Oleh Al Viima/EQ
Menurut McGraw Hill Dictionary, media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual. Merujuk pada definisi tersebut, kegunaan media sosial cukup signifikan bagi manusia abad 21.
Berbicara mengenai media sosial, update kehidupan merupakan salah satu cara agar dapat tetap berinteraksi dengan teman, rekan, dan kolega dengan menjelma menjadi sebuah akun pada suatu wadah media sosial. Tak sedikit orang membagikan potret akan hal-hal yang menyenangkan dalam bentuk aktivitas ataupun barang yang ia miliki di media sosial agar terlihat bahagia. Padahal, belum tentu aslinya dalam keadaan gembira. Tidak jarang hal tersebut memicu orang harus selalu mengikuti tren terbaru yang sedang digandrungi khalayak umum. Akibatnya, banyak orang menjadikan kebiasaan mengecek media sosialnya sebagai candu karena merasa tidak mau tertinggal tren dan takut melewatkan aktivitas terkini. Ber-media sosial seolah-olah merupakan sebuah kewajiban di abad ini.
Jika fenomena tersebut dikaitkan dengan istilah, pasti sudah tak asing dengan kata FOMO atau Fear of Missing Out. FOMO merupakan perasaan cemas yang berlebih akan tertinggal dari aktivitas terkini dan hal-hal baru. Saat orang lain membagikan foto mengenai apa yang mereka lakukan di media sosial, penderita FOMO biasanya akan merasa iri dan tertinggal. Hal tersebut membuat si FOMO gelisah karena merasa kehidupannya tak seasyik yang lain. Banyak orang tidak menyadari dirinya mengalami FOMO. Jika dibiarkan, hal ini dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang.
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan FOMO bagi kesehatan mental, istilah itu dianggap penting dan berhasil masuk sebagai kata dalam Oxford English Dictionary pada 2013 lalu. Seiring dengan eksistensi FOMO, muncul istilah JOMO atau Joy of Missing Out. Istilah JOMO merupakan antitesis dari FOMO. Joy of Missing Out adalah sikap alternatif untuk mengobati para FOMO. Seorang JOMO tidak merasa cemas dan gelisah apabila tidak membuka media sosial. Mereka merasa cukup akan kehidupan yang dimiliki sehingga cenderung tidak membandingkan dirinya dengan orang lain.
Telah diketahui sebelumnya, media sosial dapat memberi pengaruh negatif pada kesehatan mental seseorang. Mereka yang terbiasa menggunakan media sosial sebagai pelepas penat lama kelamaan akan menjadikannya sumber kebahagiaan. JOMO merupakan bentuk kepedulian terhadap diri sendiri untuk bersikap lebih santai ketika melewatkan aktivitas tertentu sehingga mereka akan lebih fokus terhadap hal-hal dan aktivitas yang mereka senangi. Salah satu keistimewaan JOMO adalah dapat melatih ketenangan dalam diri seseorang sehingga mereka dapat mengendalikan kecemasan yang diakibatkan oleh media sosial dengan cara membatasi penggunaannya.
JOMO menjadi alternatif untuk beristirahat dari hiruk pikuk interaksi sosial secara daring. Orang yang berhasil melepas ketergantungan terhadap media sosial akan lebih menikmati hidupnya di dunia nyata dan bahagia tanpa harus menjelma menjadi subjek atau akun pribadi pada media sosialnya. Mereka akan menemukan hal-hal sederhana yang dapat memunculkan kesenangan dalam diri mereka.
Terlepas dari ketergantungan media sosial bukan berarti tidak menggunakan media sosial sama sekali. Pada dasarnya, media sosial diciptakan agar manusia dapat berinteraksi sosial secara daring tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Tentu banyak manfaat secara material dan nonmaterial yang dapat diambil jika bijak dalam menggunakannya. Maka dari itu, memiliki sikap JOMO penting bagi seseorang, terutama bagi para milenial yang kebanyakan menghabiskan waktu di depan layar gawai. Seseorang dapat dikatakan telah menerapkan sikap JOMO dalam kehidupan sehari-hari apabila mereka memiliki beberapa ciri. Pertama, mereka tidak pernah terburu-buru jika ada hal baru di sekitar mereka. Tren baru berupa barang atau aktivitas tertentu tidak membuat mereka menjadi impulsif dalam membeli atau melakukannya karena mereka mengetahui secara pasti kapasitas yang dimiliki dan apa yang mereka butuhkan.
Kedua, mereka tidak segan memutus koneksi dengan seseorang di media sosial yang dirasa toxic dan mengganggu. Mereka menjadikan ketenangannya sebagai prioritas utama tanpa harus terbebani oleh ekspektasi orang lain. Lalu yang ketiga, seorang JOMO lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman terdekat secara langsung tanpa takut ketinggalan momen di media sosial.
Terakhir, mereka yang menerapkan JOMO tidak selalu mengiyakan ajakan orang lain untuk pergi ke acara atau aktivitas tertentu dan tidak ragu untuk menolak tanpa merasa bersalah jika memang tidak masuk ke dalam skala prioritas. Berselancar di media sosial memang penting untuk berinteraksi, tetapi kita perlu mengetahui kapasitas dan batas konsumsi dalam penggunaannya. Hakikatnya manusia adalah mengonsumsi, bukan dikonsumsi.
Discussion about this post