Penulis: Maulana Ryan/EQ
Illustrator: Muhammad Akmal Farouqi/EQ
Di kala umat Islam berkiblat kepada Kabah di Mekkah, dunia ekonomi mengenal beberapa ‘kiblat’ indikator kesehatan ekonomi menggunakan pasar modal. Naik turunnya indeks pasar modal dipercayai sebagai barometer kondisi perekonomian. Akan tetapi, prinsip tersebut seakan-akan tak kasat mata pada kondisi saat ini. Per Juli 2020, pandemi Covid-19 telah menyebabkan terhentinya aktivitas ekonomi dan jutaan pekerja dirumahkan. Hal berkebalikan menimpa pasar modal, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) relatif stabil dan bahkan bertren positif selama satu bulan terakhir. Lantas, mengapa pasar modal seakan-akan tercerai dari perekonomian?
Pasar Modal dan Ekonomi?
Asosiasi pasar modal dan perekonomian secara umum dapat ditelusuri ke World Development Report tahun 2000 oleh Bank Dunia. Laporan tersebut melahirkan Financial Market Theory of Development, yang beranggapan bahwa terbukanya akses pasar modal yang diregulasikan kepada investor asing merupakan langkah paling terjamin bagi suatu negara menuju perkembangan ekonomi. Menurut teori ini, pasar modal memungkinkan penyediaan modal dari negara maju ke bisnis-bisnis di negara berkembang. Untuk itu, perusahaan tidak perlu bergantung kepada pinjaman maupun bantuan yang didasarkan pada maksud politis. Hasil akhirnya adalah bebasnya modal dari struktur pemerintahan yang tidak efisien dan korup, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan potensi kewirausahaan.
Kemampuan prediktif pasar modal juga dapat didukung prinsip-prinsip teori wealth effect, yang menyebutkan bahwa perubahan pengeluaran individu akan selaras dengan perubahan nilai kekayaan yang dimiliki. Dengan kata lain, orang-orang akan membelanjakan lebih banyak ketika nilai aset mereka meningkat. Untuk itu, Pearce (1983) berpendapat bahwa kondisi perekonomian dapat diprediksi dari fluktuasi pada pasar modal yang memengaruhi pengeluaran agregat. Di kala pasar modal bertren positif, nilai aset investor akan meningkat dan begitu pula konsumsi. Meningkatnya konsumsi berkontribusi kepada permintaan agregat, yang mengindikasikan ekspansi perekonomian.
Dualitas Kemampuan Pasar Modal sebagai Barometer Perekonomian
Kepiawaian pasar modal sebagai prediktor tren perekonomian tidak hanya didukung teori. Periode penurunan nilai aset-aset pasar, lebih dikenal dengan istilah bear markets, menjadi salah satu penanda akan hadirnya resesi. Hal ini dapat dilihat pada market crash yang terjadi di Wall Street pada tahun 1929. Bermula pada Kamis, 24 Oktober 1929, yang dikenal dengan nama Black Thursday. Kejadian yang juga dikenal dengan nama the Great Crash atau Keruntuhan Wall Streettersebut bergulir selama empat tahun. Pada akhirnya, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) kehilangan 50% nilainya dan terjadi fase perekonomian terburuk di dalam sejarah Amerika Serikat, the Great Depression (Scardino, 1987). Imbasnya, produksi industrial jatuh sebesar 45% dan butuh waktu empat tahun untuk pulih kembali seperti semula (Board of Governors of the Federal Reserve System, 2013).

Hal serupa juga kentara pada krisis ekonomi di Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG mencatat penurunan sebesar 54,17% di penghujung tahun 1997, beriringan dengan hadirnya krisis finansial yang melanda Indonesia beserta sejumlah negara tetangga (Aldin, 2020). Pada krisis ini pula terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Nilai rupiah anjlok melampaui 80%, menyebabkan melonjaknya nilai utang luar negeri dan biaya impor. Oleh karena itu, terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 1998 pada semua sektor kecuali agrikultur (Akbar, 2020).
