Kesibukkan mahasiswa bukan hanya melulu soal perkuliahan. Banyaknya kegiatan yang ditawarkan baik organisasi maupun event membuat pengorbanan lumrah dilakukan. Dalam hal ini presensi perkuliahan yang sering dijadikan tumbal. Dengan sistem presensi sidik jari (fingerprint) yang diberlakukan di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), sebuah istilah tap and go (tango) sudah menjadi rahasia umum. Jika sudah begitu marak dilakukan, maka pada siapa kesalahan itu ada? Mahasiswa atau sistemnya?
Diakui salah seorang mahasiswa angkatan 2018, “Biasanya kalau saya tango karena ada urusan lain seperti event atau bisnis yang harus dikerjakan,” ungkapnya. Dari beberapa kali pengalaman melakukan tango, salah satu diantaranya menyebabkan ia terancam mendapat nilai F pada mata kuliah tersebut. “Tidak ada perjanjian (di kelas itu, red), tapi setau saya memang semua dosen sudah bilang sejak awal akan memberikan nilai F bagi yang ketahuan tango,” jawabnya saat ditanya mengenai kebijakan yang ia terima. Namun begitu tetap diyakini olehnya bahwa tango merupakan suatu hak mahasiswa.
Lain halnya dengan seorang mahasiswi angkatan 2017 yang penulis temui. Ia mengaku telah melakukan aksi tango sebanyak tiga hingga empat kali. Ia juga menyebutkan bahwa beberapa kali ia sudah membuat janji dengan dosen lain pada waktu yang sama dengan kelas atau adanya kegiatan lain yang dirasa lebih penting. Cara pembelajaran berupa presentasi bergilir oleh mahasiswa juga memantapkan niatnya untuk tango. “Nggak merasa ketinggalan materi sih, biasa aja karena habis itu juga mengejar pelajarannya sendiri,” ujarnya ketika ditanya mengenai mata kuliah yang pernah ia tinggalkan.
Aksi yang ia anggap biasa ini pun mengakibatkan ia harus menghadap salah satu ketua program studi karena tertangkap basah oleh dosen. Terdapat delapan orang mahasiswa yang ketahuan tango dengannya. Senada dengan mahasiswa yang kami temui sebelumnya, ia merasa bahwa sistem presensi pada tingkat perguruan tinggi dirasa sudah tidak perlu. “Kalau kedepannya tidak kapok juga sih, kalau memang ada kepentingan. Menurutku sebenarnya tango itu hak siswa dan tidak semua dosen sangat strict gitu. Intinya ya semua (mahasiswa, red) kan udah gede dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri gitu”.
Kebijakan wajib hadir 75% dari jumlah pertemuan dengan dosen memang sudah ada bahkan sejak presensi menggunakan tanda tangan. Ketua Program Studi Sarjana Manajemen, Dr. I Wayan Nuka Lantara, M.Si, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut ditetapkan dengan menimbang adanya halangan untuk hadir ke kelas seperti sakit. Ketentuan hadir 75% sepertinya masih cukup memberatkan bagi mahasiswa, terbukti dengan munculnya kecurangan berupa titip absen atau yang populer dengan istilah tipsen. Maka dari itu fakultas mencoba untuk membuat sistem fingerprint seiring dengan berkembangnya Sistem Informasi Terpadu Fakultas Ekonomika dan Bisnis (SINTESIS).
Pendapat yang sama juga diungkapkan Ketua Departemen Akuntansi, Sony Warsono, MAFIS., Ph.D., Ak., CA. Pengalamannya menempuh pendidikan di Amerika Serikat membuktikan bahwa presensi bukanlah segalanya. Sistem tanpa presensi tidak membuat mahasiswa menjadi malas untuk datang, malah sebaliknya. Namun begitu, Sony rasa sistem ini belum siap untuk diterapkan pada FEB UGM. Sistem fingerprint menurutnya adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk dapat mencapai tahap tersebut. “Seperti dalam perspektif akuntansi ada yang namanya pengendalian internal. Sistem tidak bisa 100% menyelesaikan masalah, akan selalu ada upaya-upaya perbaikan,” ujarnya. Dalam kelasnya, Sony juga beberapa kali melakukan pengecekan ulang dengan mencocokan kehadiran di kelas dengan data di SINTESIS. Mengenai kecurangan dalam presensi, Sony mengakui bahwa ia memberikan sanksi yang tegas. “Saya tidak pernah menyampaikan, tetapi rule-nya di silabus juga sudah ada bahwa akan mendapat nilai E,” terangnya.
Fenomena tap and go ini sejatinya dialami oleh seluruh dosen pengajar. Beberapa mahasiswa yang pernah menghadap Wayan mengaku bahwa dirinya merasa kurang cocok dengan metode mengajar dosen. Hal ini tentu tak lantas menjadi pembenaran untuk melancarkan aksi tango. “Itu kaya kamu beli makan, kenyang, tapi terus tidak bayar. Waktu ditanya kenapa tidak bayar bilangnya karena tidak punya uang. Nah itu kan (artinya; red) anda tidak berhak,” jelasnya. Menurutnya, sebaiknya ketidaksukaan mahasiswa mengenai metode belajar dapat disampaikan pada lewat kuesioner evaluasi dosen di akhir semester .
Aksi tap and go memang menjadi simbol tersendiri dalam perkuliahan. Setor jari namun tidak hadir sejatinya adalah tindak kecurangan yang melanggar nilai integritas pada FEB UGM. Dengan sanksi yang ada diharapkan terjadinya pengembangan karakter dan perwujudan nilai integritas dan profesionalisme pada diri mahasiswa. Presensi namun tetap belajar mandiri di luar kelas bisa jadi merupakan aksi protes terhadap metode pembelajaran di kelas. Sama-sama berkeras diri tentunya tidak menjadikan proses perkuliahan menjadi lebih baik. Kerja sama yang baik antar kedua belah pihak dibutuhkan agar dapat terciptanya perubahan. Mahasiswa dapat aktif dalam diskusi kelas dan dosen dapat meningkatkan kualitas metode pembelajaran yang juga meminimalisir celah aksi tango. Dengan demikian, kelak dapat terwujud sistem perkuliahan tanpa adanya presensi, yang dijalani oleh mahasiswa dengan kesadaran penuh untuk mengedukasi diri.
(Alula Putri dan Gabriela B. Lintang M/EQ)
Discussion about this post