Tren makanan silih berganti mewarnai dunia kuliner di Yogyakarta. Rasa manis es kepal milo masih membekas di langit-langit mulut. Gurihnya sate taichan masih hadir di setiap decapan lidah. Namun, sadarkah bahwa hal-hal itu sudah jarang ditemui sekarang? Es kepal milo dan sate taichan yang dulu mudah ditemui di setiap penjuru tempat di Yogyakarta, kini keberadaannya mulai langka. Dua makanan di atas hanyalah sedikit contoh dari makanan yang pernah ramai merajai pasar dan kini pelan-pelan redup sinarnya. Lalu, apakah hal serupa akan terjadi juga pada bisnis kopi susu di Yogyakarta?
Ternyata, fenomena muncul dan hilangnya makanan secara tiba-tiba seperti itu mempunyai julukannya sendiri di dalam ekonomi, yaitu bubble burst. Suatu keadaan dianalogikan sebagai bubble ketika terjadi lonjakan permintaan barang secara drastis tanpa diikuti alasan yang jelas. Dengan begitu, biasanya lonjakan tersebut berlangsung hanya dalam waktu yang singkat. Ketika permintaan barang tersebut akhirnya menurun, peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai bubble burst.
Fakta tersebut menimbulkan tanya, akankah kopi susu memiliki nasib sama seperti para pendahulunya? Jika diamati lebih dalam, sekarang ini, jenis minuman kopi susu dapat ditemui hampir di setiap titik di kota Yogyakarta. Sampai tahun 2017, tercatat ada sebanyak 1.200 toko kopi yang tersebar di Yogyakarta. Dari seluruh toko kopi yang ada tersebut, kopi susu tidak pernah luput sebagai salah satu jenis minuman yang ditawarkan di dalam daftar menu. Menjamurnya bisnis toko kopi di Yogyakarta sudah dimulai sejak tahun 2013 dan terus berkembang pesat hingga saat ini.
Fenomena di atas merupakan salah satu bagian dari bubble burst. Menurut ekonom Hyman P. Minsky, terdapat lima tahap dari bubble burst. Lima tahap tersebut adalah pemindahan, ledakan, euforia, pengambilan profit, dan yang terakhir kepanikan. Fenomena di atas merupakan contoh dari tahap euforia, yaitu ketika industri menjadi besar dan diikuti harga yang mulai naik. Untuk sebagian pemain lama, mereka sudah dapat mencicipi tahap selanjutnya yaitu pengambilan profit.
Ramainya persaingan industri toko kopi seolah tidak menjadi halangan di mata para pengusaha. Salah satu diantaranya Ruas Coffee yang baru saja berdiri tanggal 23 Agustus 2019. “Menurut kami semakin banyak coffee shop di Yogya maka artinya akan semakin banyak konsumen kopi di Yogya.” Hal tersebut menunjukan bahwa Ruas Coffee tidak gentar terhadap fakta banyaknya toko kopi di Yogyakarta. Bahkan sebelum memutuskan untuk membuka gerainya, pihak manajemen Ruas Coffee sudah melakukan survei dan menemukan fakta bahwa setidaknya ada satu sampai dua toko kopi baru di Yogyakarta setiap bulannya. Namun, hal tersebut bukanlah halangan bagi mereka untuk tetap ikut turun dalam industri toko kopi di Yogyakarta. Hal senada juga diungkapkan Eko Senputra, pemilik dari Sebelas Coffee. Sebagai salah satu pendatang baru di industri kopi, Eko menilai bahwa toko kopi merupakan sebuah bisnis yang berjangka panjang. Model bisnis franchise yang ia terapkan serta kolaborasi dengan platform online seperti Gojek dan Grab Food membuat ia percaya bahwa Sebelas dapat menjadi berbeda di antara toko kopi lain.

Soal persaingan, Ruas Coffee menganggap bahwa tidak ada istilah persaingan di antara sesama penjual kopi. Mereka percaya bahwa setiap toko kopi mempunyai ciri khas dan konsepnya sendiri yang menjadi pembeda antara toko kopi yang satu dengan yang lainnya. Berbeda dari Ruas Coffee, Eko merasa bahwa persaingan adalah hal yang wajar dalam berbisnis. “Ya tetap inovasi dan tetap mendahulukan kualitas dan kepuasaan pelanggan. Terbukti retention rate kami di online platform 70 persen,” tutup Eko.
Maraknya tren toko kopi di Yogyakarta memang menarik bagi para pencari peluang. Namun, di balik indahnya keuntungan yang ditawarkan, usaha-usaha ini seolah diburu bom waktu. Isyarat akan terjadinya ‘ledakan’ pada industri ini perlu diwaspadai. Sampai saatnya industri kopi di Yogyakarta mencapai tahap akhir bubble burst yaitu kepanikan, mari bersantai sembari menikmati segelas kopi, selagi bisa.
(Alula Putri dan Ana Anselma/EQ)
Ilustrasi oleh Nandang Ary Pangesti
Discussion about this post