27 °c
Yogyakarta
26 ° Sun
26 ° Mon
25 ° Tue
25 ° Wed
Saturday, February 27, 2021
  • Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontribusi
  • Pedoman Media Siber
  • Masthead
Warta EQ
  • Home
  • Warta
    Mengulik Drama Start-Up: Realita atau Naskah Belaka?

    Mengulik Drama Start-Up: Realita atau Naskah Belaka?

    Awali dengan Proteksi sebelum Berinvestasi

    Awali dengan Proteksi sebelum Berinvestasi

    Bekerja Saat Menjadi Mahasiswa, Buat Apa?

    Bekerja Saat Menjadi Mahasiswa, Buat Apa?

    Zoom Fatigue, Pernahkah Berada pada Fase Ini?

    Zoom Fatigue, Pernahkah Berada pada Fase Ini?

    Beramai-ramai Pindah ke Simaster

    Beramai-ramai Pindah ke Simaster

    Trending Tags

    • Pemilu
  • Berita
    • All
    • FEB
    • Jogja
    • Nasional
    • UGM
    Charity Concert GMCO 2020: Berbagi Kasih Melalui Karya

    Charity Concert GMCO 2020: Berbagi Kasih Melalui Karya

    FSDE 2020: Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi Melalui Fintech

    FSDE 2020: Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi Melalui Fintech

    Closing Ceremony Porsenigama 2020: Penutup Manis Keseruan Laga Pertandingan

    Closing Ceremony Porsenigama 2020: Penutup Manis Keseruan Laga Pertandingan

    Debat Capresma Jilid Dua: Siapakah yang Terbaik?

    Debat Capresma Jilid Dua: Siapakah yang Terbaik?

    Opening Ceremony Porsenigama 2020: Bersemangat Melampaui Segalanya

    Opening Ceremony Porsenigama 2020: Bersemangat Melampaui Segalanya

    Trending Tags

    • 2019
  • Ekspresi
    • All
    • FEB Menulis
    • Fokus
    • Sastra
    Bisa

    Bisa

    Patah Hati

    Patah Hati

    Puan

    Puan

    Pentingnya Perencanaan Keuangan akibat Uang Elektronik

    Pentingnya Perencanaan Keuangan akibat Uang Elektronik

    Pendidikan tanpa Filsafat

    Pendidikan tanpa Filsafat

    Trending Tags

  • Riset
    • All
    • Jelajah Pokok
    • Opini
    • Telusur Perkara
    Sandwich Generation: Antara Bakti dan Derita

    Sandwich Generation: Antara Bakti dan Derita

    Jalan Panjang Indonesia dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif

    Jalan Panjang Indonesia dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif

    Memilih Demokrasi

    Memilih Demokrasi

    Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta

    Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta

    Regulasi Kantong Plastik dalam Jerat Kompleksitas Perilaku

    Regulasi Kantong Plastik dalam Jerat Kompleksitas Perilaku

    Trending Tags

    • Produk Kami
      • EQ News
      • Majalah
      • Mini Research
    No Result
    View All Result
    Warta EQ
    • Home
    • Warta
      Mengulik Drama Start-Up: Realita atau Naskah Belaka?

      Mengulik Drama Start-Up: Realita atau Naskah Belaka?

      Awali dengan Proteksi sebelum Berinvestasi

      Awali dengan Proteksi sebelum Berinvestasi

      Bekerja Saat Menjadi Mahasiswa, Buat Apa?

      Bekerja Saat Menjadi Mahasiswa, Buat Apa?

      Zoom Fatigue, Pernahkah Berada pada Fase Ini?

      Zoom Fatigue, Pernahkah Berada pada Fase Ini?

      Beramai-ramai Pindah ke Simaster

      Beramai-ramai Pindah ke Simaster

      Trending Tags

      • Pemilu
    • Berita
      • All
      • FEB
      • Jogja
      • Nasional
      • UGM
      Charity Concert GMCO 2020: Berbagi Kasih Melalui Karya

      Charity Concert GMCO 2020: Berbagi Kasih Melalui Karya

      FSDE 2020: Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi Melalui Fintech

      FSDE 2020: Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi Melalui Fintech

      Closing Ceremony Porsenigama 2020: Penutup Manis Keseruan Laga Pertandingan

      Closing Ceremony Porsenigama 2020: Penutup Manis Keseruan Laga Pertandingan

      Debat Capresma Jilid Dua: Siapakah yang Terbaik?

