BPPM Equilibrium

Gentrifikasi: Di Balik Revolusi Gemerlapnya Kota

Gentrifikasi: Di Balik Revolusi Gemerlapnya Kota

Oleh: Kefas Prajna Christiawan/EQ dan Angelica Andrea C.T./EQ

 

 

Pergeseran perilaku masyarakat terwujud dalam media sosial yang dijadikan alternatif utama untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Namun, dampak negatif dari media sosial, seperti bullying, hoax, penipuan, ancaman, dan lainnya, juga semakin masif terjadi. Fitur report atau laporkan dari platform media sosial hadir menjadi pahlawan untuk mengatasi atau meminimalkan dampak negatif tersebut.

 

Fitur report memfasilitasi netizen atau pengguna media sosial untuk memberikan saran, kritik, feedback, ataupun laporan penyalahgunaan. Akhir-akhir ini, fitur report kerap digunakan juga sebagai bentuk ekspresi kecewa atau tidak suka. Contohnya, netizen Indonesia secara marak melaporkan akun selebgram Filipina, Reimar Martin, pemain drama korea, Han So Hee, dan akun resmi Badminton World Federation (BWF). Lalu ketika ketidaksukaan saja bisa menjadi alasan pelaporan, tidakkah media sosial menjadi senjata yang ampuh dan mudah diakses dalam menjatuhkan orang lain?

 

Menurut Wisnu Prasetya Utomo, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, report merupakan fitur yang memang wajar dimiliki sebuah institusi. Secara khusus, komunikasi di media sosial sebagai komunikasi intermediasi berpotensi besar menimbulkan kesalahpahaman. Hal ini disebabkan tidak adanya gesture, mimik wajah, dan nada pengucapan. Bahayanya adalah ketika kesalahpahaman dialami oleh banyak orang. Belum lagi, media sosial memberikan tameng anonimitas, tidak memunculkan identitas aslinya, secara cuma-cuma. Teknologi pun ikut memberi dukungan dengan kekuatan semu yang meniadakan konsekuensi untuk setiap omongan yang diucapkan. “Jadi bebas aja, mau memaki. Bahkan kalau contohnya di akun Badminton World Federation (BWF), ada yang sampai mengancam mau membunuh atlet dari luar negeri,” tambah Wisnu menjelaskan konsekuensi komunikasi intermediasi yang mendukung lahirnya fitur report.

 

Lagi-lagi, kreativitas netizen berhasil mengembangkan report menjadi fenomena mass report atau pelaporan massal. Mass report merupakan pelaporan terhadap sebuah akun, baik individu atau komunitas, dengan skala besar. Kekuatan yang berhasil terhimpun bisa membawa kebaikan ketika membantu ekosistem media sosial menjaga ketertiban, etika, dan menyelesaikan masalah-masalah, seperti bullying. Platform media sosial akan memberi sanksi atau memblokir akun yang dilaporkan dalam jumlah tertentu melanggar etika atau peraturan di media sosial. 

 

Wisnu menyetujui sikap beberapa media sosial yang meninjau ulang akun dengan laporan dalam jumlah banyak sebelum melakukan pemblokiran. Tujuannya agar pemblokiran yang dilakukan tidak berdasar kuantitas atau algoritma saja. Jika tidak, kekuatan mass report akan mudah menghapuskan akun-akun hanya karena perbedaan pendapat, subjektivitas, emosional, atau ajakan orang lain, tanpa alasan pendukung yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. “Semua pendapat itu pasti subjektif, kita punya preferensi dan latar belakang masing-masing, tapi sejauh apa kita mengekspresikan subjektivitas itu?” tanya Wisnu. Masyarakat saat ini lebih sering beragumen dengan emosional sehingga informasi yang dicari hanya untuk pembenaran dan meyakinkan argumennya saja.  

 

Pesan untuk Netizen Indonesia yang Budiman

Menurut penelitian oleh Microsoft sepanjang 2020, netizen Indonesia adalah warganet yang paling kasar dan tidak sopan se-Asia Tenggara. Namun, data ini mendapat perspektif berbeda dari Wisnu yang pernah menjadi mahasiswa di Inggris. Konteks paling kasar dan tidak sopan harus digali lebih dalam. Warganet luar negeri sebenarnya juga kerap menggunakan umpatan kasar, bahkan sampai berakibat penundaan rilisnya sebuah film. Karakter komunikasi ini tidak khas pada Indonesia, tetapi identik dengan komunikasi intermediasi. 

 

Lalu, bagaimana kita bisa “hidup” di dunia dengan mayoritas komunikasi intermediasi? Perusahaan sudah seharusnya mengambil tanggung jawab untuk memastikan ekosistem bebas hoax, disinformasi, rasisme, bullying, dan lainnya, apalagi perusahaan jelas meraup banyak keuntungan dari para pengguna media sosial. Masyarakat sebagai pengguna juga tidak bisa diam saja, literasi digital sudah menjadi keharusan untuk dimiliki. 

 

Semua orang memang memiliki akses memiliki media sosial, tetapi tidak semua bisa berpikir kritis bahwa setiap tindakan dan omongan memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif. Hal itu membuat netizen kehilangan rasionalitas dan tidak objektif. Akun-akun yang dilaporkan hanya berdasarkan ketidaksukaan, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Oleh karena itu, sosialisasi literasi digital berperan besar dalam membuat perubahan. Literasi digital tidak hanya menyampaikan informasi mengenai melek teknologi, tetapi juga etika dalam berkecimpung di internet. 

 

Setiap individu seharusnya menyadari bahwa kebebasan melakukan sesuatu tidak dibersamai dengan kebebasan dari konsekuensi keputusan tersebut. Harus diingat, kebebasan juga termasuk kebebasan orang lain membenci dan tidak suka dengan diri kita. Akhirnya, kunci berkehidupan zaman sekarang cukup dengan memperlakukan orang lain sesuai dengan bagaimana diri sendiri ingin diperlakukan karena setiap tindakan memiliki makna dan konsekuensinya masing-masing.

 

Populer

Berita

Ekspresi

Riset

Produk Kami

Pengunjung :
167

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin