Oleh: Tabitha Gracia/EQ
Sebulan terakhir ini, dunia kembali diramaikan dengan adanya demonstrasi besar-besaran di berbagai negara bertajuk Black Lives Matter. Demonstrasi tersebut menyuarakan tuntutan terhadap segala tindakan rasisme yang terus menerus terjadi pada orang berkulit hitam. Bermula di Amerika Serikat (AS), aktivis Black Lives Matter dan demonstrasinya bahkan menjalar di negara-negara lain termasuk Indonesia. Demonstrasi besar ini menunjukkan bahwa kini, masyarakat dunia memandang keberagaman ras sebagai sesuatu yang perlu untuk dihormati dan berkulit putih bukanlah sebuah privilege. Pemicu dari demonstrasi tersebut tidak lain adalah meregangnya nyawa George Floyd, seorang kulit hitam, di tangan seorang polisi berkulit putih, Derek Chauvin, di AS. Floyd tidak melakukan satupun kesalahan berarti yang menjadi pemicu Chauvin menangkap dan melakukan kekerasan terhadapnya. Hal ini membuat masyarakat naik pitam dan aktivis Black Lives Matter bertindak.
Di lain sisi, berkumpulnya ribuan orang dalam satu tempat secara bersamaan memicu keprihatinan yang cukup besar dari sisi kesehatan. Ya, saat ini dunia masih dilanda kepanikan besar atas Covid-19, sehingga masyarakat diimbau untuk berdiam di rumah dan menjaga jarak untuk mengurangi penyebaran virus. Sejauh ini, terdapat lebih dari delapan juta manusia yang terserang Covid-19 dan lebih dari 400.000 nyawa melayang. Amerika Serikat (AS), tempat demonstrasi pertama terjadi, merupakan negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak dengan lebih dari satu juta kasus dan menyebabkan kematian lebih dari seratus ribu jiwa per 24 Juni 2020 (Guttierez, 2020). Berada di negara dengan kasus tertinggi, ribuan demonstran ini mengabaikan protokol kesehatan dan ancaman terserang virus tersebut.
Adanya dua permasalahan besar yang melanda dunia, tingginya rasisme dan serangan Covid-19, menimbulkan pertikaian antar dua pihak dengan dua kepentingan yang berbeda. Salah satu pihak, pemerintah, menginginkan warganya untuk menjaga jarak dan berdiam diri di rumah untuk meminimalisir persebaran virus Covid-19. Sedangkan di lain pihak, masyarakat atau demonstran, ingin menyuarakan tuntutan atas rasisme yang terus menerus terjadi. Dalam hal ini, AS, tempat demonstrasi pertama terjadi, memiliki tingkat rasisme yang juga tinggi. Dilansir dari katadata, jumlah kematian orang kulit hitam akibat kekerasan dari polisi berkulit putih di Amerika Serikat mencapai 44 orang per satu juta penduduk selama tujuh tahun terakhir. Jumlah tersebut sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah korban dari ras lain, seperti kulit putih dan hispanik, yang tidak lebih dari 22 orang per satu juta penduduk dalam kurun waktu yang sama. Masyarakat di lain negara menyerukan tindak rasisme yang kerap terjadi di daerahnya. Penyuaraan tuntutan dilaksanakan dalam bentuk demonstrasi, sebuah langkah yang dipercaya menjadi satu-satunya jalan agar pemerintah turun tangan. Kedua masalah tersebut saling berupaya menjadi sorot utama dan memerlukan penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak.
