Oleh Dellana Sasetyo/EQ
Dunia ini bukanlah sebuah utopia yang menjanjikan equality di setiap aspek kehidupan. Segala bentuk penyimpangan terhadap equality menjadi hal yang tidak terelakkan. Akibatnya, peradaban manusia tidak dapat sepenuhnya menolak terjadinya inequality. Seiring dengan berjalannya sejarah, manusia menciptakan sistem sosial yang memperburuk ketimpangan sosial. Salah satu sistem pemerintahan yang ekstrem dalam memperburuk ketimpangan sosial adalah oligarki. Oligarki mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan kekayaan dan kedudukan sosial keluarga. Sistem ini diterapkan di Uni Soviet pada masa kekuasaan Stalin pada tahun 1924 hingga 1953 . Ketidakadilan muncul bersamaan dengan inequality, seperti halnya hanya anggota partai komunis pendukung Stalin yang menjadi pejabat pemerintah. Hal tersebut menjadikan inequality sebagai bagian dari konstruksi sosial yang merupakan sebuah keniscayaan.
Untuk memberikan gambaran jelas mengenai inequality di dunia, Oxford Committee for Famine Relief (OXFAM) menyatakan bahwa top 1% orang kaya di dunia memiliki kekayaan dua kali lipat jika dibandingkan dengan 6,9 miliar orang di dunia. Di sisi lain, ada sekitar 735 juta orang yang hidup dalam perangkap kemiskinan. Pada tahun 2014, 48% global wealth dimiliki oleh top 1% orang terkaya di dunia. Angka tersebut diprediksi akan meningkat menjadi 52% pada tahun 2020. Data ini menunjukkan inequality yang akan selalu eksis dalam dunia ini.
Eksistensi inequality ternyata sudah ada sejak masa lampau, seperti pada zaman Pre-agrarian. Pre-agrarian dianggap sebagai zaman saat tingkat equality masih tinggi. Perkembangan menuju zaman agraris ditambah dengan munculnya shock membuat tingkat inequality mengalami kenaikan. Shock tersebut berupa ditemukannya teknologi yang meningkatkan produktivitas. Akan tetapi, hanya orang-orang yang mempunyai sumber daya teknologi yang berhasil berdiri di atas piramida sosial.
Prinsip “siapa yang memiliki sumber daya, maka dia yang berkuasa” akan terus berulang. Saat sistem monarki diterapkan, kesenjangan sosial semakin kentara karena stratifikasi sosial yang sangat bertingkat mulai dari keluarga kerajaan, bangsawan, hingga rakyat biasa. Dalam hal ini, terdapat perlakuan yang berbeda, antara kaum bangsawan yang secara finansial dan kekuasaan lebih tinggi dibanding dengan rakyat secara keseluruhan.
Revolusi Perancis menjadi awal populernya sistem demokrasi sebagai antitesis dari monarki. Pemberontakan yang terjadi menunjukkan sikap muak masyarakat terhadap sistem monarki yang hanya menguntungkan kaum bangsawan dan gereja, sedangkan rakyat biasa mengalami kelaparan. Akan tetapi, demokrasi sebagai sistem alternatif yang memberi kebebasan pada rakyat untuk memilih penguasa negara ternyata juga memiliki celah inequality. Demokrasi hanya mampu menghilangkan inequality secara politik tetapi tidak secara ekonomi. Meskipun secara politik masyarakat memiliki kesempatan dan akses dalam memilih pemimpin negara, keberadaan penguasa modal tetap menyebabkan kesenjangan ekonomi terjadi. Dengan demikian, demokrasi tidak akan mampu menghapuskan income inequality.

Koefisien Gini digunakan sebagai indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh dengan nilai 0 hingga 1. Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2017, koefisien Gini di United Kingdom menyentuh angka 0,36 sedangkan United States ada pada angka 0,39. Kedua negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda, United Kingdom yang monarki dan United States yang demokrasi. Koefisien Gini yang lebih dari nol tersebut dapat diartikan bahwa selalu ada celah untuk inequality pada setiap sistem yang diterapkan dengan asumsi bahwa faktor dan keadaan lain tidak mengalami perubahan.
Manusia dilahirkan dalam keadaan setara, tetapi faktor eksternal menyebabkan pengkotakan, misalnya orang dengan latar belakang tertentu akan lebih dihargai dibandingkan dengan golongan lain. Namun, manusia sendiri memiliki sifat kompetitif yang ada pada dirinya. Seorang penulis dari Amerika Serikat bernama Gore Vidal menyatakan bahwa: Whenever a friend succeeds, a little something in me dies. Keberadaan jiwa kompetitif ini yang kemudian memantik eksistensi inequality.

Hubungan antara kelas sosial dan usaha seseorang mencapai kesuksesan di masa mendatang dapat dijelaskan dengan Great Gatsby Curve. Kurva ini menjelaskan hubungan positif antara income inequality orang tua dengan mobilitas sosial anaknya di masa depan. Hal ini berarti masa depan generasi penerus akan sangat bergantung pada kelas sosial generasi pendahulunya.
