Seruan aksi “Menggugat Gadjah Mada” oleh Aliansi Mahasiswa UGM dilaksanakan pada Rabu (13/11) di Balairung Universitas Gadjah Mada. Tujuan utama aksi ini yakni untuk menyampaikan 7 tuntutan mahasiswa terkait beberapa hasil kegiatan advokasi yang kurang memuaskan. Mereka menuntut ketegasan dan kepastian mengenai isu-isu tertentu.
Tuntutan pertama yakni penolakan atas larangan kegiatan mobilisasi maba serta permintaan pengesahan memo kegiatan kokurikuler. Memo Kegiatan kokurikuler sudah menyatakan perlindungan bagi mahasiswa sebagai penyelenggara, mahasiswa baru sebagai subjek kegiatan, serta pihak fakultas maupun rektorat sebagai penanggung jawab. Ketidakpastian pengesahan memo ini membuat mahasiswa khawatir dengan ancaman drop out karena dianggap melakukan aktivitas ilegal. Selanjutnya, mahasiswa mengajukan tuntutan kedua tentang pengesahan draft Peraturan Kekerasan Seksual. Sejak November 2018, UGM sudah menjanjikan untuk membuat peraturan mengenai perlindungan kekerasan seksual di lingkungan UGM, tapi yang diterbitkan justru instruksi rektor mengenai pencegahan kekerasan seksual. Instruksi tersebut tidak mengikat, hanya berbentuk himbauan dan sosialisasi. Lantas bagaimana penanganan yang dilakukan UGM jika terjadi kasus kekerasan seksual?
Berikutnya mengenai isu penerapan uang pangkal atau sumbangan wajib. “Sumbangan pengembangan institusi baru dalam wacana, belum ada keputusan apapun”, ujar pihak rektorat, yang selanjutnya dibalas mahasiswa dengan pernyataan, “Banyak wacana yang tiba-tiba disahkan, kita melakukan gerakan preventif!”. Selain itu, penggunaan biaya UKT dinilai belum transparan. Apakah benar-benar perlu sumbangan tambahan? Apakah disebut sumbangan jika ada batas minimalnya?
Tuntutan keempat mengenai jaminan kebebasan akademik supaya tidak ada kegiatan mahasiswa yang dibubarkan paksa karena dianggap tidak sesuai dengan jati diri dan nilai-nilai UGM. Massa berharap jangan ada keterlibatan pembubaran kegiatan dengan kepentingan pribadi, politik, ataupun suatu golongan. Kemudian tuntutan berikutnya adalah untuk mewujudkan penanganan kesehatan mental secara menyeluruh di UGM. Harapannya, setiap fakultas bisa memberi layanan konseling psikologi untuk mahasiswa.

Mahasiswa juga menginginkan legalitas terhadap Organisasi Mahasiswa Daerah, yang disampaikan pada tuntutan keenam. Tuntutan yang terakhir yakni pemberian jaminan keamanan siber terkait privasi data pribadi. Mahasiswa menolak adanya penggunaan data pribadi untuk kepentingan non akademik. Setelah semua tuntutan tersampaikan, akhirnya dicapai 7 kesepakatan berikut:
1. Seminggu lagi, tepatnya Rabu 20 November 2019, mahasiswa dan rektorat secara bersama akan mengesahkan memo kegiatan kokurikuler hasil kesepakatan bersama.
2. Sebulan lagi, 13 Desember 2019, rektorat telah mengesahkan Peraturan Kekerasan Seksual.
3. Tidak ada uang pangkal di UGM. Adanya hanya sumbangan sukarela yang tidak diwajibkan dan tidak berpengaruh pada seleksi masuk.
4. Menjamin dan melindungi kebebasan mimbar akademik, sesuai statuta dan peraturan mahasiswa UGM.
5. Pada Juni 2020, sudah dibangun Centre Health Unit dengan penanggung jawab setiap fakultas.
6. Sepakat legalitas paguyuban ormada di UGM.
7. Adanya jaminan data pribadi melalui surat pernyataan yang ditandatangani oleh mahasiswa baru di awal masuk UGM.
Meskipun hasil tidak berdasarkan penelitian rektor secara langsung, secara fisik, kesepakatan ini otoritasnya mewakili rektorat secara institusi.
(Berliana Cahya Pertiwi/EQ)
Discussion about this post