      Debat Capresma Jilid Dua: Siapakah yang Terbaik?

      Opening Ceremony Porsenigama 2020: Bersemangat Melampaui Segalanya

      Opening Ceremony Porsenigama 2020: Bersemangat Melampaui Segalanya

      Trending Tags

      • 2019
    • Ekspresi
      • All
      • FEB Menulis
      • Fokus
      • Sastra
      Bisa

      Bisa

      Patah Hati

      Patah Hati

      Puan

      Puan

      Pentingnya Perencanaan Keuangan akibat Uang Elektronik

      Pentingnya Perencanaan Keuangan akibat Uang Elektronik

      Pendidikan tanpa Filsafat

      Pendidikan tanpa Filsafat

      Trending Tags

    • Riset
      • All
      • Jelajah Pokok
      • Opini
      • Telusur Perkara
      Sandwich Generation: Antara Bakti dan Derita

      Sandwich Generation: Antara Bakti dan Derita

      Jalan Panjang Indonesia dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif

      Jalan Panjang Indonesia dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif

      Memilih Demokrasi

      Memilih Demokrasi

      Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta

      Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta

      Regulasi Kantong Plastik dalam Jerat Kompleksitas Perilaku

      Regulasi Kantong Plastik dalam Jerat Kompleksitas Perilaku

      Trending Tags

      • Produk Kami
        • EQ News
        • Majalah
        • Mini Research
      No Result
      View All Result
      Warta EQ
      Home Riset Opini

      Kaji Ulang!

      Penelitian EQ by Penelitian EQ
      July 17, 2017
      in Opini
      0
      0
      SHARES
      32
      VIEWS
      Share on FacebookShare on Twitter
      ADVERTISEMENT
      ADVERTISEMENT

      “Suatu zaman besar telah datang, namun aku melihat bangsa yang kerdil” —Friedrich Schiller

      Mengenyam ilmu adalah suatu hak asasi manusia. Siapapun dengan status sosio-ekonomi apapun berhak dalam menuntut ilmu. Sudahlah, zaman kolonial sudah berlalu. Tak ada lagi istilah malas dalam berilmu. Lagipula, berdasarkan studi-studi yang telah ada—khususnya dalam ekonomika tenaga kerja—pendidikan secara empiris terbukti signifikan meningkatkan rata-rata pendapatan seseorang. Siapa pula yang tidak senang apabila memiliki pendapatan yang lebih tinggi? Memang pada dasarnya manusia sukar puas.

      Terlebih lagi, sekarang zaman sudah edan. Kehidupan zaman Jokowi tidak sesulit zaman monarki. Pada zaman ini, hampir semua orang bisa beli gawai, tetapi menariknya mereka masih ngeluh-ngeluh untuk bayar BPJS. Ya, memang, teknologi sudah tak terelakkan lagi dalam menemani kisah kehidupan manusia. Namun nahasnya, perkembangan teknologi tidak sama cepatnya dengan perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia.

      Oke, untuk lebih jelasnya, berikut sedikit gambaran mengenai pendidikan di Indonesia. Data paling mutakhir dari OECD—Organisasi Kooperasi dan Pembangunan Ekonomi—mengemukakan bahwa nilai PISA—parameter umum yang digunakan untuk mengukur atau membandingkan kualitas pendidikan antarnegara—Indonesia berada di peringkat 10 besar paling bawah dunia. Hal tersebut belum klimaks. Jika kita mau melihat secara kronologis, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia secara statistik tidak menunjukkan perbaikan nilai rata-rata PISA. Hal ini cukup mengejutkan, pasalnya, kita tahu bahwa sudah banyak upaya yang dilakukan oleh bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, seperti mengubah SIPENMARU menjadi UMPTN, lalu diubah lagi menjadi SPMB, hingga akhirnya sekarang berubah lagi menjadi SBMPTN. Sebuah terobosan yang sangat menonjol. Ya, mungkin itu hanya sebagian kecil dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas lagi kuantitas pendidikan di Indonesia. Meski buktinya peringkat PISA tidak berubah, tak apa lah, yang penting ada nama baru untuk tes masuk perguruan tinggi—ditutup dengan pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) yang diiringi agenda kesurupan masal. Seiring itu, peringkat PISA yang stagnan ditunjang dengan rendahnya daya saing pelajar Indonesia.