Saat anomali terhadap kurva ini terjadi, maka kisah tersebut akan menjadi spotlight di tengah masyarakat. Anomali tersebut berupa munculnya golongan orang kaya yang berasal dari latar belakang keluarga miskin. Kisah anomali ini digambarkan oleh Do Won Chang yang sukses mendirikan fashion retailer Forever 21 tanpa latar belakang edukasi formal dan bahasa Inggris seadanya. Anomali semacam ini berarti seseorang berhasil mendobrak stigma yang terbentuk dalam masyarakat. Hal ini akan berdampak pada semakin banyaknya orang yang berhasil melakukan mobilitas sosial dan mengurangi kesenjangan yang ada.
Inequality memang tidak bisa dihapuskan begitu saja dari muka bumi meskipun didukung dengan adanya anomali terhadap great gatsby curve. Akan tetapi, hal ini juga tidak bisa dibiarkan makin berkembang hingga merugikan berbagai pihak. Inequality tidak selalu ditunggangi oleh unfairness. Dikenal dua istilah yang bisa menjelaskan situasi ini, yaitu fair inequality dan unfair inequality. Fair inequality terjadi saat output yang dihasilkan sebanding dengan usaha yang dilakukan. Sebaliknya, unfair inequality terjadi ketika satu pihak mendapatkan privilege tertentu yang menyebabkan tidak sebandingnya output dan usaha. Dengan demikian, Inequality adalah sesuatu yang normal asalkan tidak menimbulkan ketidakadilan yang seharusnya tidak didapatkan oleh beberapa orang.
Cara yang dapat dilakukan untuk hidup berdampingan dengan inequality adalah dengan menerapkan fair inequality. Ini dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai layanan untuk masyarakat umum seperti pendidikan, healthcare, dan pekerjaan. Setiap orang akan mempunyai akses terhadap layanan umum tersebut, meskipun pasti ada saja sekumpulan orang yang mendapatkan akses lebih eksklusif. Namun, setidaknya, ketika aspek-aspek dasar kebutuhan manusia untuk berkembang terpenuhi, standard of living akan meningkat. Hal ini akan berpengaruh terhadap berkurangnya kesenjangan sosial.
Sesungguhnya, hal yang membuat inequality menjadi sesuatu yang salah adalah karena unfairness yang ditimbulkan. Keberadaan inequality yang tetap mengedepankan fairness kepada semua orang tanpa terkecuali adalah tindakan yang seharusnya dilakukan. Jika semua orang mendapat layanan umum yang optimal, besar kemungkinan muncul anomali-anomali lain yang mampu menggebrak sistem great gatsby curve di masa yang akan datang. Gebrakan-gebrakan inilah yang menyebabkan semakin banyaknya pemilik modal baru yang berhasil melakukan mobilitas sosial, sehingga tingkat kesenjangan sosial yang terjadi akan berkurang.
Referensi:
Aldred, Jonathan. (2019). ‘Socialism for the rich’: the evils of bad economics. Diakses melalui: https://www.theguardian.com/inequality/2019/jun/06/socialism-for-the-rich-the-evils-of-bad-economics
Bloom, Paul. Christina Starmans, dan Mark Sheskin. (2017). The science of inequality: why people prefer unequal societies. Diakses melalui: https://www.theguardian.com/inequality/2017/may/04/science-inequality-why-people-prefer-unequal-societies
Boix, Charles. (2015). Political Order and Inequality. New York: Cambridge Press University.
Boix, Charles. (2010). Origins and Persistence of Economic Inequality. New jersey: Princeton University.
Firmanzah. (2012). Demokrasi, Kemiskinan, dan “Inequality”. Diakses melalui: https://amp.kompas.com/nasional/read/2012/10/30/11200060/~Nasional?page=all#page2
Hansen, Drew. (2018). The Troubling Economic Trend Is Unfairness, Not Inequality. Diakses melalui: https://www.forbes.com/sites/drewhansen/2018/07/10/troubling-trend-unfairness-not-inequality/#16ad62e46f7f
Lufkin, Bryan. (2017). There’s a problem with the way we define inequality. Diakses melalui: https://www.bbc.com/future/article/20170706-theres-a-problem-with-the-way-we-define-inequality
McDowell, Erin. (2019). 20 rags to riches stories that will blow your mind. Diakses melalui:https://www.businessinsider.sg/millionaires-billionaires-who-came-from-nothing-rags-to-riches-stories-2019-7?r=US&IR=T
Merrill, Dave. (2013). The Great Gatsby Curve: Declining Mobility. Diakses melalui: https://www.bloomberg.com/graphics/infographics/the-great-gatsby-curve-explained.html
OECD. (2020). Income inequality (indicator). Diakses melalui: OECD. https://data.oecd.org/inequality/income-inequality.htm
OXFAM International. (2020). 5 Shocking facts about extreme global inequality and how to even it up. Diakses melalui: https://www.oxfam.org/en/5-shocking-facts-about-extreme-global-inequality-and-how-even-it
Phan, Sam. (2020). Wealth gap widening for more than 70% of global population, researchers find. Diakses melalui: https://www.theguardian.com/global-development/2020/jan/22/wealth-gap-widening-for-more-than-70-per-cent-of-global-population-researchers-find
Sheskin, Mark. (2018). The inequality delusion: Why we’ve got the wealth gap all wrong. Diakses melalui: https://www.newscientist.com/article/mg23731710-300-the-inequality-delusion-why-weve-got-the-wealth-gap-all-wrong/#ixzz6H7ofyNzO
Discussion about this post