Peristiwa ekonomi signifikan seperti fase resesi dan depresi terbukti bermula dengan kemerosotan pasar modal. Akan tetapi, tren negatif pada pasar modal belum tentu berakhir pada krisis ekonomi. Secara historikal, hanya satu dari tiga peristiwa bear markets di Amerika Serikat pada era 1960-an yang berakhir pada resesi. Begitu pula dengan bear market yang terjadi pada 19 Oktober 1987. Peristiwa yang kemudian dinamakan Black Monday tersebut merupakan penurunan terbesar dalam periode sehari. Walaupun begitu, perekonomian AS tidak mengalami resesi dan terus tumbuh (Russel & Grocer, 2020).

Tren positif pada pasar modal juga tidak menandakan perekonomian yang tumbuh pesat. Tidak jarang pasar modal berjaya di tengah-tengah krisis. Indeks Standard & Poor’s (S&P) 500 dan Nasdaq menyambut peningkatan signifikan pada bulan-bulan terakhir di tengah konflik rasial, tren PHK massal, dan krisis kesehatan yang melanda Amerika Serikat (Egan, 2020). Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dengan IHSG mencatat tren relatif stabil sejak Juni lalu walaupun ancaman resesi muncul, pengangguran meningkat, dan pandemi masih melanda. Apabila asosiasi pasar modal dan kenyataan ekonomi sesungguhnya masuk akal dan dapat terjadi, lantas apa yang menyebabkan gap antara keduanya?
Ekspektasi Menjadi-jadi
Kita tidak boleh lupa bahwa investor pasar modal pun juga manusia, bukan proyeksi Homo economicus dengan akses informasi yang tak terbatas. Untuk itu, pergerakan pasar modal pun terpengaruh oleh ekspektasi investor yang berdasarkan emosi dan dipengaruhi pemberitaan media. Dalam kasus Covid-19, kebanyakan investor merespon negatif terhadap pemberitahuan kebijakan social distancing, tetapi merespon positif secara signifikan berita-berita stimulus pemerintah, program sosialisasi, dan kebijakan testing dan karantina (Ashraf, 2020). Alhasil, pasar modal pun bertindak sesuai sentimen investor, bukan kondisi sektor riil.
Selain itu, sejumlah pihak oportunis memanfaatkan pandemi untuk berinvestasi ketika pasar modal anjlok. Studi oleh Anginer, et al. (2020) mengindikasikan adanya insider trading atau perdagangan orang dalam pada akhir Februari 2020, momen-momen awal efek negatif pandemi menghantam pasar modal. Tercatat adanya peningkatan tren pembelian pada sektor keuangan, energi, dan barang konsumen tidak tahan lama (pangan, pakaian, mainan) pada pasar modal di Kanada, Italia, Spanyol, dan Korea Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa investor menganggap efek pandemi kepada pasar modal dan aktivitas ekonomi sebagai temporer, walaupun indikator-indikator lain berkata sebaliknya. Selain itu, gelombang oportunis tersebut juga dapat berkontribusi positif kepada pergerakan pasar, meskipun perekonomian secara luas masih menghadapi musibah.
Cerminan (Sebagian) Ekonomi
Perlu diketahui bahwa aset-aset pada pasar modal tidak mencakup keseluruhan perekonomian. Pasar saham hanya menawarkan saham perusahaan publik yang telah PUP (Penawaran Umum Perdana). Untuk itu, aktivitas ekonomi pada sektor dan tingkat lain seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan sektor informal tidak dapat direpresentasikan oleh kondisi pasar modal. Selain itu, indeks sebagai tolok ukur performa pasar memiliki titik buta inheren, yakni hanya menilai aset-aset tertentu saja. Walaupun efektif dalam menggambarkan tren sentimen investor, indeks pasar modal tidak dapat memberi deskripsi akurat kondisi suatu perekonomian.
Perlu disadari pula bahwa pegiat pasar saham tidak mencakup semua lapisan masyarakat. Data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia per Juni 2020 mencatat hanya sekitar 2,9 juta individu atau sekitar 0,01% dari populasi Indonesia, berpartisipasi sebagai investor pasar modal. Selain itu, sebanyak 88,4% investor berpenghasilan lebih dari Rp10 juta dan 60,21% dari investor pasar modal berpendidikan D3 atau lebih tinggi. Walaupun begitu, perlu diakui bahwa pasar modal telah meningkatkan inklusivitasnya, dengan jumlah partisipasi yang meningkat dari tahun ke tahun dan keberagaman profesi investor yang mencakup pegawai, pelajar, pengusaha, bahkan ibu rumah tangga (Kontan, 2020).
