Tiada kemiskinan. Berikut ungkapan yang mengawali urutan pertama dalam tujuan global menuju Sustainable Development Goals (SDGs). Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dibuktikan dengan penurunan dalam tingkat pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan yang mencapai 9,66 persen atau sekitar 0,28 juta orang dalam kurun waktu bulan Maret 2018 hingga September 2018.
Apabila melihat persentase penduduk miskin berdasarkan kepulauan pada September 2018, penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 20,94 persen. Di sisi lain persentase penduduk terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 5,98 persen. Kemiskinan ialah isu nyata yang akan terus ada. Pekerja sosial akan dihubungkan dan dibutuhkan sesuai perkembangan zaman. Sebagai manusia, setidaknya kita mulai merintis suatu tindakan agar dapat membawa dampak yang lebih mendalam.

“Hari ini saya tidak ada pemasukan. Tidak ada yang naik becak. Kalau seperti ini, saya puasa makan, Nak,” ujar Pak Darto, salah seorang penarik becak, di sudut gang Desa Karangmalang dengan wajah sedikit kelelahan. Tidak terhitung sudah berapa peluh yang hadir namun belum ada satu pengunjung yang datang menghampiri. Tubuhnya yang kurus, suaranya yang mengecil, tatapannya yang sayu, membuat sosok Pak Darto malam itu lebih lelah dari biasanya.
Malam tersebut Pak Darto berkeluh kesah tentang tarikan becak yang setiap harinya semakin menyusut. Tidak ada pemasukan berakibat tidak ada makanan dan tidak ada juga alasan untuk pulang. “Ojek online, kendaraan pribadi, mungkin itu alasan yang membuat becak kurang diminati,” jelas Pak Darto sembari menutup tubuhnya dengan jaket lebih rapat. Kebetulan pada malam tersebut terdapat satu kotak nasi yang sengaja kami beli untuk Pak Darto. Tidak disangka, kotak nasi itu tidak hanya menghangatkan perut, tetapi juga memberi semangat untuk mengayuh kembali becaknya di esok hari.
“Saya malu kalau bisa makan malam hari ini. Malu sama keluarga di rumah, tidak bisa makan dengan menu yang serupa,” terang Pak Darto kembali di jeda pembicaraan kami. Sembari berucap terima kasih, Pak Darto tidak lupa memberi petuah singkat nan hangat. “Walaupun kehidupan saya seperti ini, setidaknya saya masih mampu narik becak supaya keluarga di rumah bisa makan, Mbak,” terang Pak Darto sambil menampilkan senyum penuh pengertian.
Tema yang sama namun dalam kemasan berbeda, kegiatan sosial selanjutnya, yaitu Sego Mubeng. Sego Mubeng merupakan bahasa Jawa yang berarti nasi yang berkeliling. Kegiatan tersebut merupakan inisiasi masyarakat kawasan Kota Baru, Yogyakarta untuk memberikan nasi bungkus pada pekerja yang sedang beraktivitas di pagi hari. Seperti halnya tukang sapu jalanan di trotoar, tukang becak, pemulung, pengemis, bahkan pedagang keliling yang tertidur di kiri jalan tidak lupa untuk dihampiri.
Tidak hanya memberi nasi, kami juga dilatih untuk belajar berempati, sekadar bertanya, “Apa kabar hari ini?” Lalu, “Mengapa masih jadi tukang becak untuk usia yang masih lanjut usia hingga saat ini?” Salah satu tukang becak menjawab dan berujar demikian, “Jika saya tidak menarik becak, rasanya saya juga kehilangan penghiburan hidup, Nak.” Penuturan tersebut berlanjut, “Meskipun usia saya sudah hampir kepala enam, setidaknya dari menarik becak, saya bisa menolong orang.” Pandangan yang berbeda dari kaum marjinal membuat saya menyadari satu hal, tidak semua sudut kelam kemiskinan setara dengan kalkulasi kebahagiaan.
Baik Pak Darto maupun Sego Mubeng memberikan gambaran jelas perihal kemiskinan yang dekat dengan diri sendiri. Kemiskinan yang akan diberantas bukan hanya tugas pekerja sosial. Sudah sejauh mana kita mau memahami kaum marjinal itu dengan menghargai hal-hal kecil, sesederhana mengucapkan terima kasih dan menyapa penjaja koran lampu merah di pagi hari.
Pada kenyataannya, kemiskinan dapat hilang atau tidak adalah pilihan. Bagaimana peran kita dapat berkolaborasi dan bersinergi dari sudut terkecil, diri sendiri. Kemiskinan menyertakan tanggung jawab moral untuk setiap orang. Keberadaan pekerja sosial akan terus dibutuhkan. Namun tidak hanya pekerja sosial, kita perlu menjumpai kemiskinan itu sendiri dan menyelami kehidupannya. Dikarenakan kemiskinan dapat membantu kita belajar banyak hal. Bersyukur salah satunya.
(Stefani Julieta B S/EQ)
Lampiran:
(https://www.liputan6.com/bisnis/read/3871413/bps-jumlah-penduduk-miskin-turun-lagi).
Discussion about this post