      kaji ulang 1

      Berdasarkan data OECD yang diolah oleh The Economist, Indonesia memiliki rata-rata pencapaian akademis paling rendah di antara negara-negara pembandingnya. Grafik tersebut lebih detil menjelaskan bahwa lebih dari 40% pelajar usia 15 tahun memiliki pencapaian rendah hampir pada seluruh pelajaran pokok—matematika, pengetahuan umum, dan membaca. Hal ini tentu menjadi penting, mengingat persaingan global yang semakin ketat serta beratnya tantangan bonus demografi di depan mata. Ya, beginilah kondisi umum pendidikan di negeri kita tercinta, Indonesia.

      Saya pikir fenomena tersebut menjadi pemicu bagi pemerintah untuk lebih bersemangat dalam menghidupkan pendidikan di Indonesia. Mengapa tidak? Nyatanya, baru-baru ini, sebuah wacana kebijakan terlontar dari mulut manis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Muhadjir Effendy. Singkat kata, kebijakan tersebut adalah mengurangi jam belajar—meniadakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada hari Sabtu—siswa-siswi Indonesia dengan alasan agar pelajar memiliki waktu lebih untuk bersenda-gurau serta belajar langsung dengan orang tuanya. Sebuah terobosan luhur yang memberikan sedikit ‘kebebasan’ kepada pelajar dari dinding-dinding sekolah—ya, ‘kebebasan’ karena memang desain sekolah-sekolah di Indonesia, menurut saya, lebih terlihat seperti bangunan tanpa celah daripada rumah kedua. Begitu masuk, kau tak akan bisa keluar hingga bel terakhir berkumandang. Akan tetapi, pengurangan waktu sekolah ternyata tidak serta-merta. Alih-alih pengurangan jam belajar secara komprehensif, ternyata jam belajar dikompensasi pada hari-hari weekday menjadi full-employment alias delapan jam per hari—dan berarti empat puluh jam per minggu. Adakah perihal yang aneh dari kebijakan tersebut? Oke, mungkin diantara Anda ada yang setuju dan ada yang tidak. Untuk itu, berikut sedikit pandangan perlunya pengkajian ulang kebijakan tersebut:

      Pertama, pernahkah Anda melihat segerombolan anak-anak begitu bergermbira untuk bisa belajar di sekolah? Bukankah kebahagiaan mereka menjadi indikasi terciptanya hegemoni pembelajaran yang ‘hidup’? Bukankah kebahagiaan mereka belajar adalah kunci terciptanya rasa ingin tahu yang sejati? Lantas apakah pengaruh kebijakan terkait dengan kebahagiaan para pelajar Indonesia?

      Mengacu studi alokasi yang dikemukakan oleh Becker (1965), dengan sedikit modifikasi, mari kita modelkan secara sederhana bahwa kepuasan pelajar dipengaruhi oleh dua hal, yakni kombinasi dari masa depan sang pelajar (direpresentasikan oleh return on education (roe)) dan waktu bersantai-santai (hours of leisure). Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut:

      kaji ulang 2

      Ilustrasi di atas menunjukkan kombinasi ekspektasi return on education dan hours of leisure yang dimiliki pelajar apabila kebijakan jam belajar delapan jam per hari diberlakukan. Dalam ilustrasi tersebut, u adalah kepuasan pelajar yang dibentuk atas kombinasi roe dan waktu senggang: u = f(roe, leisure), yang mana L adalah waktu senggang dan r adalah return on education. Sedangkan g adalah batasan dari kombinasi yang bisa dialokasikan pelajar dari seluruh total waktunya (24 jam) serta kemungkinan roe yang dapat dihasilkan dengan alokasi waktu tertentu. Lebih spesifik, diterapkannya kebijakan sekolah lima hari, akan berdampak atas berputarnya konstrain alokasi waktu harian dari g1 ke g2 akibat waktu senggang harian yang berkurang. Dengan demikian, untuk mendapatkan return on education yang serupa, maka pelajar perlu mengurangi waktu senggangnya. Hal tersebut berimplikasi pada menurunnya utilitas atau kepuasan sang pelajar. Alhasil, rasa semangat belajar para pelajar pun berkurang karena turunnya kepuasan yang mereka dapatkan. Intinya, secara efisiensi, kebijakan ini memiliki potensi menurunkan semangat belajar harian pelajar—ceteris paribus.