Tentang Black Lives Matter
Black Lives Matter, atau yang kerap kali disebut BLM, merupakan sebuah gerakan massal untuk menghentikan berbagai tindakan rasisme terhadap orang berkulit hitam yang kerap kali terjadi pada warga Afrika-Amerika di AS. Gerakan BLM mulai muncul pada tahun 2013. Saat itu, masyarakat AS menuntut keadilan atas kematian Trayvon Martin, seorang remaja keturunan Afrika-Amerika, yang ditembak oleh George Zimmerman. Zimmerman dibebaskan dengan dalih tindakannya merupakan bentuk pembelaan diri. Cukup aneh mendengar alasan tersebut ketika Trayvon Martin tidak melakukan apapun yang dapat mengancam keselamatan Zimmerman. Tindakan rasisme terhadap Martin ini memicu kemarahan masyarakat dan tagar #BlackLivesMatter ditenarkan di platform Twitter oleh Patrisse Cullors, Alicia Garza, and Opal Tometi. Tagar tersebut meraih simpati netizen dan menjadi gerakan yang terkenal untuk menolak tindakan rasisme lain yang dilakukan terhadap warga kulit hitam, khususnya warga Afrika-Amerika di AS.
Meski protes besar itu terjadi dan Zimmerman dihukum, naasnya, rasisme terhadap warga kulit hitam masih kerap terjadi. Beberapa kali terdengar berita adanya penembakan atau kekerasan terhadap warga kulit hitam yang tidak bersalah oleh polisi setempat yang berkulit putih. Di antara tumpukan berita tersebut, terdapat juga beberapa korban tidak bersalah yang harus kehilangan nyawanya seperti yang terjadi pada Michael Brown pada 2014. Selanjutnya, frasa BLM menjadi mantra dari berbagai protes terhadap pemerintah AS terhadap kasus rasisme lainnya yang menimpa warga kulit hitam. Hingga setahun setelah aksi simpatik aktivis BLM pada Michael Brown, tercatat terdapat 780 aksi protes terhadap kejadian serupa di AS (Williamson, 2018). Jumlah yang cukup besar untuk membuat BLM menjadi sebuah pergerakan sosial yang terus diterapkan hingga saat ini.
Mengapa Rasisme Masih Terjadi?
Keberadaan ras yang berbeda dalam sebuah kelompok sosial, baik itu di ruang privat maupun ruang publik, memunculkan keberagaman dari segi penampilan dan budaya yang dibawa. Masing-masing ras memiliki jumlah populasi yang berbeda-beda dan memiliki ikatan persaudaraan yang lebih kuat karena kesamaan budaya yang dimiliki. Dalam hal ini, ras yang memiliki populasi lebih banyak akan berlaku sebagai kelompok mayoritas, dan sebaliknya. Sebagai anggota dari kelompok mayoritas, secara tidak langsung dapat memunculkan sikap egois dengan dasar bahwa orang di sekelilingnya akan melakukan hal yang sama atau mendukungnya karena rasa persaudaraan yang tinggi dalam kelompok ras. Hal ini dapat menjadi salah satu pemicu rasisme karena anggapan atas keberadaan ras lain tidak lebih tinggi dari ras sendiri.
Menurut Cambridge, rasisme memiliki pengertian sebagai sebuah keyakinan bahwa kualitas seseorang dipengaruhi oleh ras masing-masing individu dan menganggap bahwa anggota ras lain tidak memiliki kualitas yang lebih baik dari individu tersebut. Sri Herminingrum (2010) mengungkap bahwa tindakan rasisme terhadap orang berkulit hitam terjadi karena adanya invasi kulit putih. Orang kulit putih dari Eropa kerap melakukan invasi dan kolonialisasi di daerah-daerah baru, yang menjadikan rasnya tersebar di mana-mana dan menjadi kelompok mayoritas. Sebagai kelompok mayoritas, kultur mereka menjadi kultur utama dan kelompok minoritas terpaksa ikut menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dua gagasan kultur utama kelompok kulit putih adalah patriarki dan konsep mengenai standar kecantikan. Dua gagasan ini menimbulkan sebuah konsep yang menjadi dasar dari rasisme dan juga perbudakan. Dengan gagasan kultur patriarki, kaum pria berkulit putih akan cenderung berupaya untuk terus menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin dan berkuasa. Secara ekstrem, tidak dapat dipungkiri bahwa upaya pembuktian terhadap hal tersebut kerap ditunjukkan dalam bentuk kekerasan fisik. Sementara itu, konsep mengenai standar kecantikan milik orang kulit putih menimbulkan stereotipbahwa orang kulit hitam secara fisik tidak cantik. Hal ini tidak hanya mempengaruhi pola pikir dari wanita saja, tetapi juga pria dan anak-anak. Hitam (warna kulit) selalu diasosiasikan sebagai bentuk dari kemiskinan dan kondisi fisiknya dianggap tidak menarik.
