WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Pemenuhan Hak dan Kesejahteraan Anak yang Belum Optimal, Siapa yang Salah?

Oleh: Leila Chanifah Zuhri/EQ

Dewasa ini, masalah pemenuhan hak dan kesejahteraan anak yang belum optimal masih menjadi PR serius bagi pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat tak kurang dari 4,1 juta anak berusia 6-21 tahun tidak sekolah. Berbagai upaya yang gencar dilakukan berbanding lurus dengan semakin terwujudnya pemenuhan atas hak dan kesejahteraan tersebut. Akan tetapi, dalam perjalanannya seringkali justru ditemui hal-hal di luar ekspektasi, seperti kebijakan yang tidak tepat guna dengan kebutuhan masyarakat di lapangan. “Masalah terbesarnya adalah kebijakan-kebijakan pemerintah tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lokalnya. Kalau di Jakarta (misalnya) sekolah full day bisa jadi relevan, di Jogja juga ok. Akan tetapi, kalau di Gunung Kidul apakah seperti itu?” ujar Abie Zaidas, Sekretaris Jenderal Project Child Indonesia (PCI).

Permasalahan anak-anak kini masih berkutat pada pendidikan pun kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan angka kesakitan anak di Indonesia yang mencapai 15,26 persen pada 2014 silam. Selain itu, pada tahun yang sama, sebanyak 1,67 persen anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah (kemenpppa.go.id). Akses terhadap pendidikan yang masih terbatas dan belum merata, tingkat imunitas yang rendah, serta kerentanan terhadap berbagai macam penyakit tetap menjadi momok, terutama bagi kaum marginal. Permasalahan yang benar-benar terjadi di setiap daerah pun tidak dapat digeneralisasi. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki unsur lokal yang berbeda-beda. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah dapat merespons permasalahan tersebut dengan perlakuan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. “Kritik besar untuk pemerintah adalah supaya membuat program yang lebih sesuai dengan lokalitasnya, lebih desentralisasi. Bahwa kebijakan yang works di Jakarta belum tentu works di Jogja. Bisa jadi menyejahterakan anak di Jakarta tapi malah menderitakan anak di daerah lain,” lanjut Abie saat diwawancara di kantornya.

Upaya-upaya dalam rangka pemenuhan hak dan kesejahteraan anak tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi berbagai komunitas pun turut andil, salah satunya adalah PCI. PCI merupakan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang berbentuk komunitas (Community Based Non Governmental Organization) yang berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Proyek yang didirikan sejak 2011 oleh  Aya (orang Indonesia) dan Marvin (orang Jerman) di Kricak, Yogyakarta ini bermula dari keinginan untuk mewujudkan pemenuhan hak serta kesejahteraan anak-anak yang kala itu masih cukup rendah.

Program-program PCI meliputi Sekolah Sungai, Sekolah Pantai, Drinking Water Program (DWP), dan program literasi internet. Sekolah Sungai yang berlokasi di Kelurahan Kricak, Yogyakarta memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengikuti kelas mingguan. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi kebutuhan anak-anak yang tumbuh dalam masyarakat rentan terhadap bencana dan sampah. Di sisi lain, Sekolah Pantai merupakan program yang diinisiasi pada 2014 di Pacitan dalam rangka menyediakan fasilitas pengajaran yang  berfokus pada lingkungan dan kesehatan untuk menjaga kelestarian laut.

Dalam mengentaskan masalah ketersediaan air minum yang kerap terkontaminasi di sekolah-sekolah, PCI meluncurkan DWP. Program ini dilakukan dengan memasang penyaring air (filter) untuk menyediakan air minum yang sehat. Diawali dengan pembentukan komite air yang terdiri dari perwakilan PCI, guru, orang tua, dan siswa yang bertanggung jawab atas keberlangsungan proyek tersebut. Berdasarkan hasil riset di Yogyakarta, program ini dinilai sangat strategis karena mampu memangkas biaya air minum hingga dua miliar rupiah.  

Dalam menanggapi revolusi industri 4.0 yang tengah gencar dilakukan oleh pemerintah, PCI tak hanya diam. PCI hadir dengan membawa program literasi internet. Program ini dilakukan di Yogyakarta dan Pacitan dengan mengajarkan penggunaan internet dalam pembelajaran juga untuk menjaga agar internet menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Tak hanya itu saja, terdapat tindak lanjut berupa penyampaian informasi penggunaan internet anak-anak kepada orang tua sehingga orang tua lebih mudah dalam menyelami keseharian anak-anak dalam berselancar di dunia digital.

Hingga kini, PCI telah menggencarkan proyeknya di Yogyakarta, Pacitan, dan Fak-Fak (Papua). Proyek ini pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan di daerah pesisir. “Agak tricky memang, banyak orang yang tidak mengaitkan langsung lingkungan dan kesehatan dengan kemiskinan. Padahal kemiskinan diibaratkan sebagai rantai yang ujung dan mulainya tidak jelas. Masyarakat kelas menengah ke bawah (masyarakat rentan) kini hanya berpikir what we earn today, we spent today,” ujar Abie.

Pemenuhan hak dan kesejahteraan anak saat ini terus gencar dilakukan, tetapi masih dirasa belum optimal. Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah, tetapi kecolongan tetap tidak bisa dihindarkan. Terkadang ketika menyelesaikan masalah besar, pemerintah lalai akan hal kecil yang justru saat dibiarkan akan menjadi ancaman. Adakalanya pula kebijakan yang diterapkan pemerintah justru tidak tepat guna. Dalam penanganan masalah ini, komunitas pun turut tergerak untuk segera menuntaskan perihal keadilan terhadap anak-anak. Proyek-proyek sosial, seperti PCI merupakan gagasan yang sangat cemerlang untuk menjawab keresahan tersebut. Namun, apakah hanya pemerintah dan proyek-proyek sosial saja yang bertanggung jawab atas permasalahan tersebut? Jangan-jangan permasalahan ini merupakan tanggung jawab kita juga atau justru tanggung jawab kita bersama?

Solverwp- WordPress Theme and Plugin