Oleh: Achmad Rizki Muazam
Malam itu terasa dingin, angin bertiup lebih kencang dari malam sebelumnya. Suara jangkrik mendominasi malam. Kali ini, tidak ada suara-suara bising kendaraan. Tepat jam 00.00 dini hari, air hujan membasahi daun dan pepohonan. Bau tanah setelah hujan tercium dengan jelas.
Sekali, dua kali, terdengar suara sirene ambulans. Entah mengantar jenazah atau pasien positif corona.
Sejak bencana wabah corona melanda Ibu Pertiwi, pemerintah menerapkan pembatasan sosial bagi masyarakat, terutama di Jabodetabek. Masyarakat dilarang keluar rumah, sedangkan perkantoran, pertokoan, pusat perbelanjaan, mall, sekolah, kampus, dan tempat-tempat penuh keramaian ditutup. Semua pegawai, baik itu negeri atau swasta, dan pelajar dianjurkan untuk melakukan aktivitas dari rumah saja. Maka sejak itu pula, jalan raya maupun perkampungan menjadi sepi. Tak ada lagi motor hilir mudik untuk sekadar mengantar pengendaranya bersua sanak saudara dan teman. Tak ramai lagi pinggir-pinggir jalan dengan orang berkumpul untuk sekadar ngopi dan berbincang hangat. Polisi sekali-sekali berkeliling untuk mengimbau masyarakat yang masih berkeliaran di jalan atau berkumpul. Bahkan, polisi juga mengimbau warung-warung angkringan agar tidak menerima pembeli yang makan di tempat.
Aku dan empat orang teman sedari isya berkumpul di rumah Muhmud. Tugas kuliah memaksa kami bertemu walaupun perkuliahan dialihkan menjadi perkuliahan jarak jauh atau daring. Dosen kami memberikan tugas kelompok untuk dikerjakan dan mengimbau agar dikerjakan secara jarak jauh saja. Namun, kami menganggap bertemu jauh lebih efektif dalam mengerjakan tugas.
Disela-sela kesibukan menyelesaikan tugas, kami masih sempat mengobrol dan bersenda gurau. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan rasa jenuh dan rasa kangen karena hampir tiga pekan kami tak jumpa, di rumah saja. Tiba-tiba, bunyi “kriuk” terdengar dari perut tak hanya sekali. Kami saling melirik satu sama lain untuk mencari perut siapa yang berbunyi. Selang beberapa menit, Robot (nama samaran) berucap, “Duh, lapar, nih. Kita beli gorengan, yuk!” Kami bergegas mengeluarkan uang dari saku masing-masing.
Aku dan Robot memutuskan keluar rumah. Apa boleh buat, bunyi dari perut memaksa kami keluar. Bukan kami tidak patuh dengan imbauan pemerintah atau tak takut penyakit, tetapi ini urusan perut. Tak boleh ditunda lagi, enggak bisa ditahan! Kalau kami tetap memilih berdiam diri, justru bisa jadi kami sakit akibat menahan lapar.
Aku keluar dengan mengendarai motor. Jarum jam menunjukkan pukul 02.00. Jalan yang kulalui benar-benar sepi. Minimarket yang biasanya buka hingga pagi kini tertutup rapat, hanya satu-dua warung kelontong yang masih buka. Kendaraan tak banyak yang berlalu, hanya ada kami. Sekitar satu kilometer perjalanan, kami menemukan rumah di pinggir jalan dekat persimpangan Tugu Macan. Bangunan rumah tersebut nampak tua. Di depannya, terdapat empat orang yang sedang makan. Terdapat etalase dengan isi berbagai macam lauk-pauk; telur balado, tempe orek, bihun, ayam goreng, semur tahu, semur jengkol, mi goreng, dan lainnya. Bakul dengan warna cokelat yang agak sedikit kusam berisikan nasi uduk. Berbagai gorengan yang masih hangat baru diangkat dari wajan berjejer di atas meja; ada tahu, tempe, pisang, risol, dan bakwan. Sebuah televisi tabung ukuran 14 inci dengan layar agak buram menjadi teman bagi mereka yang sedang makan.
Pemilik rumah sekaligus warung nasi uduk ini adalah sepasang suami-istri yang sudah lumayan sepuh. Nampak seorang pria dengan peci putih, rambut putih, dan kulit yang sudah mengkerut sedang menggoreng. Seorang wanita mengenakan jilbab hitam dengan daster panjang hingga ke ujung kaki. Nampak kulitnya pun keriput. Ia sedang menyendok nasi sambil menanyakan lauk yang diinginkan pelanggan. Mereka yang beli nasi maupun makanan memanggil kedua orang tersebut dengan sebutan Baba dan Enyak, panggilan khas daerah Citayam untuk pria dan wanita yang sudah sepuh.