Kilas Balik: Juneteenth, Jim Crow Laws dan Kesetaraan
Dalam sejarah, keberadaan orang kulit hitam selalu dituntut untuk terus berada di bawah otoritas tertentu (Decristo, 2016). Hal ini tidak lepas dari keberadaan pekerja kulit hitam dalam lingkaran perbudakan sebelum masa berakhirnya perbudakan pada 1865. Memang tidak seluruh budak pada saat itu berkulit hitam, tetapi kebanyakan dari mereka memiliki ras kulit hitam. Untuk membuktikan hal itu, sayangnya, Jeramy Decristo dan David Marriott (2016) mengungkapkan bahwa keberadaan mereka sebagai pekerja (buruh) tidak begitu dicatat dalam sejarah meski mereka dieksploitasi. Namun, kejinya rasisme empat diungkapkan oleh Samuel Northup (1853) dalam buku atas pengalaman pribadinya yang berjudul Twelve Years a Slave. Diungkapkan bahwa sebelum 1865, para budak dengan mayoritas orang berkulit hitam, ditahan dan dirantai. Hingga pada 19 Juni 1865, Gordon Granger, General Mayor AS saat itu mendeklarasikan konstitusi larangan perbudakan sebagai bentuk lanjutan dari proklamasi emansipasi yang dikumandangkan Abraham Lincoln pada 1863. Peristiwa itu dikenal dengan nama Juneteenth dan kerap dirayakan per 19 Juni hingga saat ini.
Meski sudah tidak ada perbudakan, Amerika masih memberlakukan pemisahan antar orang kulit putih dan kulit hitam Afrika-Amerika. Muncul peraturan amandemen yang mengatur pemisahan antarras (kulit putih dan hitam) yang dipraktikkan secara informal, Jim Crow Laws (Tillery, 2019). Amandemen ini masih didasarkan pada proklamasi emansipasi, yang memunculkan moto separate but equal (terpisah tapi adil). Selama 1890 – 1965, masyarakat Afrika-Amerika tidak diperkenankan berada di lingkungan publik secara bebas dan mendapatkan fasilitas yang lebih buruk daripada fasilitas yang didapat masyarakat kulit putih (Tillery, 2019). Aturan Jim Law bahkan memiliki wujud adaptasi animasinya sendiri, berupa seorang pria berwajah hitam yang meniru tarian budak yang distereotipkan dan menari untuk penonton kulit putih.

Hingga pada 1964, aturan Jim Crow dihapuskan karena munculnya The Civil Rights Act of 1964yang menyatakan adanya larangan diskriminasi terhadap orang kulit putih dan hitam di AS. Dari titik ini, warga kulit hitam terus bersorak menyuarakan kesetaraan haknya dan dapat hidup dengan nyaman di AS. Dengan demikian, warga Afrika-Amerika dapat menerima perlakuan yang sama dengan warga kulit putih, dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap keduanya.
BLM dan New Normal
Panjangnya kisah penanaman gagasan kultur yang mengintimidasi masyarakat kulit hitam dari masyarakat kulit putih cukup membuat siapapun yang membacanya naik pitam. Perjuangan masyarakat kulit hitam untuk mendapatkan haknya membutuhkan waktu yang cukup lama dengan melayangkan protes dan menunggu adanya kesadaran pemerintah untuk ikut turun tangan. Bahkan, setelah peraturan akan larangan adanya perbudakan dan rasisme dikeluarkan, rasisme masih muncul di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, gerakan BLM terus dilangsungkan untuk merangsang pemberhentian segala tindakan rasisme yang ada, baik di AS maupun di seluruh dunia.
