bonus demografi di depan mata. Ya, beginilah kondisi umum pendidikan di negeri kita tercinta, Indonesia.
Saya pikir fenomena tersebut menjadi pemicu bagi pemerintah untuk lebih bersemangat dalam menghidupkan pendidikan di Indonesia. Mengapa tidak? Nyatanya, baru-baru ini, sebuah wacana kebijakan terlontar dari mulut manis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Muhadjir Effendy. Singkat kata, kebijakan tersebut adalah mengurangi jam belajar—meniadakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada hari Sabtu—siswa-siswi Indonesia dengan alasan agar pelajar memiliki waktu lebih untuk bersenda-gurau serta belajar langsung dengan orang tuanya. Sebuah terobosan luhur yang memberikan sedikit ‘kebebasan’ kepada pelajar dari dinding-dinding sekolah—ya, ‘kebebasan’ karena memang desain sekolah-sekolah di Indonesia, menurut saya, lebih terlihat seperti bangunan tanpa celah daripada rumah kedua. Begitu masuk, kau tak akan bisa keluar hingga bel terakhir berkumandang. Akan tetapi, pengurangan waktu sekolah ternyata tidak serta-merta. Alih-alih pengurangan jam belajar secara komprehensif, ternyata jam belajar dikompensasi pada hari-hari weekday menjadi full-employment alias delapan jam per hari—dan berarti empat puluh jam per minggu. Adakah perihal yang aneh dari kebijakan tersebut? Oke, mungkin diantara Anda ada yang setuju dan ada yang tidak. Untuk itu, berikut sedikit pandangan perlunya pengkajian ulang kebijakan tersebut:
Pertama, pernahkah Anda melihat segerombolan anak-anak begitu bergermbira untuk bisa belajar di sekolah? Bukankah kebahagiaan mereka menjadi indikasi terciptanya hegemoni pembelajaran yang ‘hidup’? Bukankah kebahagiaan mereka belajar adalah kunci terciptanya rasa ingin tahu yang sejati? Lantas apakah pengaruh kebijakan terkait dengan kebahagiaan para pelajar Indonesia?
Mengacu studi alokasi yang dikemukakan oleh Becker (1965), dengan sedikit modifikasi, mari kita modelkan secara sederhana bahwa kepuasan pelajar dipengaruhi oleh dua hal, yakni kombinasi dari masa depan sang pelajar (direpresentasikan oleh return on education (roe)) dan waktu bersantai-santai (hours of leisure). Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut:
Ilustrasi di atas menunjukkan kombinasi ekspektasi return on education dan hours of leisure yang dimiliki pelajar apabila kebijakan jam belajar delapan jam per hari diberlakukan. Dalam ilustrasi tersebut, u adalah kepuasan pelajar yang dibentuk atas kombinasi roe dan waktu senggang: u = f(roe, leisure), yang mana L adalah waktu senggang dan r adalah return on education. Sedangkan g adalah batasan dari kombinasi yang bisa dialokasikan pelajar dari seluruh total waktunya (24 jam) serta kemungkinan roe yang dapat dihasilkan dengan alokasi waktu tertentu. Lebih spesifik, diterapkannya kebijakan sekolah lima hari, akan berdampak atas berputarnya konstrain alokasi waktu harian dari g1 ke g2 akibat waktu senggang harian yang berkurang. Dengan demikian, untuk mendapatkan return on education yang serupa, maka pelajar perlu mengurangi waktu senggangnya. Hal tersebut berimplikasi pada menurunnya utilitas atau kepuasan sang pelajar. Alhasil, rasa semangat belajar para pelajar pun berkurang karena turunnya kepuasan yang mereka dapatkan. Intinya, secara efisiensi, kebijakan ini memiliki potensi menurunkan semangat belajar harian pelajar—ceteris paribus.
Kedua, seorang penyiar radio pernah menyatakan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat belum bisa menerapkan waktu belajar delapan jam per hari lantaran banyak pelajar setempat yang masih harus membantu orang tuanya bekerja sepulang sekolah. Pernyataan tadi menjadi penting mengingat Indonesia adalah suatu negara kesatuan yang terdiri dari 17.000 pulau. Hal tersebut menyebabkan kondisi ketimpangan sulit dihindari karena memang distribusi ekonomi, penduduk, dan kualitas pendidikan belumlah merata. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakannya dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi-kondisi tiap daerah.
Kesimpulan
Pendidikan bukanlah isu kemarin sore. Sudah saatnya revolusi pendidikan diupayakan secara komprehensif demi terciptanya generasi bangsa yang lebih baik. Untuk itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan. Dalam kasus ini, terdapat dua isu yang menjadi kerisauan penulis terkait kebijakan waktu belajar lima hari yang dewasa ini diwacanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni terkait efisiensi dan kesetaraan. Secara efisiensi, kebijakan ini mengharuskan pelajar mengompensasi waktu belajarnya—yang seharusnya pada hari Sabtu—pada hari weekday. Secara ekonomi, hal tersebut dapat menurunkan kepuasan harian si pelajar. Untuk itu, waktu belajar seharusnya tidaklah harus dipadatkan. Seiring itu, isu kesetaraan juga terjadi pada kebijakan ini. Masih banyak pelajar yang harus membantu orang tuanya untuk mencari nafkah sepulang sekolah sehingga pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakannya agar lebih menyesuaikan kondisi daerah / pelajar tertentu.
(Ega Kurnia Yazid/EQ)
Sumber ilustrasi: www.harianterbit.com
Discussion about this post