Diambil dari kata independent, indie dalam ranah permusikan memang akan jauh lebih tepat bilamana didefinisikan sebagai suatu gerakan penciptaan karya secara bebas tanpa intervensi apapun dan tanpa keterikatan dengan label produksi manapun. Berbekal prinsip tersebut, indie sebagai sebuah paham dalam bermusik terbukti dapat dengan sendirinya mencapai tahap keberagaman karya yang tinggi. Hal ini berdampak pada adanya otomatisasi peningkatan peluang pasar musik indie dengan penawaran paling menggiurkannya: ketiadaan stagnasi karya.
“Setuju sih kalau dibilang indie itu bukan sebuah genre,” jelas Illona, vokalis grup musik Illona and The Soul Project atau yang akrab dikenal dengan sebutan Illona ATSP (29/4). “Kalau buat aku pribadi, indie itu lebih kepada proses produksi yang independen. Tidak dinaungi oleh label-label mayor, tapi bukan berarti musik ini berbeda secara keseluruhan dari musik-musik pada umumnya,” imbuhnya. Ya, independensi produksi ini memang tidak secara langsung memberikan impak pada output. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa –walau tidak tampak pada corak karyanya– perbedaan itu tetap ada dan seolah membawa indie kepada keunikannya sendiri.
Menelaah perbedaan musik indie dengan non-indie memang tidak dapat disamakan dengan menelaah perbedaan antara misalnya musik pop dan jaz atau rok dan blues. Batasan antara musik indie dan non-indie boleh jadi justru terletak pada keberagaman substansi di dalam musik itu sendiri. Kemandirian produksi yang diusung musik indie lumrahnya lebih memberikan ruang bagi para musisi untuk leluasa memilih orientasi karyanya masing-masing. Hal itu terjadi lantaran tanpa keterikatan dengan label produksi manapun, seorang musisi tentu akan dapat membuahkan karya seni yang lebih murni. Oleh karena itu, karya yang dihasilkan akan diwarnai dengan ide-ide liar sang kreator tanpa harus terlalu terikat oleh tren pasar atau tuntutan dapur rekaman tertentu.
“Soal ciri khas ataupun karakter itu aku yakin semua musisi punya sendiri-sendiri, cuma mungkin pada akhirnya yang bener-bener dinikmati masyarakat dalam hal ide-ide melalui kebebasan mereka berkarya itu sejauh ini ya musisi-musisi indie,” papar Illona. Di sisi lain, pemaknaan masyarakat terhadap musik itu sendiri tampak perlahan mengalami pergeseran. Tidak lagi sekadar wadah berekspresi, saat ini lagu boleh jadi dianggap sebagai penggambaran diri seseorang. “Lagu indie itu biasanya bener-bener ngangkat isu yang emang orang senang. Misal lagunya Efek Rumah Kaca yang cenderung ke isu-isu politik, Barasuara mungkin isu-isu sosial, kemudian Fiersa Besari tentang sastra. Jadi, musik indie lebih kepada eksplorasi yang mendalam di musik itu. Akhirnya musik menjadi semacam identitas,” terangnya.
Ihwal musik indie yang dewasa ini kian prominen di masyarakat tentu tidak perlu diperdebatkan lagi. Dilihat dari perjalanan musik indie dari waktu ke waktu, anggapan saat ini bahwa musik indie sedang menemui masa-masa gemilangnya mungkin ada benarnya. Meski demikian, Illona tetap tidak membenarkan bilamana musik indie dianggap sudah dalam kondisi yang bagus. “Bagus atau enggak itu relatif, sih. Tapi mungkin saat ini (musik indie) sudah berkembang, lebih berkembang,” tutur Illona. Namun, terlepas dari torehan tersebut, sebagai sebuah cabang seni musik tentu indie tidak bisa cepat puas. Penyesuaian demi penyesuaian rasanya mutlak dilakukan para pelaku musik indie untuk dapat terus mengibarkan panjinya dan bertahan di tengah ketatnya persaingan belantika musik tanah air.
“Sudah pasti perlu improvement karena yang namanya pengembangan itu kan dinamis. Pokoknya inovasi, bisa melalui musiknya, stage performance-nya, atau bahkan masing-masing player-nya,” jelas Illona. Belum lagi, kompleksitas persoalan kian meningkat akibat adanya tantangan baru berupa apa yang kita sebut “digitalisasi”. Sebut saja Joox atau Spotify, berapa banyak di antara kita khususnya generasi millenial yang tidak mengenalnya? Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil sehingga tidak perlu dipertimbangkan. Platform-platform musik online seperti inilah yang barangkali membuat musik indie lebih mudah berkembang dan mengorientasikan diri kepada khalayak.
Meski begitu, fenomena digitalisasi ini boleh jadi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi digitalisasi memudahkan aksesibilitas terhadap musik, tetapi di lain sisi dapat menjadi malapetaka. “Kayak sekarang Spotify itu kan, misal orang udah nggak suka sama lagunya di intro doang mereka bakal langsung next, next, ganti lagu,” keluh Illona. Kemungkinan-kemungkinan semacam inilah yang membuat para kreator musik harus terus berhati-hati dan pandai memutar otak dalam upaya mencari cara bagaimana memuaskan selera pendengar.
Ya, digitalisasi, ketatnya persaingan pasar, hingga warna-warni selera pendengar yang harus dipuaskan hanyalah sepetak kecil dari jalaran ruwet persoalan dunia permusikan. Perkara bagaimana sebuah karya dapat bertahan barangkali merupakan bonus. Hal paling utama mestinya ialah bagaimana menyuguhkan ide-ide segar yang laik didengar oleh para penikmat musik. Disadari atau tidak, sejatinya terlampau banyak pelajaran yang harus diambil dari kisah-kisah genre musik yang lebih dulu berkiprah. Mereka timbul tenggelam begitu mudah pada deras arus waktu dan ayun selera masyarakat. Lalu, benarkah indie hadir untuk menjawab itu semua?
(Abhinaya Rasendriya dan Aning Era Reformasi/EQ)
Discussion about this post