BLM bergerak secara modern menggunakan pendekatan pergerakan sosialuntuk dapat memenangkan dukungan publik. Menurut Ruud (2019), aksi protes dengan menunjukkan diri ke publik secara masif akan memunculkan ancaman terhadap target atau lawan dari aksi protes tersebut. Dalam hal ini, aktivis BLM ingin para pelaku rasisme di luar sana untuk segera menyerah, termasuk pemerintah atau anggota hukum yang mendukung adanya rasisme. Semakin banyak aktor yang memasuki area protes, semakin tinggi kemungkinan protes tersebut berhasil. Dengan demikian, bentuk kemunculan aktivis di tempat umum secara bersamaan diharapkan mampu memunculkan ancaman tersebut.
Tentunya melakukan protes besar dengan berkumpul di satu tempat di masa yang penuh ketakutan akan penyebaran Covid-19 ini perlu dipertimbangkan kembali. Pemerintah seluruh dunia sedang menghadapi keresahan dan berupaya sekeras mungkin menekan jumlah kasus dan korban. Antisipasi yang dilakukan pemerintah seluruh dunia adalah mengeluarkan adanya kebijakan normal baru, penerapan protokol kesehatan dalam segala aktivitas publik untuk memastikan perekonomian dan hal lainnya tetap berjalan di tengah pandemi ini. Sementara itu, aktivis BLM terus melayangkan aksi protesnya, dan mengabaikan protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah. Perlu untuk memunculkan adanya bentuk pergerakan baru yang kreatif dalam menengahi kedua permasalahan tersebut.
Kedua pihak dapat mempertimbangkan untuk memasukkan unsur-unsur sikap anti rasisme ke dalam kebijakan normal baru. Dengan demikian, AS dapat memperbarui dan memperketat bentuk praktik dari The Civil Right Act 1964 dalam upayanya memerangi rasisme. Unsur-unsur sikap anti rasisme dapat dimunculkan dalam kegiatan-kegiatan kecil dalam kehidupan sehari-hari, yang akan meminimalisir rasisme jika rutin dilakukan. Tentu saja, hal ini sejalan dengan tujuan dari unjuk rasa demonstran dan pemerintah yang tidak ingin gelombang kedua Covid-19 terjadi. Contoh hal yang bisa dilakukan adalah memahami pola pikir pribadi dan menghindari bias ketika memandang orang lain, lapor jika terjadi tindakan rasisme di lingkungan kerja, mengingatkan apabila ada kawan yang rasis, dan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari lainnya. Pemerintah juga dapat bertindak dengan memasukkan ajaran kesetaraan ras dalam pendidikan sejak dini dalam pendidikan online yang sedang berlangsung dan memberi kesempatan yang sama pada setiap warganya untuk mengenyam pendidikan tanpa memandang latar belakang ras. Munculnya skenario baru yang pragmatis dan memunculkan batasan untuk mengurangi kemungkinan buruk dari tindakan yang tidak diinginkan (rasisme) merupakan sebuah cara yang menarik untuk memunculkan pergerakan sosial (Decristo, 2016). Pada dasarnya, perjuangan panjang dalam kisah BLM perlu diangkat dan dihormati sebab dunia butuh kedamaian yang dimulai dari kesetaraan hak antar individunya. Sementara itu, perlu juga untuk sadardengan kondisi sekitar yang masih berperang melawan Covid-19. Salah satu solusi yang dapat diterapkan atas kedua permasalahan tersebut adalah adanya pergerakan sosial baru yang mencampur penerapan protokol kesehatan dan sikap anti rasisme dalam kehidupan sehari-hari. Pergerakan sosial antar dua bidang, kesehatan dan sosial, diharapkan dapat mengukuhkan masyarakat baru yang peduli tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga isu sosial. Masyarakat akan dapat mencintai kesehatannya dan menaati aturan pemerintah, serta ikut andil dalam upaya penghormatan hak hidup setiap individu di sekitar mereka. Jadi, bersediakah kita sadardengan keberadaan kultur baru ini demi terciptanya dunia yang lebih baik di masa depan?
