Penulis: Angelica Andrea C.T./EQ
Ilustrasi oleh M. Akmal Farouqi/EQ
Pada hari Minggu, hari umat Kristiani pergi ke rumah Tuhan, seorang pemimpin ibadah menegaskan, “Everything will be alright,” katanya. Pada tahun 2009, penggalan lagu The Lucky Laki “Ayahku selalu berkata padaku, laki-laki tak boleh nangis. Harus slalu kuat, harus slalu tangguh, harus bisa jadi tahan banting,” sering terdengar di telinga. Akan tetapi, benarkah hidup harus selalu baik-baik saja seperti ‘katanya’? Benarkah seorang laki-laki tidak boleh menangis ‘katanya’?
Tanpa disadari, kalimat-kalimat positif seperti, good vibes only, nggak perlu sedih, semua akan baik-baik saja, dan just be happy justru menjadi bumerang dengan menyebarkan toxic positivity. Berdasarkan Psychology Today, toxic positivity merupakan konsep untuk menolak dan menghilangkan emosi negatif yang dirasakan manusia. Seakan-akan, seseorang hanya merasakan emosi positif saja. Sebenarnya, seseorang yang mengabaikan emosi negatif, nantinya akan membuat perasaan tersebut tidak terproses. Akibatnya, dalam diri manusia tidak seimbang antara emosi positif dan negatif. Ungkapan-ungkapan di atas pun semakin membuat masyarakat merasa bahwa tangisan, penyesalan, atau kekecewaan adalah hal yang tidak perlu.
Toxic positivity seolah-olah sangat menentang pernyataan, “Pengalaman adalah guru terbaik,” karena tidak membiarkan seseorang mengalami emosi negatifnya. Memang, pengalaman mengecewakan adalah sesuatu yang buruk dan tidak ingin diulang. Namun, menurut pernyataan Health Motivator dr Handrawan Nadesul, pada media Kompas.com, pengalaman nyata akan lebih meyakinkan seorang anak. Begitu pula kejadian buruk yang pernah dialami mengajarkan diri untuk berdamai dengan perasaan negatif dan tahu bagaimana mengatasinya.
Film yang cukup gempar pada awal tahun ini, “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini,” ikut menunjukkan betapa menghancurkan toxic positivity bagi seseorang. Sosok ayah dalam film tersebut menuntut istri dan Angkasa, anak tertua, untuk menyembunyikan kematian salah satu anak kembarnya. Menurut tokoh ayah, rasa kehilangan tidak perlu hadir di tengah keluarga kecilnya, cukup selalu merasa bahagia. Sampai akhirnya, Angkasa mengatakan kebenaran yang ada sehingga keluarga itu terpecah sekaligus merasakan kekecewaan yang tidak lagi bisa diungkapkan.
Rasa sakit sampai tidak bisa menangis atau sampai dada terasa sakit memang belum tentu pernah dialami semua orang. Namun, setiap perasaan sakit atau negatif pasti memiliki caranya sendiri untuk disembuhkan. Satu hal yang pasti, penyembuhan itu tidak dengan mengabaikan atau menganggap suatu masalah selesai begitu saja. Enak sekali kalau begitu, seperti mencuri, tetapi tidak tertangkap. Walaupun diabaikan, emosi itu masih tetap ada. Di waktu tertentu, perasaan tidak nyaman dan khawatir akan muncul karena masalah yang belum terproses hingga selesai. Lebih parah lagi, perasaan-perasaan itu menimbulkan keadaan tidak baik-baik saja, tanpa tahu penyebab pastinya. Kemudian, konflik terbesar datang ketika orang tersebut tidak pernah merasakannya.
Quotes Toxic Positivity Selalu Negatif ?
Pernyataan pemimpin ibadah di atas, “Everything will be alright,” sangat identik dengan kalimat yang mengandung toxic positivity. Lalu, bolehkah kita menggunakan ungkapan-ungkapan yang ‘katanya’ toxic positivity? Apakah pengaruhnya selalu buruk? Perspektif itu mungkin saja berbeda apabila kalimat yang dianggap toxic positivity dilihat dari sisi lain.
Setiap kalimat positif tentu memiliki tujuan yang baik dan akan berdampak baik pula asal diterima dengan tepat. Penerimaan yang tepat tidak akan memasukkan kita ke dalam jaring toxic positivity. Menanggapi ungkapan toxic positivity secara dewasa akan menyebabkan cara mengartikannya pun tidak dengan mentah-mentah, bukan juga menganggap sebuah masalah menjadi ‘tidak apa-apa’. Setiap masalah memang seakan punya seninya tersendiri untuk menunjukkan pesannya yang tersembunyi.
Dalam dialog berjudul “Catatan Najwa” di YouTube, Kunto Aji mengatakan bahwa ketika keadaan sedang tidak baik-baik saja, seseorang tidak perlu menjadikannya ‘tidak apa-apa’. “Menangis juga gapapa. Menangis itu sistem pertahanan kita untuk bisa terbebas dari stres. Ya, gapapa lepasin aja,” katanya. Penyanyi asal Yogyakarta itu juga menjelaskan, “Setelah konsultasi dengan psikolog saya, unfinished business itu jadi masalah banget. Berurusan dengan seseorang, tapi kita (red: dan urusan dengan orang tersebut) belum selesai nih,” tegasnya. Penyelesaian suatu masalah bukan tentang melupakan memori dengan seseorang, tetapi bagaimana di kemudian hari, kita bereaksi terhadap memori yang kembali muncul.
Akhirnya, siapapun kita, seorang manusia adalah dia yang terbentuk dari setiap baik dan buruk, positif dan negatif, bahagia dan sedih. Seseorang bukan produk 100% murni kesempurnaan. Akan tetapi, seperti kata seorang penulis, Michelle Hodkin, “You always have a choice,” untuk melewati suatu rintangan dalam hidup, manusia dapat memilih dan memilah mau melihat dari mata sebelah mana.
Discussion about this post