Di saat orang-orang mulai menyadari pentingnya konsep ramah lingkungan, institusi pendidikan seakan asing dan menutup mata. Faktanya, kebutuhan kertas Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) mencapai lebih dari 50 rim dalam sehari. Kampus seolah-olah tutup mata pada teknologi pengganti seperti tablet yang lebih ramah lingkungan. Konsep ramah lingkungan yang coba dibangun seakan sekadar cetak biru. “(Konsep ramah lingkungan, red) memang sudah ada, tetapi belum dilaksanakan,” konfirmasi Kusdhianto Setiawan, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia.
Sementara itu, konsep ramah lingkungan masih menjadi jurus penghematan biaya yang paling ampuh. Salah satu contohnya adalah konsep green building pada Gedung Pusat Pembelajaran atau Learning Center (LC). Dalam upayanya menggunakan konsep green building, Kusdhianto membeberkan terdapat lonjakan anggaran pembangunan gedung dari 50 miliar menjadi 69 miliar rupiah. Namun, kenaikan tersebut dinilai memiliki andil yang setimpal. Biaya tambahan yang dikeluarkan berbanding lurus dengan penghematan yang dicapai selama pemakaiannya. “Net Present Value-nya positif,” jelas Kusdhianto. Anggaran tersebut digunakan untuk menanam panel surya dan instalasi pengolahan air. Dengan begitu, kebutuhan listrik selama siang hari ditenagai panel surya dan penggunaan air lebih efisien karena instalasi pengolahannya. Penghematan ditaksir mencapai 30% dari biaya yang seharusnya dikeluarkan per bulan.
Konsep ramah lingkungan selanjutnya yang coba diterapkan kampus adalah tempat sampah tiga warna. Tempat sampah tiga warna sudah ada sejak satu dekade lalu, yaitu tahun 2009. Pada dasarnya, ide ini ditujukan agar sampah yang terkumpul dapat dipisahkan. Ide ini juga diharapkan dapat menciptakan karakter dan budaya memilah sampah bagi mahasiswa FEB UGM dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tak sedikit mahasiswa FEB UGM yang merasa keberadaan tempat sampah ini sia-sia dan inkonsisten. Hal ini didasari oleh kebingungan mereka dalam mencocokkan jenis sampah dengan warna tempat sampah. “Ga penting dan ga efektif sebenernya. Males saja kalau harus misahin sampah. Jadi asal buang saja dan ga ada bedanya kalau cuma satu warna,“ tutur Viabella, mahasiswi Departemen Manajemen.
Dalam jangka panjang, dekanat menanggapi keluhan mahasiswa dengan berencana untuk mengubah seluruh konsep tempat sampah menjadi dua warna. Hal tersebut disebabkan tempat sampah tiga warna memang terbatas dan hanya bisa dijumpai di tempat tertentu, di koridor kelas belum ada. “Sebetulnya tempat sampah (tiga warna, red) yang di sekitar kita itu ya hanya aksesoris,” jelas Kusdhianto saat ditanya soal keterbatasan ini. Di lain sisi, keterbatasan didukung dengan pengolahan sampah yang belum optimal. Sampah yang seringkali sudah dipisahkan, akhirnya harus kembali disatukan oleh sistem pengolahan sampah yang sederhana milik UGM.
Menyoal permasalahan sampah di kampus, penggunaan plastik sekali pakai masih menjadi ironi. Dikutip dari Harian Jogja, rata-rata volume sampah yang dihasilkan Kota Jogja dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan selama Juni 2018 tercatat 257 ton per hari. Dari jumlah fantastis tersebut, 20% berupa sampah plastik. Mirisnya, kampus ikut andil melalui penggunaan air mineral kemasan beserta sedotan plastik sehari-harinya. Konsumsi air mineral kemasan dalam sehari setidaknya mencapai 80 botol atau 50 kardus dalam seminggu. Anggaran yang dihabiskan pun tidak sedikit, yakni ditaksir hingga dua juta rupiah dalam sepekan.
Menanggapi isu ini, dekanat sudah berencana memangkas penggunaan air mineral dalam kemasan dan menambah titik-titik sumber penyediaan air minum: Toya Gama. Kemudian, air minum dalam kemasan akan diganti dengan pembelian tumbler untuk seluruh dosen dan karyawan FEB UGM. Walaupun nantinya akan terdapat pengeluaran lebih besar, dekanat menganggap ini merupakan sebuah investasi. Hanya saja, implementasi rencana ini tak kunjung hadir dan kerap dipertanyakan warga kampus.
Inisiatif FEB Hijau
Beberapa dosen juga sudah mulai menyadari pentingnya kampus ramah lingkungan. Salah satunya ialah Gunawan, dosen departemen Ilmu Ekonomi. “Isinya ide-ide (mengenai kampus ramah lingkungan, red) yang ingin diajukan ke dekan supaya bisa diimplementasikan,” jelas Gunawan mengenai Inisiatif FEB Hijau. Tujuan utamanya untuk mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai dan mengampanyekan ke seluruh warga FEB UGM. Saat ini inisiatif FEB Hijau sudah mengumpulkan sebelas gagasan.
Salah satu inisiatif FEB Hijau menyoroti persoalan penggunaan baterai pada mikrofon nirkabel. Dalam sehari terdapat 40 hingga 50 baterai bekas hasil proses belajar di kelas. Dalam setahun sebanyak 1.248 baterai dibeli oleh FEB UGM. Sementara itu, penggunaan mikrofon nirkabel berbuntut pada impak negatif. Tak bisa dipungkiri, baterai yang digunakan memang tidak awet dan membuat anggaran membengkak. Tidak sampai di situ, limbah merkuri yang terkandung juga belum bisa diolah dengan baik. Ironisnya, menurut Gunawan, sejatinya penggunaan mikrofon dengan kabel tidak mengganggu mobilitas seperti yang ditakutkan.
Kesadaran akan ramah lingkungan memang sudah memasuki masa kritis. Dari segala bidang kehidupan, banyak yang berlomba-lomba untuk mengampanyekan kesadaran akan kerusakan bumi saat ini. Tak luput, institusi pendidikan menjadi salah satu yang menggagas dan merencanakan cetak biru konsep ramah lingkungan. Racikan cetak biru yang tepat terus distimulasi untuk merealisasikan konsep ini. Namun, cetak biru hanya sekadar rencana apabila tanpa implementasi. “Universitas mencetak generasi penerus, jadi bukan hanya ilmu yang didapat tetapi wawasan dan budaya sadar akan lingkungan menjadi salah satu hal yang penting untuk disebarkan dan disosialisasikan,” tutup Gunawan.
(Siti Annissa dan Stephanus Arintaka/EQ)
Discussion about this post