–
REFERENSI
Anonim. (2017). 8 Everyday Way to Fight Racism.
htps://nnedv.org/latest_update/8-everyday-ways-to-fight-racism/
Alvarez, Lizette; Buckley, Cara. (2013).
https://www.nytimes.com/2013/07/14/us/george-zimmerman-verdict-trayvon-martin.html
Churchwell, Sarah. (2014). 12 Years a Slave: the book behind the film. The Guardian.
https://www.theguardian.com/books/2014/jan/10/12-years-slave-uncle-toms-cabin
Civil Rights Act of 1964. (2009). Title VII of theCivil Right Act of 1964. 2(5), 255.
Congressional Research Service. (2020). Juneteenth : Fact Sheet.
Davey, Melissa. (2020). Black Lives Matter: health experts assess risks of Covid-19 transmission at Australia protests. The Guardian.
https://www.theguardian.com/australia-news/2020/jun/12/black-lives-matter-australia-protest-will-blm-protests-spark-second-covid-19-coronavirus-wave-health-experts
Decristo, J., & Marriott, D. (2016). Black Critical and Cultural Theory. Year’s Work in Critical and Cultural Theory, 24(1), 107–130. https://doi.org/10.1093/ywcct/mbw006
Dewi, Dinda S. (2020). Kenapa Kematian George Floyd Picu Demo Black Lives Matter Mendunia. https://tirto.id/kenapa-kematian-george-floyd-picu-demo-black-lives-matter-mendunia-fD7C
https://dictionary.cambridge.org/
Gutierrez, Pablo. (2020). Coronavirus World Map: Which Countries Have the Most Covid-19 Cases and Deaths?.
https://www.theguardian.com/world/2020/jun/24/coronavirus-world-map-which-countries-have-the-most-covid-19-cases-and-deaths
Heminingrum, S. (2010). Four Criteria for Labeling Black Woman and Their Community as “Others” in Toni Morrison’s Novels. Humaniora, 22, 231–240.
Lamb, Kate. (2020). Black Lives Matter rallies Papuan Activists in Indonesia. https://www.reuters.com/article/us-minneapolis-police-indonesia/black-lives-matter-rallies-papuan-activists-in-indonesia-idUSKBN23C1EN
Lidwina, Andrea. (2020). Rasio Kematian Warga Kulit Hitam Akibat Kekerasan Polisi Tertinggi di AS.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/06/03/rasio-kematian-warga-kulit-hitam-akibat-kekerasan-polisi-tertinggi-di-as
Sharkour, Sarah. (2020). 4 Ways to be an Ally in the Fight Against Racism. https://www.weforum.org/agenda/2020/06/ally-black-lives-matter-racial-injustice/
Tillery, A. B. (2019). What Kind of Movement is Black Lives Matter? The View from Twitter. Journal of Race, Ethnicity and Politics, 4(2), 297–323. https://doi.org/10.1017/rep.2019.17
Troka, D., & Adedoja, D. (2016). The Challenges of Teaching About the Black Lives Matter Movement: A Dialogue. Radical Teacher, 106(106). https://doi.org/10.5195/rt.2016.311
Williamson, V., Trump, K. S., & Einstein, K. L. (2018). Black Lives Matter: Evidence that Police-Caused Deaths Predict Protest Activity. Perspectives on Politics, 16(2), 400–415. https://doi.org/10.1017/S1537592717004273
Winters, J. (2017). Rac(e)ing from Death: Baldwin, Bataille, and the Anguish of the (Racialized) Human. Journal of Religious Ethics, 45(2), 380–405. https://doi.org/10.1111/jore.12182
Wouters, R. (2019). The Persuasive Power of Protest. How Protest wins Public Support. Social Forces, 98(1), 403–426. https://doi.org/10.1093/sf/soy110
Discussion about this post