Kehadiranku dan Robot disambut hangat dengan penuh senyum oleh Enyak. “Mau beli apa, Dik?” tanyanya. Kujawab, “Beli nasik uduk lima bungkus dan gorengannya, Nyak.” Lantas, ia melayani sambil balik menanyakan tempat tinggalku. Mungkin ia merasa asing dengan mukaku. Obrolan kami semakin panjang, tak hanya perihal tempat tinggal. Kami juga sempat menyinggung kondisi akhir-akhir ini, dampak dari corona.
Warung nasi uduk Enyak dan Baba memang buka 24 jam, tak pernah tutup. Nasi uduk tersedia sejak pagi dan setelah petang hingga malam. Siang dan sore hari tak tersedia nasi uduk, hanya tersedia gorengan dan makanan ringan tradisional, seperti: combro, misro, gemblong ketan, kue dadar gulung, dan lain sebagainya. Saat kondisi wabah seperti ini, Baba mengeluhkan penghasilannya yang berkurang dari biasanya. Tidak begitu banyak orang yang mampir ke warungnya karena kebanyakan orang lebih memilih masak sendiri atau delivery.
Bagi Baba dan Enyak, berdagang tiap hari menjadi keharusan yang tidak bisa dihindarkan. Sumber penghidupan mereka dan keluarga ada di warung tersebut. Apabila mereka tak dagang sehari saja, bisa-bisa dapurnya tidak mengepul. Meski di usia yang sepuh, mereka masih gigih dan semangat mencari nafkah demi menyambung hidup. Mereka mengaku hasil usahanya itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalaupun ada lebih sedikit, ditabungnya rezeki tersebut.
Ada hal menarik yang menjadi prinsip Enyak dan Baba dalam menanggapi wabah corona. Mereka tidak berlarut-larut dan terjebak dalam kepanikan. Mereka percaya urusan penyakit dan mati sudah wewenang Tuhan. Bagi mereka, setiap manusia pasti akan menemui ajalnya cepat atau lambat – baik kondisi sakit maupun sehat. “Kena corona atau tidak, pasti akan mati. Enggak bisa dimajuin sedikit saja dan tidak bisa pula dimundur barang sedetik pun” tegas Enyak.
Prinsip Enyak dan Baba sebagai manusia cukup sederhana: mereka menyerahkan diri kepada Sang Mahakuasa. Sebagai manusia, mereka hanya bisa berusaha sebatas kemampuannya dalam mencegah corona. Mereka tetap waspada, bukan berarti tidak mengindahkan penyakit. Ada hal yang lebih penting ketimbang ketakutan corona, yakni menghidupi keluarganya. Mereka tak mungkin membiarkan keluarganya kelaparan.
****
Setelah kami mengobrol, tak terasa pesanan telah selesai. Aku bergegas membayar makanan tersebut. Dingin malam semakin terasa menusuk tulang. Jalanan pun makin terlihat sepi, sepanjang jalan tidak ada warung satu pun yang buka. Di tengah perjalanan, hatiku terengah membayangkan kata-kata Enyak dan Baba tadi. Kuberpikir bahwa di tengah wabah corona seperti ini, masih ada orang yang berjuang untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Mungkin Enyak dan Baba bukan satu-satunya orang yang berjuang. Di luar sana, masih ada banyak orang berusaha tetap menghidupi keluarganya meskipun bisa saja nyawa yang menjadi taruhannya. Bahkan, mungkin bisa saja ada yang tidak makan atau menahan lapar karena penghasilan tak menentu di tengah wabah corona.
Aku berpikir bahwa bencana kelaparan, gizi buruk, dan kekurangan pangan lebih besar jumlahnya dan menakutkan ketimbang wabah corona. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, pada 2018 ada lebih dari 821 juta orang menderita kelaparan, gizi buruk, dan kekurangan pangan di seluruh dunia. Sementara itu, orang terinfeksi virus corona menurut catatan Worldometers berjumlah 1,19 juta di seluruh dunia.
Data tersebut menunjukkan bahwa ada yang lebih berbahaya daripada corona, yakni bencana kelaparan. Bagaimanapun juga, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dari wacana saling membantu – gotong royong. Rasa kemanusiaan dan kepedulian dengan sesama harus tetap dipupuk dan disiram agar tak layu, bahkan punah. Apalagi di kondisi sulit seperti saat ini, ekonomi keluarga dan negara sedang tidak stabil. Sudah seharusnya kita melihat, mendengar, dan memperhatikan lingkungan sekitar. Apakah tetangga sebelah kiri, kanan, depan, dan belakang sudah makan atau belum? memiliki uang untuk membeli makan atau tidak? Jangan sampai setelah wabah ini berlalu, justru terbit bencana baru, yaitu kelaparan.
“Woi, udah sampe. Ayo turun, jangan melamun,” ujar Robot sambil menggoyangkan motor. Tak terasa, aku telah sampai di rumah Muhmud. Teman-teman di dalam sudah menunggu sambil menguap, dan bahkan ada yang tertidur. “Maaf, ya, kami lama. Tadi mengobrol dulu dengan tukang nasi uduk,” ujarku. Akhirnya, kami menikmati nasi uduk dengan lauk dan sambal enak.
Discussion about this post