      Kedua, seorang penyiar radio pernah menyatakan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat belum bisa menerapkan waktu belajar delapan jam per hari lantaran banyak pelajar setempat yang masih harus membantu orang tuanya bekerja sepulang sekolah. Pernyataan tadi menjadi penting mengingat Indonesia adalah suatu negara kesatuan yang terdiri dari 17.000 pulau. Hal tersebut menyebabkan kondisi ketimpangan sulit dihindari karena memang distribusi ekonomi, penduduk, dan kualitas pendidikan belumlah merata. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakannya dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi-kondisi tiap daerah.

      Kesimpulan

      Pendidikan bukanlah isu kemarin sore. Sudah saatnya revolusi pendidikan diupayakan secara komprehensif demi terciptanya generasi bangsa yang lebih baik. Untuk itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan. Dalam kasus ini, terdapat dua isu yang menjadi kerisauan penulis terkait kebijakan waktu belajar lima hari yang dewasa ini diwacanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni terkait efisiensi dan kesetaraan. Secara efisiensi, kebijakan ini mengharuskan pelajar mengompensasi waktu belajarnya—yang seharusnya pada hari Sabtu—pada hari weekday. Secara ekonomi, hal tersebut dapat menurunkan kepuasan harian si pelajar. Untuk itu, waktu belajar seharusnya tidaklah harus dipadatkan. Seiring itu, isu kesetaraan juga terjadi pada kebijakan ini. Masih banyak pelajar yang harus membantu orang tuanya untuk mencari nafkah sepulang sekolah sehingga pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakannya agar lebih menyesuaikan kondisi daerah / pelajar tertentu.

      (Ega Kurnia Yazid/EQ)

      Sumber ilustrasi: www.harianterbit.com

      Baca Juga

      Memilih Demokrasi

      Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta

      Economics of Gender: Kesenjangan Upah yang Klise

      ADVERTISEMENT
      Penelitian EQ

      Penelitian EQ

      Related Posts

      Memilih Demokrasi
      Opini

      Memilih Demokrasi

      November 30, 2020
      121
      Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta
      Opini

      Quo Vadis Wisata Storynomics Yogyakarta

      November 14, 2020
      114
      Economics of Gender: Kesenjangan Upah yang Klise
      Opini

      Economics of Gender: Kesenjangan Upah yang Klise

      October 18, 2020
      180

      Discussion about this post

      ADVERTISEMENT

      POPULAR NEWS

      • Teori Black Swan: Bercermin dari Angkuhnya Ketidakmungkinan

        Teori Black Swan: Bercermin dari Angkuhnya Ketidakmungkinan

        4 shares
        Share 4 Tweet 0
      • Unpaid Internship, Magang Dibayar Pakai Pengalaman

        0 shares
        Share 0 Tweet 0
      • Saya Memilih untuk Tidak Memiliki Circle

        1 shares
        Share 1 Tweet 0
      • Bosan dengan Kegiatan Kampus? Gali Potensimu dengan Kegiatan di Luar Kampus!

        0 shares
        Share 0 Tweet 0
      • Pengumuman Awak Magang Batch 2 2020/2021

        0 shares
        Share 0 Tweet 0
      ADVERTISEMENT
      Facebook Twitter Instagram
      Warta EQ

      BPPM Equilibrium adalah lembaga mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) yang berdiri pada tahun 1968.

      Yogyakarta, Indonesia
      Saturday, February 27, 2021
      Partly Cloudy
      27 ° c
      75%
      1.86mh
      -%
      29 c 23 c
      Sun
      29 c 22 c
      Mon
      28 c 22 c
      Tue
      28 c 22 c
      Wed

      © 2019 Redaksi Digital

      No Result
      View All Result
      • Home
      • Warta
      • Berita
      • Ekspresi
      • Riset
      • Produk Kami
        • EQ News
        • Majalah
        • Mini Research

      © 2019 Redaksi Digital

      Login to your account below

      Forgotten Password? Sign Up

      Fill the forms bellow to register

      All fields are required. Log In

      Retrieve your password

      Please enter your username or email address to reset your password.

      Log In