Beberapa bulan terakhir, masyarakat Jogja yang melintas di kawasan Kotabaru dimanjakan dengan berbagai karya seni yang menghiasi berbagai sudut ruang publik di kawasan tersebut. Karya-karya seni yang dipajang ini adalah bagian dari pameran Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2017 bertajuk “Jogjatopia” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pematung Indonesia (API). Akronim “Jogjatopia” ini merupakan gabungan dari kata Jogja dan Utopia yang memiliki makna filosofis akan harapan dan pandangan terhadap Kota Jogja yang ideal serta kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pameran “Jogjatopia” ini merupakan JSSP kedua yang diselenggarakan oleh API setelah berhasil menyelenggarakan “Antawacana” di sepanjang Jalan Mangkubumi pada tahun 2015 lalu.
Karya-karya yang ditampilkan kebanyakan mengkritisi perilaku masyarakat, seperti fenomena modernisasi. “Unity” karya Hilman Safriadi, misalnya, mengkritisi budaya bersepeda yang menjadi usang seiring berkembangnya zaman dan tergantikan oleh budaya menggunakan kendaraan bermotor yang cenderung bersifat individual.
Sejalan dengan Hilman, Ambar Pranasmara juga mengkritisi modernisasi, khususnya mengenai ketergantungan terhadap gawai. Hal ini disampaikan Ambar melalui karyanya yang berjudul “Social Media Series.” Dalam karyanya, Ambar menampilkan beberapa manusia yang digantung terbalik sembari bermain gawai dan media sosial. Karya “Social Media Series” ini memiliki penempatan yang unik dan kontradiktif. Karya ini secara sengaja diletakkan di depan sebuah kantor perusahaan telekomunikasi di sisi selatan Boulevard Stadion Kridosono.

Selain mengkritisi perilaku masyarakat, ada juga karya yang mengkritisi permasalahan yang tengah terjadi di Kota Jogja. Edi Priyanto, dalam karyanya yang berjudul “Jamur,” mengkritisi keberadaan hotel yang akhir-akhir ini mulai menjamur di Jogja. Hal tersebut dapat dilihat dari visualisasi karya ini yang membentuk jamur berukuran tinggi dengan jendela dan pintu di tubuhnya. Seperti “Social Media Series,” karya “Jamur” ini juga ditempatkan secara kontradiktif, yaitu di depan sebuah hotel di Kotabaru.
Tidak hanya mengkritisi, ada pula karya seni yang mengapresiasi Kota Jogja. Salah satunya adalah karya Triyono yang bernama “Rainbow Culture.” Kuas besar yang menorehkan warna pelangi menggambarkan warna-warni suku, ras, agama, dan budaya di Kota Jogja yang berasal dari para perantau yang mengenyam pendidikan dan berinteraksi sosial dengan penduduk asli Jogja.
Ada lebih dari lima puluh patung yang dipamerkan dalam acara yang berlangsung sejak 10 Oktober 2017 hingga 10 Januari 2018 mendatang ini. Patung yang dipamerkan merupakan buah karya pematung-pematung lokal dan mancanegara, mulai dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Thailand, hingga Jepang. Sayangnya, dibalik estetika seni yang dihasilkan oleh para pematung tersebut, ada beberapa kerusakan yang ditemukan seiring berjalannya pameran.

“Ada beberapa karya yang dirusak oleh orang yang kurang bertanggung jawab. Kadang ada juga yang ngambil lampu yang digunakan untuk pencahayaan patung,” ujar Popon, salah satu volunteer JSSP. “Ada juga karya yang rusak karena pengaruh cuaca dan hujan, apalagi ada siklon cempaka kemarin,” tambahnya pasca menceritakan filosofi dibalik “Mind The Gap” karya Lenny Ratnasari Weichert dan Liflatul Muhtarom. Pasalnya, karya yang terletak di area McDonald’s Jalan Jendral Sudirman tersebut memuai sehingga beberapa bagian karya tersebut terlepas dari bagian utamanya. Selain “Mind The Gap,” karya Yoga Budhi Wantoro yang berjudul “Ruang Kita” juga sudah tidak utuh. Beberapa bagian dari karya tersebut diambil oleh orang-orang yang iseng dan tidak bertanggung jawab. Hal ini sangat disayangkan mengingat membuat karya seni memerlukan proses yang panjang dan tidak mudah.
Penyelenggaraan pameran ini diharapkan dapat mewujudkan visi JSSP, yaitu mendukung terciptanya ruang publik kota yang ramah dan berbudaya, menciptakan ruang dialog kreatif bagi keberagaman identitas masyarakat, serta melibatkan warga dalam rangkaian kegiatan seni yang interaktif dan partisipatif. Salah satu langkah yang dilakukan JSSP untuk mewujudkan visi ini adalah penyelenggaraan program sculptour. Sculptour adalah kegiatan tur mengelilingi karya-karya patung di Kotabaru dengan pemandu yang akan menjelaskan filosofi dari masing-masing karya. “Sculptour biasanya kita laksanakan pas akhir pekan, jam 13.30 sampai selesai. Kadang juga by appointment,” terang Popon. Selain pameran dan Sculptour, JSSP juga menyuguhkan berbagai program seperti diskusi seni, seminar, dan kelas jurnalistik pelajar yang patut dicoba dan dikunjungi.
(Maura Finessa/EQ)