Penutup
Perlu diakui bahwa dewasa kini prevalensi pasar modal bukan bermuara dari prediksi akurat investor terhadap produktivitas perusahaan, tetapi sekadar prakiraan imperfek yang tak luput dari berbagai sentimen dan bias. Atas dasar tersebut, tidak tepat bagi kita untuk memandang pasar modal sebagai barometer perekonomian secara umum.
Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang bukanlah mengenai seberapa besar kemanjuran pasar modal dalam memprediksi sektor riil atau alasan terjadinya kesenjangan antara keduanya. Perlu ada suatu mekanisme sehingga pasar modal dapat kembali menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dan lebih inklusif menguntungkan semua orang dari segala lapisan kekayaan. Selain itu, diperlukan pula mekanisme untuk meminimalisasi dampak ketidakpastian dan emosi irasional investor pada pergerakan pasar modal. Layaknya kutipan dari John Maynard Keynes pada Chapter 12 buku The General Theory of Employment, Interest and Money:
“When the capital development of a country becomes the by-product of the activities of a casino, the job is likely to be ill-done.”
–
Referensi
Akbar, J., 2020. Sejarah Resesi Ekonomi Di Indonesia Halaman All. – Kompas.Com. [online] KOMPAS.com. Available at: https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/07/140900865/sejarah-resesi-ekonomi-di-indonesia?page=all [Accessed 10 August 2020].
Aldin, I., 2020. Cerita Dirut BEI Soal Anjloknya IHSG Saat Krisis 1998 Dan 2008 – Bursa Katadata.Co.Id. [online] Katadata.co.id. Available at: https://katadata.co.id/yuliawati/finansial/5ef5eb92b5cee/cerita-dirut-bei-soal-anjloknya-ihsg-saat-krisis-1998-dan-2008 [Accessed 10 August 2020].
Ashraf, B.N., 2020. Economic impact of government interventions during the COVID-19 pandemic: International evidence from financial markets. Journal of Behavioral and Experimental Finance, p.100371.
Board of Governors of the Federal Reserve System, 2013. Industrial Production and Capacity Utilization. Statistical release G.17; Available at: http://www.federalreserve.gov/releases/g17/current/
Egan, M., 2020. America Is In Turmoil And Stocks Are Booming. Is The Market Broken?. [online] CNN. Available at: https://edition.cnn.com/2020/06/03/investing/stocks-market-dow-jones-riots-coronavirus/index.html [Accessed 10 August 2020].
Keynes, J. M. (1936). The general theory of employment, interest, and money. London: Macmillan and Co.
Kontan, 2020. Inilah Wajah Pasar Modal Tanah Air, Milenial Kuasai 45,74% Sebaran Investor Di Bursa. [online] Kontan.co.id. Available at: https://investasi.kontan.co.id/news/inilah-wajah-pasar-modal-tanah-air-milenial-kuasai-4574-sebaran-investor-di-bursa [Accessed 15 August 2020].
Russel, K. and Grocer, S., 2020. Do Recessions Always Follow Major Stock Market Downturns? Usually. [online] Nytimes.com. Available at: https://www.nytimes.com/interactive/2020/03/18/business/coronavirus-stock-market-recessions.html [Accessed 10 August 2020].
Scardino, A., 1987. The Market Turmoil: Past Lessons, Present Advice; Did 29 Crash Spark the Depression. New York Times.
Sumber Grafik
Linimasa Perbandingan terjadinya Bear Markets dan Resesi Ekonomi di Amerika Serikat
Grafik:https://www.nytimes.com/interactive/2020/03/18/business/coronavirus-stock-market-recessions.html
Produksi Industrial selama the Great Depression
Grafik: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:1930Industry.svg
Sumber data: https://fred.stlouisfed.org/data/INDPRO.txt
Indeks DJIA selama the Great Depression
Grafik:https://en.wikipedia.org/wiki/Great_Depression#/media/File:1929_wall_street_crash_graph.svg
Sumber data:
Data dari 1900-1993Carnegie Mellon University StatLib Library. at http://www.stat.cmu.edu/cmu
-stats/ (Sumber asli, akses terbatas)
https://web.archive.org/web/20131005004054/http://www.automationinformation.com/DJIA/dow_jones_closing_prices_1921_to_1930.htm (Sumber merujuk ke data Carnegie Mellon dan Yahoo, akses terbuka lewat Wayback Machine)
Discussion about this post